Benarkah Lakukan Dosa Besar Bisa Menjadi Kafir?

DALAM paham aqidah ahlu sunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meski dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadat alias tidak membuatnya berubah statusnya menjadi kafir.

Kecuali bila menafikan kewajiban-kewajiban yang mutlak seperti kewajiban salat, zakat dan lainnya. Yang membuat kafir itu bukan tidak melakukan ibadah salat atau tidak bayar zakat, tetapi mengingkari adanya kewajiban tersebut.

Jadi bila ada seorang muslim salatnya jarang-jarang tapi dalam keyakinannya dia sadar bahwa salat itu wajib, cuma masalahnya dia malas, maka dia tidak bisa dikatakan kafir atau keluar dari Islam.

Pemikiran bila seorang berbuat dosa besar lalu menjadi kafir seperti itu justru datang dari paham aqidah Mu`tazilah. Menurut paham ini Tuhan berjanji untuk memberi pahala kepada yang berbuat baik dan mengancam yang berbuat dosa. Sekali orang melakukan dosa, maka tidak ada ampun lagi selamanya. Karena itu bila seorang berdosa dan mati sebelum bertobat, maka dia akan kekal selamanya di neraka.

Dalam aqidah ahlisunnah, bila seorang berbuat dosa maka dicatat amal buruknya itu dan bila dia bertobat maka tergantung Allah, apakah akan diterima tobatnya atau tidak. Tapi yang jelas dia tidak menjadi kafir lantaran melakukan dosa meski sering diulangi.

Kafir yang bukan kafir

Jika seseorang tidak mengerti bahwa itu adalah suatu bentuk kekafiran, maka ia tidak berhak divonis kafir. Dasarnya adalah firman Allah Taala: “Barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah: 115)

“Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (Al-Isra: 15)

Namun jika seseorang sangat berlebihan di dalam meninggalkan thalabul ilmi dan mencari kejelasan (tentang permasalahannya), maka ia tidak diberi udzur. Contohnya, ketika disampaikan kepada seseorang bahwa ia telah mengerjakan sebuah perbuatan kekafiran, namun ia tidak mau peduli dan tidak mau mencari kejelasan tentang permasalahannya, maka sungguh ketika itu ia tidak mendapat udzur. Namun jika seseorang tidak bermaksud untuk mengerjakan perbuatan kekafiran, maka ia tidak divonis kafir. Misalnya seseorang yang dipaksa untuk mengerjakan kekafiran, namun hatinya tetap kokoh di atas keimanan.

Juga seseorang yang tidak sadar atas apa yang diucapkan baik disebabkan sesuatu yang sangat menggembirakannya ataupun yang lainnya, sebagaimana ucapan seseorang yang kehilangan untanya, kemudian ia berbaring di bawah pohon sambil menunggu kematian, ternyata untanya telah berada di dekat pohon tersebut. Lalu ia pun memeluknya seraya berkata: “Ya Allah, Engkau hambaku dan aku Rabb-mu.” Orang ini salah mengucap karena sangat gembira. Namun bila seseorang mengerjakan kekafiran untuk gurauan (main-main) maka ia dikafirkan, karena adanya unsur kesengajaan di dalam mengerjakannya, sebagaimana yang dinyatakan oleh ahlul ilmi (para ulama). (Majmu Fatawa Wa Rasail Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, 2/125-126, dinukil dari Fitnatut Takfir, hal. 70-71)

Umumnya kelompok takfir yang kerjanya menuduh kafir menggunakan ayat Al-Quran secara zahir. Misalnya ayat berikut ini: “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)

Kafirkah Berhukum dengan Selain Hukum Allah? Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah berkata: “Yang benar adalah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah mencakup dua jenis kekafiran, kecil dan besar, sesuai dengan keadaan pelakunya. Jika ia yakin akan wajibnya berhukum dengan hukum Allah (dalam permasalahan tersebut) namun ia condong kepada selain hukum Allah dengan suatu keyakinan bahwa karenanya ia berhak mendapatkan hukuman dari Allah, maka kafirnya adalah kafir kecil (yang tidak mengeluarkannya dari Islam).

Jika ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan hukum Allah itu tidak wajib dalam keadaan ia mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah dan ia merasa bebas untuk memilih (hukum apa saja), maka kafirnya adalah kafir besar (yang dapat mengeluarkannya dari Islam). Dan jika ia sebagai seorang yang buta tentang hukum Allah lalu ia salah dalam memutuskannya, maka ia dihukumi sebagai seorang yang bersalah (tidak terjatuh ke dalam salah satu dari jenis kekafiran).” (Madarijus Salikin, 1/336-337).

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sadi rahimahullah berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 44: “Berhukum dengan selain hukum Allah termasuk perbuatan Ahlul Kufur, terkadang ia sebagai bentuk kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari Islam bila ia berkeyakinan akan halal dan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah tersebut dan terkadang termasuk dosa besar dan bentuk kekafiran (yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam), namun ia berhak mendapatkan adzab yang pedih.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 195).

Beliau juga berkata tentang tafsir Surat Al-Maidah ayat 45: “Ibnu Abbas berkata: Kufrun duna kufrin (kufur kecil), zhulmun duna zhulmin (kezhaliman kecil) dan fisqun duna fisqin (kefasikan kecil). Disebut dengan zhulmun akbar (yang dapat mengeluarkan dari keislaman) di saat ada unsur pembolehan berhukum dengan selain hukum Allah, dan termasuk dari dosa besar (yang tidak mengeluarkan dari keislaman) ketika tidak ada keyakinan halal dan bolehnya perbuatan tersebut.” (Taisirul Karimir Rahman, hal. 196)

Maka dalam pandangan mereka (jamaah takfir), muslim mana pun sudah dianggap kafir lantaran tidak menjalankan hukum Allah dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya penguasa, tapi semua orang Islam yang tidak menjalankan hukum Islam.

Sedangkan dalam pemahaman aqidah Ahli Sunnah Wal Jamaah, mereka tidak kafir yang menyebabkan gugurnya status ke-Islaman dan murtad dari agama Islam. Tentang ayat di atas, Ibnu Abbas RA berkata, “Kafir yang dimaksud bukanlah kafir yang membuat seseorang keluar dari millah (agama). Tidak seperti kafir kepada Allah dan hari akhir.” Hal yang sama juga dikatakan oleh Thaus.

Sedangkan Atha` mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kafir bukanlah kafir yang sesungguhnya. Sedangkan Ibnul-Qayyim menerangkan tentang kandungan ayat itu sebagai berikut, “Kufur itu ada dua macam. Kufur akbar (besar) dan kufur ashghar (kecil). Kufur akbar adalah kufur yang mewajibkan pelakunya masuk neraka dengan kekal. Sedangkan kufur ashfghar akan menjadikan pelakunya diadzab di neraka tapi tidak abadi selamanya. []

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2374831/benarkah-lakukan-dosa-besar-bisa-menjadi-kafir#sthash.qIRDCPa7.dpuf