Bahaya Persaksian Palsu

Bahaya Persaksian Palsu

Allah Ta’ala berfirman,

ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ

”Demikianlah (perintah Allah), dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak, terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya. Maka, jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.” (QS. Al-Hajj: 30)

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menggandengkan perintah untuk menjauhi syirik dengan perintah menjauhi persaksian palsu (dusta). Hal ini menunjukkan besarnya dosa dan keharaman perkataan dan persaksian dusta (persaksian palsu).

Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً

”Dan orang-orang yang tidak menghadiri majelis dusta, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)

Ayat ini menjadi dalil tentang haramnya orang yang menghadiri suatu majelis pertemuan yang berisi kedustaan dan kepalsuan. Jika menghadiri majelis yang berisi kedustaan saja dilarang, terlebih lagi (lebih ditekankan lagi haramnya) menjadi orang yang ikut-ikutan berkata dusta pada majelis atau pertemuan tersebut.

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata bahwa saksi palsu menggabungkan beberapa dosa besar.

Pertama, seorang saksi palsu sama saja dengan berbuat kedustaan. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن يَكُ كَاذِباً فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ وَإِن يَكُ صَادِقاً يُصِبْكُم بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

”Dan jika ia seorang pendusta, maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu. Dan jika ia seorang yang benar, niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu. Sesungguhnya Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta.” (QS. Al-Mukmin: 28)

Kedua, seorang saksi palsu berarti menzalimi orang lain dengan persaksiannya tersebut. Sehingga dengan persaksian palsunya tersebut, dia bisa mengambil harta, kehormatan, atau nyawa orang yang dizalimi.

Ketiga, seorang saksi palsu menzalimi orang yang dia untungkan dengan persaksiannya yang dusta. Seorang saksi palsu telah memberikan harta yang haram kepada orang yang diuntungkan karena persaksian palsunya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَلْحَنُ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ بِحَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا بِقَوْلِهِ فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ فَلَا يَأْخُذْهَا

“Sungguh kalian seringkali mengadukan sengketa kepadaku, barangkali ada di antara kalian ada yang lebih pandai bersilat lidah daripada yang lain. Maka, barangsiapa yang kuputuskan menang dengan mencederai hak saudaranya berdasarkan kepandaian argumentasinya, berarti telah kuambil sundutan api neraka baginya, maka janganlah dia mengambilnya.” (HR. Bukhari no. 2680 dan Muslim no. 1713)

Selain sebagai seorang Nabi, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga bertindak sebagai seorang qadhi (hakim) yang memutus perkara bagi pihak-pihak yang berselisih dan bersengketa. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memberi keputusan berdasarkan laporan dan persaksian dari masing-masing pihak yang saling bersengketa tersebut. Laporan pihak yang paling mendekati kebenaran itulah yang dijadikan dasar untuk memenangkan suatu perkara atau memenangkan satu pihak atas pihak yang lain. Oleh karena itu, status beliau sebagai seorang qadhi adalah sebagai manusia biasa yang masih mungkin keliru dalam mengambil atau menetapkan suatu keputusan.

Keempat, seorang saksi palsu membolehkan apa yang telah Allah Ta’ala haramkan dan Allah Ta’ala lindungi, yaitu berupa harta, darah, dan kehormatan. Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ، دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ

”Setiap muslim haram mengganggu muslim yang lain dalam harta, darah, dan kehormatannya.” (HR. Muslim no. 2564)

Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda, ”Maukah kalian aku beritakan tentang dosa paling besar?” (pertanyaan ini diulang tiga kali) Mereka (para sahabat) menjawab, ”Mau wahai Rasulullah.”  Rasulullahshallallahu ’alaihi wasallam bersabda,

الإِشْرَاكُ بِاللَّهِ، وَعُقُوقُ الوَالِدَيْنِ

”Menyekutukan Allah dan durhaka kepada orang tua.” Rasulullah tadinya bersandar lalu duduk tegak dan bersabda,

أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ، أَلاَ وَقَوْلُ الزُّورِ، وَشَهَادَةُ الزُّورِ

”Ketahuilah, ucapan dan persaksian palsu. Ketahuilah pula, ucapan dan persaksian palsu.” 

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam terus mengulang-ulang hingga kami berkomentar, ”Seandainya saja beliau diam.” (HR. Bukhari no. 5976 dan Muslim no. 87)

Syekh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah mengatakan terdapat tiga bentuk persaksian palsu:

Pertama, seseorang yang memberi persaksian dengan satu hal yang sebenarnya dia sudah mengetahui kejadian yang sebenarnya. Akan tetapi, dia tidak mengatakan kejadian sebenarnya seperti yang telah diketahuinya tersebut.

Kedua, seseorang yang berani bersaksi dengan sesuatu yang dia sendiri masih ragu-ragu akan kebenarannya.

Ketiga, seseorang yang bersaksi dengan sesuatu yang dia mengetahui kejadian yang sebenarnya, tetapi dia menyampaikan tidak sesuai dengan realita dengan mengurangi berbagai faktor sehingga kesalahan dari orang yang dia ditunjuk sebagai saksinya, menjadi terlihat lebih rendah dari yang sebenarnya.

Hukum semua bentuk persaksian palsu adalah haram. Seseorang harus bersaksi dengan sesuatu yang dia ketahui dengan bentuk seperti yang diketahuinya. Wallahu a’lam.

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

© 2022 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/80193-bahaya-persaksian-palsu.html