REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, pengamat haji
Sekelompok orang yang mendiami sebuah hotel di tepi Laut Merah, Jeddah, terlihat gelisah. Saat itu adalah dua hari menjelang wukuf di Arafah pada musim haji 2013 M (1434 H). Mereka hilir mudik dan sibuk berbincang di ruangan tengah hotel. Wajah mereka terlihat tegang. Apalagi setelah menyimak berbagai selebaran yang ada di lobby hotel dan membaca langsung banyak plakat yang ditempel di jalanan dan pusat keramaian kota Jeddah.
”Wah bagaimana ini?” rungut Bambang Tri, salah seorang warga Indonesia yang ada dalam rombongan tersebut. Dia membaca dengan jelas isi selebaran bahwa pemerintah kerajaan Arab Saudi melarang keras siapa pun orangnya yang tak punya ‘tasreh’ (visa haji) untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Sanksinya serius, mereka yang nekad masuk ke Makkah tanpa tasreh akan ditangkap dan ditahan sebagai pendatang ilegal. Setelah itu dideportasi ke tanah air.
”Ya juga bagaimana ini?,” tukas anggota rombongan yang lain. Semua telah paham akan risikonya bila menjalani ibadah haji tanpi ‘tasreh’ itu. Istilahnya ‘apa kata dunia’ bila ternyata tak bisa masuk Makkah dan tak bisa mengerjakan wukuf. Bila ini sampai terjadi maka hajinya akan gagal. Dan kalau nanti tak bisa ikut wukuf di Arafah, maka meski sempat mengerjakan tawaf dan sai di Masjidil Haram, posisi nilai ibadahnya hanyalah sebatas melakukan umrah saja.
Dan setelah di musyawarahkan dengan anggota rombongan yang lain, akhirya mereka memutuskan apa pun jadinya mereka harus bisa ke Makkah untuk menunaikan rangkaian ibadah haji. Maka mereka pun segera menghubungi sebuah perusahaan biro haji Arab Saudi yang beberapa hari terakhir sudah mendatangi penginapan untuk menawarkan jasa ‘membimbing’ mereka berhaji.
”Kami sengaja pilih paket travel haji yang termahal. Kami tak bisa main-main. Bayangkan lalu gagal berhaji, padahal ketika berangkat kemarin semua sudah pakai selamatan dan membikin walimatul safar dengan mengundang banyak orang. Malu lah kalau sampai nggak bisa wukuf,” kata Bambang lagi.
Setelah itu Bambang bersama sekitar lima puluhan rekan ‘profesional’ lainnya merogoh kocek hingga 3.500 Real. Tawaran bisa pergi haji dari travel lain yang lebih murah ditolaknya mentah-mentah. Alasan penolakan karena travel itu punya pengalaman dan tak berani menjamin mereka bisa menjalankan ibadah haji dengan aman dan nyaman.
*****
Nah, setelah uang biaya haji dibayar, para calon haji yang datang ke Arab Saudi atas undangan perusahaan BUMN penerbangan ini segera bersiap. Selepas shalat Ashar mereka segera melakukan ‘prosesi’ mengenakan ihram seperti mandi besar maupun berniat dan melaksanakan shalat dua rakaat. Karena mereka sudah berada di Jeddah, maka memutsukan langsung mengambil ‘miqat’ di tempat itu dengan mendatangi sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari hotel.
”Ternyata yang berangkat bersama kami jumlahnya puluhan orang. Sekitar pukul 17.00 Waktu Arab Saudi (WAS) kami berangkat dengan menumpang dua buah bus. Tujuannya adalah masuk ke Makkah dengan langsung menuju Arafah,” ujar Bambang lagi.
Sesampainay bus di jalan besar, ternyata jalanan kota Jeddah sudah dipenuhi orang yang berpakaian ihram. Semua juga ingin ke Makkah. Sopir bus pun segera mengarahkan perjalannya ke sana. Bus berjalan dengan beringsut karena jalanan sudah begitu penuh. Meski berjalan kayak kura-kura dan beberapakali harus menempuh jalan melingkar, bus terus berjalan dan mengarahkan tujuannya ke Makkah!
Setelah berjalan beberapa lama,sekitar pukul 22.30 WIB rombongan berada tak jauh dari ‘chek point’ (pintu pemeriksaan) masuk Makkah yang pertama. Saat hendak diperiksa pemimpin rombongan yang sebelumnya sudah meminta agar rekan-rekannya bisa tertib atau berulah macam-macam, melakukan negosiasi kecil-kecilan. Upaya ini berhasil, rombongan tak diperiksa serius. Ini mungkin karena berkah doa yang semenjak awal keberangkatkan diserukan untuk dibaca oleh seluruh anggota rombongan.
”Saya terkejut ketika diminta agar membaca doa yang dibagikan melalui selebaran sebelum sampai di pos pemeriksaan pertama pintu masuk Makkah. Sebab, isinya ternyata bukan doa ‘safar'(bepergian) atau doa manasik ketika tawaf, lempar jumrah, sa’i. Doa yan bagikan itu ternyata doa agar rombongan tak terlihat sebagai haji tanpa tasreh. Di situ doanya meminta agar para penjaga itu terbuka hatinya sehingga kami pun selamat masuk ke Makkah,” kataYoghi Ardi, anggota rombongan yang lain.
Alhasil, doa itu ternyata makbul. Pemeriksaan di chek point pertama bisa lolos. Mereka yang ada dalam mobil sangat lega ketika bus bisa melewati pos permiksaan tersebut. Sopir bus pun semakin mantap menjalankan busnya ke Makkah. Suasana di luar yang sudah beranjak semakin malam menjadi tak terasa suram, malah semakin ceria penuh cahaya kegembiraan.
Situasi yang sama terjadi pada proses pemeriksaan bagi jamaah haji di pintu chek point kedua yang hendak ke Makkah. Memang, setelah bus berhenti, beberapa petugas keamanan kemudian naik ke atas bus untuk melakukan pengecekan. Namun, kali ini mereka hanya memeriksa secara sekilas dan tak menanyakan soal ‘tasreh’ haji. Alhasil,rombongan dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Semuanya merasa lega dan serentak bersahutan mengucapkan alhamdulillah,takbir,dan talbiyah.
Setelah itu bus berjalan lagi. Kini kondisi jalanan sudah semakin sesak. Beberapa orang malah terlihat berjalan kaki. Rupanya kini rombongan tak lama lagi akan memasuki pos pemeriksaan terakhir. Dari jauh, kerlip lampu menara Masjidil Haram sudah terlihat jelas. Bayangnya menyembul diantara perbukitan yang ada disekitar Makkah.
Entah mengapa, tiba-tiba ketika sampai di sebuah ruas jalan yang sedikit gelap, bus kemudian berhenti dan minggir. Tak cukup dengan itu, para pembimbing haji yang ada dalam rombongan itu, meminta jamaah untuk segera turun dari bus dan berjalan kaki beriringan mengikutinya. Setelah ditanya, rupanya mereka tak yakin kali ini bisa lolos dalam pemeriksaan ketiga. Dan dari pada nanti disuruh balik dan kemudian dideportasi karena tak punya ‘tasreh’ rombongan diajak jalan kaki agar bis ‘menyelundup’ masuk ke Makkah tanpa melalui gerbang terakhir pemeriksaan.
******
Alhasil, tanpa sempat protes rombongan semuanya turun dari bus untuk berjalan kaki. Mereka segera ke luar dari jalanan aspal dan berpindah dengan berjalan kaki menyusuri jalanan biasa. Mereka kini harus melintasi kawasan padang pasir di pinggir kota Makkah di tengah malam gelap yang hanya diterangi bulan yang masih agak menyabit.
Tapi mungkin karena semuanya tak ingin gagal berhaji, mereka hanya bisa pasrah. Bahkan, semuanya tampak berjalan kaki dengan bersemangat. Kini semuanya malah antusias menyusuri kawasan padang pasir di tengah gelapnya malam. Sesekali mereka menemukan peternakan onta. Uniknya ketika sampai di kawasan itu,para penjaga peternakan malah membagi-bagikan makanan dan minuman. Mereka menyambut kedatangan jamaah haji ‘gelap’ ini dengan antusias. ”Fisabilillah, (orang yang sedang berjihad di jalan Allah), fisabilillah, fisabilillah…!” begitu teriakan mereka ketika menyambut kedatangan rombongan.
Tak cukup dengan itu ketika membagikan makanan dan minuman mereka berkelakar dengan cara unik, yakni dengan menghitung dengan cara orang Sunda: ‘‘Hiji, dua, tilu, opat, lima, genep!” Rupanya mereka mengaku pernah punya teman orang Indonesia yang berasal dari Garut. Jadi pertemuan ‘gelap-gelapan’ kawasan padang pasir malam itu berlangsung dengan akrab dan hangat. Ini makin menarik karena rupanya baik yang datang menyambut maupun rombongan ternyata baru ketahuan berasal dari banyak negara: Indonesia, Malaysia, Yordania, Pakistan, hingga negara di kawasan utara Afrika.
Dan tak hanya disuguhi makanan pengganjal perut dan air pengusir rasa haus, para penjaga peternakan onta juga antusias menunjukan arah jalan ke Makkah yang aman dari sergapan petugas keamanan. Mereka menyarankan agar tetap mengarahkan ke arah sinar lampu menara Masjidil Haram. Selain itu mereka juga meminta agar berhati-hati terhadap anjing liar, serigala, tumbuhan duri, ular gurun, hingga kawat berduri. Kata mereka bila sudah sampai ke pagar berkawat duri, maka itu menjadi pertanda bahwa perjalanan sudah hampir sampai di Makkah alias sudah melewati pos pemeriksaan jamaah haji terakhir.
Benar saja, setelah beberapa saat berjalan akhirnya mereka menemukan pagar kawat berduri. Setelah menerobos melewatinya, kini jalanan besar terhampar di depan mata. Di sana sopir bus yang tadi mengantarkannya sudah menunggu. Rombongan pun kemudian naik ke bus kembali. Jalanan Makkah yang sibuk kini mereka nikmati. Raungan anjing dan serigala gurun yang tadi mereka dengarkan sepanjang jalan, kini berganti dengan bunyi mesin mobil dan klakson para pengguna jalan. Ketegangan menyusuri kawasan padang pasir yang mereka lakuan selama hampir empat jam itu telah berhasil dilewati.
Bus pun berlari menembus kerumunan orang dan langsung menuju ke kawasan Arafah. Menjelang subuh sampailah mereka. Karena tak punya ‘tasreh’ mereka menempati kawasan ‘tak bertuan’ yang tersisa di pinggiran padang Arafah. Setelah tenda didirikan rombongan kemudian shalat Subuh berjamaah. Dan, setelah shalat Subuh ditunaikan tiba-tiba saja semua anggota rombongan orang dicekam keharuan. Mereka tersadar kini sudah berada di Arafah dan bersiap menjalankan rukun haji, yakni wukuf di Arafah.
”Ketika saya wukuf, saya menangis lama sekali. Bersyukur luar bisa diberi kesempatan berhaji. Seluruh doa saya bacakan. Juga seluruh pesanan titipan doa dari handai taulan dan sahabat tak ada yang terlewat ikut dibacakan. Wukuf di Arafah adalah hadiah terindah sepanjang hidup,” kata Bambang ketika menceritakan suasana hati saat dia wukuf. Dia mengaku semakin terharu ketika mengenang sang isteri yang baru meninggal 20 hari sebelum dia sampai di Arafah.
”Ya, benar-benar tak terbayangkan. Kami tak mudah sampai ke sini (Arafah). Tapi kami sangat puas sekali. Apalagi dibenak kami semput muncul kekhawatiran mengingat ada rekan kami yang bercerita bahwa dia baru sampaike Makkah setelah Magrib tiba. Kalau sampai ini terjadi,maka saya jelas tak berhaji atau hanya umrah saja. Dan dahaga batin saya semakin terpuaskan ketika kemudian bisa melihat Ka’bah,” ujarnya.
Ya itulah, ternyata memang banyak jalan menuju Makkah yang di sana ada padang Arafah dan Ka’bah!