Bagaimana Bermuamalah Dengan Orang-Orang Yang Menyimpang?

Bagaimana Bermuamalah Dengan Orang-Orang Yang Menyimpang?

Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus

Pertanyaan:

Aku menjadi imam dan khatib di suatu daerah terpencil. Aku mendakwahkan sunnah dan tauhid. Tiba-tiba saya menyadari bahwa sebagian penuntut ilmu berpaling dari khutbah dan halaqah yang aku ampu. Bahkan mereka tidak mau menuntut ilmu di masjid tempatku mengajar.

Kemudian aku mulai mengerti sebab berpalingnya mereka dari majelisku, yaitu karena pertemuanku dengan masyayikh yang menyimpang di suatu jamuan makan malam yang diadakan salah seorang penuntut ilmu, di kota Madinah an Nabawiyyah ketika aku umrah. Sedangkan aku tidak mengetahui keadaan para masyaikh yang di-jarh tersebut pada saat itu. Aku bahkan baru mengetahuinya setelah kejadian itu.

Maka yang menjadi pertanyaanku, apakah hanya karena pertemuan sesaat itu layak menjadi sebab mereka berpaling dari majelisku dan menjadi penghalang mereka mendapatkan ilmu serta faedah dariku? Bagaimana seharusnya bermuamalah dengan orang yang menyimpang? Mohon beri kami faedah semoga Allah ta’ala membalas anda dengan pahala dan kebaikan.

Jawaban:

الحمد لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلام على مَنْ أرسله الله رحمةً للعالمين، وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، أمَّا بعد

Seharusnya seorang Muslim tidak mudah terpancing untuk mudah menuduh Muslim lainnya. Akan tetapi, mestinya ia lebih mudah untuk berbuat baik dan berprasangka baik kepada saudaranya. Terlebih apabila saudaranya tersebut adalah seorang imam, seorang salafi yang jujur, penyeru kepada tauhid dan sunnah, teguh menjalankan agama serta menghiasi akhlaknya dengan Al-Qur’an. Maka amalan dan perbuatannya yang dianggap terdapat syubhat, semestinya dibawa kepada kemungkinan yang baik, selama ada celah kemungkinan yang baik dalam memahami perbuatan yang terkesan buruk tersebut, dan tidak ada bukti tentang penyimpangannya. Selama sang imam tersebut selama ini memiliki jasa yang baik dalam menegakkan sunnah, dan ia punya kepekaan untuk kembali kepada al haq dan mengamalkannya, apabila melakukan suatu kekeliruan. Karena sesungguhnya ketika kebenaran datang kepada pemilik hati yang baik dan ia mengetahuinya, tentu ia akan menerimanya. Kemudian hati itu akan tumbuh -sesuai dengan isi dan niat asal dari hatinya- serta membuahkan amalan shalih. Sebagaimana firman Allah :

وَٱلۡبَلَدُ ٱلطَّیِّبُ یَخۡرُجُ نَبَاتُهُۥ بِإِذۡنِ رَبِّهِۦۖ

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya akan tumbuh subur dengan izin Rabbnya“. (QS. Al-A’raf Ayat 58).

Namun, apabila imam tersebut dengan sengaja berkumpul dengan orang-orang menyimpang dan berdiskusi (karena suatu sebab tertentu) namun si imam ini mengetahui keadaan mereka (hakikat pemahaman mereka -pen.), dan tujuannya karena ada suatu kebutuhan atau untuk mendakwahi mereka, maka ini diperbolehkan dan ia tidak tercela. Selama ia tetap tidak ridha terhadap penyimpangan dan kebid’ahan yang mereka lakukan. Dan ia tidak suka untuk banyak bergaul dengan mereka. Namun hendaknya ini dilakukan sebatas kebutuhan saja. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam :

إِذَا عُمِلَتِ الْخَطِيئَة فِي الْأَرْضِ كَانَ مَنْ شَهِدَهَا فَكَرِهَهَا ـ وَقَالَ مَرَّةً: أَنْكَرَهَا ـ كَانَ كَمَنْ غَابَ عَنْهَا وَمَنْ غَابَ عَنْهَا فَرَضِيَهَا كَانَ كَمَنْ شَهِدَهَا

Barang siapa yang melihat suatu kemungkaran di muka bumi kemudian ia membenci (dalam riwayat lain: mengingkarinya), maka ia seakan-akan seperti orang yang tidak berada di sana. Dan barangsiapa yang meridhai suatu kemungkaran, maka ia seperti orang yang hadir (di tempat tersebut), meskipun ia tidak hadir di sana”[1]

Dengan syarat, ia tidak menjadikan mereka sebagai teman dekat atau bersafar dengan mereka. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam:

لَا تُصَاحِبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ

Janganlah engkau berteman kecuali dengan seorang mukmin, dan janganlah memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa” [2]

Jangan pula ia meminta mereka menginap sebagai tamu atau melindungi mereka di rumahnya. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam :

لَعَنَ اللهُ مَنْ آوَى مُحْدِثًا

” … Allah melaknat orang yang melindungi pelaku bid’ah..” [3]

Adapun bagi yang belum mengetahui keadaan ahlul bid’ah tersebut, maka ia diberi udzur.

Namun seseorang yang mengetahui keadaan ahlul bi’dah tersebut, dan mengetahui bahwa mereka sulit dinasehati, maka hendaknya ia tetap menampakkan sikap sebagai seorang Ahlussunnah tanpa kendor sedikit pun. Ia tetap membela akidah Ahlussunnah yang haq dan tidak boleh luntur dalam perkara beragama. Sehingga ia tidak menampakkan sikap yang syubhat, bias dan meragukan di depan masyarakat.

Maka sikap yang paling baik dalam menyikapi keadaan seperti ini adalah, apabila seorang Ahlussunnah yang melakukan suatu kesalahan tanpa disengaja, maka hendaknya ia diberi udzur dan diperlakukan baik. Karena ketika orang yang demikian diberi udzur, ia akan tetap menjadi orang yang baik. Sehingga setelah dinasehati, ia pun kembali kepada keadaan awalnya dan kembali bersama orang-orang yang baik.

Sebaliknya, apabila Ahlussunnah yang demikian disikapi dengan permusuhan dan kesombongan, enggan menerima kebenaran, merendahkan orang lain, dan menganggap orang lain jahil, menganggap dirinya sebagai orang paling memerangi kebatilan, dan paling membela kebenaran, sebagaimana kelakukan sebagian mukhalif di zaman ini, maka sikap yang seperti ini dipastikan akan membawa kepada perkara-perkara yang tidak terpuji akibatnya. Demikian juga akan memecah belah shaf Ahlussunnah, menimbulkan kerusakan dan perselisihan, membuat orang enggan menuntut ilmu, juga membuat (orang Ahlussunnah yang dianggap keliru tadi) terus menerus dalam kebatilan, dan juga membuat musuh-musuh Islam dan musuh-musuh dakhwa sunnah akan berkuasa.

Dosanya dan akibat buruknya kelak akan kembali orang-orang yang senang memunculkan fitnah (kerusakan) yang demikian, serta menghabiskan umurnya dengan fitnah yang demikian.

Aku memohon kepada Allah untuk saya dan kita semua, agar dianugerahi taufiq dan kebaikan dalam tutur kata dan amalan. Demikian juga memohon keistiqamahan dalam berpegang teguh kepada manhaj salafy yang shahih, kokoh berpegang padanya, serta berpegang teguh kepada hukum-hukum syar’i, serta adab dan akhlak yang sesuai tuntunan syari’at. Semoga Allah juga menambahkan ilmu dan pengetahuan yang membantu kita semakin bertaqwa kepada Allah. Semoga Allah memberikan taufik kepada anda sekalian agar bisa memberi manfaat negeri dan juga kepada sesama manusia.

والعلم عند الله تعالى، وآخِرُ دعوانا أنِ الحمدُ لله ربِّ العالمين، وصلَّى الله على نبيِّنا محمَّدٍ وعلى آله وصحبِه وإخوانِه إلى يوم الدِّين، وسلَّم تسليمًا.

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat, STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Catatan Kaki:

[1] Riwayat Abu Dawud dalam kitab “Al-Malahim” Bab ‘al-Amru wa an-Nahyu’ (43345) dari hadits al-‘Urs bin Abirah al-Kindiy -Radhiallahu ‘anhu-. Dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab “Shahih al-Jami’” (689)

[2] Riwayat Abu Dawud dalam kitab “al-Adab” dalam Bab  ‘Man Yu’mar an Yujalis” (4832), dan at-Tirmidzi dalam kitab “az-Zuhdu” Bab “Maa jaa di Suhbatil Mu’min” (2395), dari hadits Abi Sa’id al-Khudri -Radhiallahu’anhu-dan dishahihkan oleh al-Albani dalam kitab”Shohih al-Jami’” (7341)

[3] Riwayat Muslim dalam kitab “al-Adhohi” dari Hadits Ali bin Abi Thalib-Radhiallahu’anhu-

Referensi:

http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1228