Belajar Adil dari Syuraih Al-Qadhi

Cerita tentang sikap adil dan bijaksana dari Syuraih al-Qadhi merupakan keteladanan yang mengabadi. Apalagi, di tengah-tengah krisis penegakan hukum di Indonesia.

Integritas seorang hakim adalah kunci utama demi terwujudnya keadilan. Syuraih, sosok sederhana itu, seperti dikisahkan oleh Dr Abdurrahman Rafa’at Basya dalam kitab  Shuwar min Hayati Tabi’in, telah memukau dan membuat takjub hati Amirul Mukminin, Umar bin Khathab RA.

Suatu ketika, Umar kecewa dengan kuda yang dibelinya dari seorang Arab Baduwi. Dan, sahabat Rasulullah SAW itu hendak mengembalikan kudanya kepada sang penjual. Proses jual beli antara Umar bin Khathab dan Arab Baduwi itu memang semula berjalan lancar. Masing-masing pihak telah sepakat. Pembeli menerima barang dan penjual menerima uang atas barang yang dijualnya.

Setelah Umar pergi dari lokasi transaksi kira-kira jaraknya belasan kilometer, ia merasakan ketidaknyamanan pada tunggangannya. Setelah dicek, ternyata terdapat luka memar pada bagian tubuh kuda sehingga membuat kuda itu berlari tidak maksimal.

Mengetahui hal itu, Umar balik kanan berniat untuk mengembalikan kuda yang telah dibelinya itu. Karena perjalanan sudah jauh, Umar memperlambat laju kudanya agar bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.

Setelah sampai di lokasi tempat transaksi, ?Umar mendapati penjual sedang merawat kuda-kuda lainnya yang hendak dijual juga. Umar menghampirinya dan berkata:

“Wahai putra Arab Baduwi, ambil kembali kudamu. Hewan ini cacat,” kata Umar.

Mendengar perkataan Umar, orang Arab Baduwi itu tersentak kaget melihat  Umar mendatangi dengan muka penuh kekecewaan. Namun demikian, tidak lantas membuat orang Arab Baduwi itu langsung menuruti kemauan Umar.

“Tidak, wahai Amirul Mukminin. Aku telah menjualnya padamu tanpa cacat dan semua syarat sudah sah,” jawabnya.

Hakim penengah

Mendengar penolakan itu, Umar tidak marah, ia menyarankan agar permasalahan ini meminta pendapat orang lain. Sehingga, keadilan dapat diterima semua pihak.  “Kita serahkan urusan ini pada hakim,” pinta Umar.

Orang Arab Baduwi itu pun mengiyakannnya. Dia mengajak Umar untuk menemui Syuraih bersama-sama. “Baik. Yang menghakimi kita adalah Syuraih bin Harits al-Qadhi,” katanya.

“Aku setuju dengan keputusanmu,” kata Umar meski dia belum mengetahui siapa itu Syuraih.

Setelah sampai di tempat Syuraih, penjual kuda menceritakan permasalahannya. Mulai dari awal transaksi sampai kembalinya Umar untuk mengembalikan kuda.

Tatkala Syuraih mendengar dakwaan si penjual kuda, ia menoleh pada Umar dan bertanya, “Apakah Anda membeli kuda darinya dalam keadaan sehat tanpa cacat, wahai Amirul Mukminin?”

“Ya!” jawab Umar dengan singkat.

“Jagalah apa yang Anda beli atau Anda kembalikan kudamu ke pemiliknya sebagaimana Anda membelinya,” kata Syuraih.

Mendengar perkataan Syuraih yang tegas dan lugas, Umar kaget dan kagum seorang manusia biasa yang jauh dari pusat kota memiliki bahasa yang tegas dan cerdas.

Umar memandang Syuraih dengan kagum sambil berkata, “Sebuah bahasa jelas dan keputusan adil. Pergilah ke Kufah. Aku mengangkatmu menjadi hakim di sana,” perintah Umar.

Sebelumnya, kebanyakan orang tak mengenal Syuraih sebagai orang terpandang. Orang juga tidak tahu tentang kecerdikannya. Ia tidak dikenal sebagai pemilik ide di kalangan sahabat dan pemuka tabiin.

Kasus Terselesaikan

Banyak kasus yang ia tangani berakhir dengan sangat menakjubkan tanpa ada perpecahan di antara banyak pihak. Pengalaman perselisihan juga dialami Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.

Alkisah, Ali kehilangan baju besi miliknya. Baju besi mahal dan berharga itu ditemukan oleh seorang non-Muslim (dzimmi) dan hendak dijual di pasar. “Ini baju besiku yang jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘begini’,” kata Ali.

“Tidak, ini baju besiku karena ia ada di tanganku, wahai Amirul Mukminin,” jawab dzimmi itu.

“Tak salah lagi, baju besi itu milikku. Aku tidak merasa menjual dan memberikannya pada orang lain. Dan sekarang tiba-tiba baju itu ada di tanganmu.”

“Di antara kita ada seorang hakim Muslim.”

“Engkau telah meminta keadilan. Mari kita ke sana.”

Keduanya lantas pergi ke Syuraih al-Qadhi. “Apa yang ingin Anda katakan, wahai Amirul Mukminin?”

“Aku menemukan baju besiku di tangan orang ini karena benda itu benar-benar jatuh dari untaku pada malam ‘ini’, di tempat ‘ini’. Lalu, baju besiku sampai ke tangannya, padahal aku tidak menjual atau memberikan padanya.”

Sang hakim bertanya kepada si dzimmi, “Apa yang hendak kau katakan, wahai si fulan?”

“Baju besi ini milikku dan buktinya ia ada di tanganku. Aku juga tidak menuduh khalifah.”

Sang hakim menoleh ke arah Amirul Mukminin sembari berkata, “Aku tidak ragu dengan apa yang Anda katakan bahwa baju besi ini milik Anda. Tapi, Anda harus punya bukti untuk meyakinkan kebenaran yang Anda katakan, minimal dua orang saksi.”

“Ya, saya sanggup. Budakku, Qanbar, dan anakku, Hasan, bisa menjadi saksi.”

“Namun, persaksian anak untuk bapaknya tidak diperbolehkan, wahai Amirul Mukminin.”

“Mahasuci Allah! Seorang ahli surga tidak boleh menjadi saksi. Tidakkah kau mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa Hasan dan Husain adalah tuan para pemuda penduduk surga?”

“Ya. saya mendengarnya, Amirul Mukminin. Hanya saja Islam membuatku melarang persaksian anak untuk bapaknya.”

Khalifah lalu berkata pada si dzimmi, “Ambillah baju besiku karena aku tidak punya saksi lagi selain keduanya.”

Mendengar kerelaan Ali bin Abi Thalib, si dzimmi berujar, “Aku mengaku baju besi ini memang milik Anda, Amirul Mukminin,”

Ia lalu mengikuti sang Khalifah sambil berkata, “Amirul Mukminin membawa keputusan ke depan hakim. Dan, hakim memenangkan perkara ini untukku. Sungguh aku bersaksi bahwa agama yang mengatur perkara demikian ini adalah benar. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Nabi Muhammmad hamba dan utusan Allah! Ketahuilah wahai hakim, baju besi ini miliknya. Aku mengikuti tentaranya ketika mereka berangkat menuju Shiffin. Baju besi ini jatuh dari unta, lalu aku ambil.”

Ali bin Abi Thalib berkata, “Karena engkau telah masuk Islam, aku berikan baju ini padamu, berikut kudaku ini.” Beberapa waktu kemudian, laki-laki itu gugur sebagai syahid ketika ia ikut berperang melawan kaum Khawarij di Nahrawan.

Tepat

Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah amat tepat. Tinta emas sejarah mencatatnya sebagai hakim adil dan bertakwa. Syuraih adalah seorang lelaki Yaman dari suku al-Kindi.

Saat Jazirah Arab disinari cahaya Islam dan menyebar hingga ke negeri Yaman, Syuraih termasuk orang yang pertama beriman kepada Allah dan Rasulnya. Bahkan, ia termasuk orang yang memenuhi panggilan dakwah Islam.

Syuraih menjalankan amanah dan menegakkan keadilan itu selama 60 tahun lamanya. Di depan peradilan, ia tak pernah mengistimewakan pejabat atau kerabatnya sendiri.

Pengangkatan Syuraih al-Qadhi sebagai hakim di Makkah tidaklah rumit, hanya merujuk pada kredibilitas, reputasi, dan integritas seseorang. Karena begitulah sistem pengangkatan seorang pejabat negara pada masa kekhalifahan Islam. Berbeda pengangkatan seorang pejabat negara seperti sekarang, perlu persyaratan administrasi yang melelahkan.