Kisah Syeikh Abdul Qadir Jailani Enggan Mengucapkan Kafir

Pemilik gelar Sulthanu Auliyaillah (rajanya para waliyullah), Syaikh Abdul Qadir Jailani menembus batas dinding yang kasat mata dalam melihat manusia. Tak melulu soal bergaul dengan orang yang seagama, Syaikh Abdul Qadir pun bergaul dengan mereka yang beda agama. Ini bisa ditelisik dari pesannya yang tertulis dalam kitab Nashaihul Ibad h. 12,

اذا لقيت ادا من الناس وإن كان كافرا قلت لا أدري عسى أن  اسلم فيختم له بخير العمل وعسى أن اكفر فيختم لي بسوء العمل

Jika engkau berjumpa dengan manusia dan dia nonmuslim alias kafir maka katakanlah, aku tidak tahu. Bisa jadi ia kelak akan memeluk Islam dan berakhir dengan amal baik (husnul khatimah) dan bisa jadi aku kelak menjadi kafir kemudian berakhir dengan amal yang buruk (suul khatimah).

Membaca pesan ini, kita bisa mengetahui bahwa Syaikh Abdul Qadir enggan untuk nyebut-nyebut orang beda agama itu kafir. Minimal ia mengajarkan kita untuk mengatakan, aku tidak tahu. Contoh yang sangat beradab, melihat pada diri sebelum menjustifikasi orang lain. Siapa yang bisa menjamin keimanan seseorang hingga akhir hayatnya? Manusia sesalih Nabi Ya’kub saja masih khawatir terhadap sesembahan keturunannya. Peristiwa ini terekam dalam Al-Quran, Surah al-Baqarah ayat 133;

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَٰهَكَ وَإِلَٰهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَٰهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

“Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”

Lalu bagaimana dengan kita? Nabi bukan! Waliyullah bukan! Dan yang pasti tidak mampu menjamin keislaman diri sendiri hingga akhir hayat, perlukah melontarkan ungkapan kafir? Sebagaimana pesan Abdul Qadir Jailani, sebab, bisa jadi dia mendapat hidayah hingga menjadi orang yang husnul khatimah. Sebaliknya, kita belum tentu akan berakhir dengan husnul khatimah. Tapi kita berdoa, semoga kita menjadi manusia yang baik sedari awal hingga akhir.

Atas dasar ketidak-pastian ini, maka dari pada nyebut-nyebut orang yang beda agama kafir sebaiknya diurungkan saja. Alangkah bijak jika melihat orang yang beda agama dengan diganti dengan doa. Siapa tahu dengan doa yang dipanjatkan Allah memberi hidayah hingga satu persatu -atau mungkin anak cucu mereka- bisa seagama dengan kita. Bukankah Nabi Muhammad pernah mempraktikkan contoh bijak ini?

Pernah suatu ketika Rasulullah berdakwah pada penduduk Thaif yang masyarakatnya notabene nonmuslim. Dakwah Rasulullah ditolak. Lebih dari itu, Rasulullah disakiti dan konon hingga dilempar dengan batu dan kotoran. Adakah Rasul menyebut mereka dengan, “Kalian penduduk Thaif kafir!”  Tidak! Justru Paling agungnya manusia yakni, Rasulullah malah mendoakan mereka, Allahumma ihdi qaumi fainnahum la ya’lamun (Ya Allah berilah hidayah kaumku karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui).

Dari hal-hal sederhana ini, Islam akan semakin terasa ke-rahmatan lil’alamain-annya. Sebab Islam adalah agama yang mengajarkan tutur kata yang indah didengar, sejuk di telinga, dan membekas di relung jiwa. Maka kalau ada kata yang lebih elok didengar dan sebagian kita masih bersikeras meneriakkan “kafir, kafir, dan kafir,” apakah ini tidak berarti bahwa kita sendiri telah mengangkangi ke-rahmatan lil’alamin-an Islam?

Didukung dengan kegemaran sebagian masyarakat Indonesia, yang ketika melihat orang yang beda pilihan politik saja, pekik kafir sudah terlontar liar kemana-mana. Bahkan kadang, tokoh masyarakat kena getahnya. Kondisi ini akan berpotensi besar mengancam saudara seagama pecah oleh karena gampangnya saudara yang lain melontarkan kata kafir.

Atas dasar kecintaan kita pada agama, bangsa, dan negara masihkah kita tidak mau move on dari kata “kafir”? Saatnya, meresapi dalam-dalam pesan sulthanu auliyaillah tersebut di atas.

BINCANG SYARIAH

Jangan Sembarangan Panggil ‘Kafir’ ke Sesama Muslim

Takfiri atau memvonis orang lain sebagai kafir merupakan persoalan dalam umat Islam. Ada konsekuensi syariat atas seseorang yang dinyatakan sebagai kafir.

Di antaranya adalah, batalnya status pernikahan, tidak ada hak asuh anak, tidak memiliki hak untuk mewariskan dan mewarisi, serta  tidak boleh dikubur di permakaman Islam saat meninggal.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menegaskan, takfir merupakan hukum syariat yang tidak boleh dilakukan orang per orang atau lembaga yang tidak memiliki kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.

Nabi Muhammad SAW juga telah memperingatkan umatnya agar tidak sembarangan menuding sesama Muslimin sebagai kafir. Sebab, imbasnya akan sangat berat, baik bagi si penuduh maupun tertuduh.

Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang berkata ‘kafir’ kepada saudaranya, maka sungguh akan kembali sebutan kekafiran tersebut kepada salah seorang dari keduanya.”

Dalam hadis lain, disebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Apabila seseorang berkata kepada orang lain, ‘kafir’, maka kafirlah salah satu dari keduanya.

Apabila orang yang dikatakan kafir itu (memang) kafir keadaannya, maka ia telah (berucap) benar.

Namun, apabila orang itu keadaannya tidak seperti yang ia katakan, maka ucapan kafir yang ia katakan kepada orang tersebut kembali kepadanya.”

Sejarah pun mencatat kisah Usamah bin Zaid. Setelah suatu pertempuran jihad fii sabilillah usai, sahabat Nabi SAW itu berkata kepada beliau.

“Aku bertemu seorang laki-laki. Aku hendak menghujamkan tombak, tetapi laki-laki itu mengucapkan syahadat. Aku tetap saja menusuk dan membunuhnya,” tutur Usamah.

Wajah Rasulullah SAW kemudian tampak tidak senang.

“Celakalah engkau wahai Usamah!” kata beliau, “bagaimana nasibmu kelak dengan ucapan la ilaha illallah?”

Demikian Rasul SAW berulang kali mengulangi perkataannya. Mengapa engkau membunuhnya, padahal orang itu telah mengucapkan laa ilaaha illa Allah? Apakah engkau bisa mengetahui isi hati orang itu? Mengapa tetap memvonisnya sebagai kafir?

Akhirnya, Usamah amat sangat menyesali perbuatannya. Rasanya, ia ingin dirinya saja yang mati terbunuh sebelum peristiwa itu terjadi.

Sejak itu, ia berjanji tak akan pernah lagi membunuh orang ataupun musuh yang telah mengucapkan syahadat. Sikap itu ia pegang teguh bahkan ketika terjadi fitnah besar antara kubu Khalifah Ali dan Mu’awiyah. Usamah berusaha netral dan berdiam diri di rumah selama pertikaian berlangsung.

KHAZANAH REPUBLIKA

Kapan Menyebut “Kafir” dan Kapan Menyebut “Non-Muslim”

Terkait dengan istilah dan penggunaan kata “non-muslim” dan “kafir”, ada dua kelompok yang berlebihan atau ekstrim.

Kelompok pertama, mereka mengatakan bahwa tidak boleh sama sekali menggunakan kata “non-muslim”, harus menggunakan kata “kafir”. Asumsi mereka, apabila menggunakan kata “non-muslim”, maka ini bertentangan total dengan Al-Qur’an yang menggunakan kata-kata “kafir.”

Kelompok kedua, mereka mengatakan tidak boleh menggunakan “kafir” sama sekali karena ini terkesan kasar, keras, atau bahkan radikal.

Pendapat yang pertengahan dan tepat adalah boleh menggunakan kata “kafir” pada kondisi yang sesuai dan menggunakan kata “non-muslim” pada kondisi yang sesuai pula.

Inilah yang dimaksud dengan ungkapan,

لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَالٌ

“Setiap ucapan itu ada tempatnya.”

Misalnya, ketika dalam pengajian. Kita membahas tentang kafir memakai kata-kata “kafir” serta menyebut mereka dengan “kafir”, ini tidak masalah. Namun, apabila sedang berbicara dengan orang lain kita gunakan “non-muslim”, apabila kondisinya sesuai. Misalnya berkata, “Dia tetangga saya, dia non-muslim.”

Tentunya kita perlu bijak menggunakan sesuai dengan tempatnya. Perhatikan fatwa berikut ini,

هل يجوز الإشارة إلى الكافر باليد والقول له أنت كافر علما بأنه كافر فهل يجوز ذلك

“Apakah boleh menunjuk orang kafir dengan tangan dan mengatakan, ‘Hai kamu kafir?’ Perlu diketahui bahwa dia memang kafir (bukan Islam). Apakah boleh seperti ini?

Jawab:

فلا شك أن من لم يكفر الكافر أو يشك في كفره أنه كافر، وهذا أصل أصيل في الإسلام، إلا أن هذا لا يعني ما ذكره السائل من إسماع الكافر كونه كافراً، بل الغالب أن ذلك يتنافى مع الحكمة،

“Tidak diragukan lagi bahwa orang yang tidak mengkafirkan orang kafir atau ragu terhadap kekafiran mereka, maka dia juga kafir. Ini adalah pelajaran sangat mendasar dalam Islam. Akan tetapi, hal ini tidaklah berarti bahwa apa yang disebutkan oleh penanya, yaitu menunjuk dan menyebut ‘kafir’ di depan orang kafir, itu boleh. Bahkan umumnya hal ini bertentangan dengan hikmah (dalam berdakwah).” (Fatwa Islamweb no. 39380, asuhan Syaikh Abdullah Al-Faqih)

Mengenai panggilan “kafir” secara langsung kepada orang kafir pada kondisi yang tidak tepat, tentu ini tidak hikmah dalam dakwah. Bisa jadi mereka merasa terganggu dan semakin membuat mereka jauh dari Islam dan bahkan membenci Islam. Perhatikanlah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut,

ﻳَﺴِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻻَ ﺗُﻌَﺴِّﺮُﻭﺍ، ﻭَﺑَﺸِّﺮُﻭﺍ ﻭَﻻَ ﺗُﻨَﻔِّﺮُﻭﺍ

“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari.” (HR. Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1734)

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/58955-kapan-menyebut-kafir-dan-kapan-menyebut-non-muslim.html

Bahaya Mengkafirkan Sesama Kaum Muslimin

Mencela sesama kaum muslimin secara umum termasuk dalam perbuatan dosa besar. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سِبَابُ المُسْلِمِ فُسُوقٌ، وَقِتَالُهُ كُفْرٌ

“Mencela seorang muslim adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekufuran.” (HR. Bukhari no. 48 dan Muslim no. 64)

Lebih dari itu adalah mencela sesama muslim dengan melemparkan tuduhan bahwa dia telah kafir. Perbuatan ceroboh (penyakit) semacam ini telah menjangkiti sebagian kaum muslimin karena lemahnya pemahaman mereka terhadap aqidah dan manhaj yang benar. Padahal, banyak kita jumpai hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memperingatkan hal ini.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ يَرْمِي رَجُلٌ رَجُلًا بِالفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالكُفْرِ، إِلَّا ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِكَ

“Janganlah seseorang menuduh orang lain dengan tuduhan fasik dan jangan pula menuduhnya dengan tuduhan kafir, karena tuduhan itu akan kembali kepada dirinya sendiri jika orang lain tersebut tidak sebagaimana yang dia tuduhkan.” (HR. Bukhari no. 6045)

Dari sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لِأَخِيهِ يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا

“Siapa saja yang berkata kepada saudaranya, “Wahai kafir!” maka bisa jadi akan kembali kepada salah satu dari keduanya.” (HR. Bukhari no. 6104)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,

أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لِأَخِيهِ: يَا كَافِرُ، فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلَّا رَجَعَتْ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 60)

Dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Apabila seorang laki-laki mengkafirkan saudaranya, maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan membawa kekufuran tersebut.” (HR. Muslim no. 61)

Hadits-hadits di atas termasuk yang dinilai membingungkan, karena makna yang diinginkan tidak seperti yang tercantum dalam teks hadits. Menuduh (memvonis) sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah maksiat, yang tidak sampai derajat perbuatan kekafiran. Sedangkan seorang muslim tidaklah dinilai (divonis) kafir hanya dengan sebab maksiat, seperti misalnya berzina, membunuh, demikian juga dengan menuduh saudara muslim dengan tuduhan kafir, tanpa meyakini batilnya agama Islam. 

Oleh karena itu, terdapat beberapa penjelasan ulama berkaitan dengan hadits di atas. 

Penjelasan pertama, hadits di atas dimaknai bagi orang-orang yang meyakini halalnya perbuatan tersebut (adanya istihlal dari pelaku). Kalau seseorang meyakini (memiliki i’tiqad) bahwa perbuatan tersebut halal, inilah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir. 

Kaidah dalam masalah ini adalah maksiat itu berubah menjadi kekufuran ketika pelakunya meyakini halalnya perbuatan maksiat tersebut. Kalau dia bermaksiat, namun dia merasa bersalah, maka itu statusnya tetap maksiat. 

Penjelasan ke dua, yang kembali kepada dirinya adalah maksiat berupa pelecehan kepada saudaranya dan dosa maksiat akibat memvonis kafir saudaranya. Artinya, yang kembali kepada si penuduh adalah “maksiat menuduh kafir”.

Penjelasan ke tiga, sebagian ulama memaknai hadits ini khusus untuk orang-orang khawarij yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Ini menurut pendapat ulama yang mengatakan bahwa sekte khawarij itu kafir. Akan tetapi, pendapat ini lemah karena pendapat yang tepat adalah bahwa kaum khawarij itu tidak kafir sebagaimana kelompok ahlul bid’ah yang lainnya, meskipun mereka hobi mengkafirkan saudara sesama muslim.

Penjelasan ke empat, maknanya adalah bahwa perbuatan itu akan mengantarkan kepada kekafiran. Hal ini karena maksiat adalah pos pengantar menuju kekafiran. Orang yang banyak dan terus-menerus berbuat maksiat dan tidak bertaubat, maka dikhawatirkan lama-lama akan berujung kepada kekafiran.

Penjelasan ke lima, yang kembali kepada dirinya sendiri adalah “vonis (tuduhan) kafir”, bukan maksudnya kalau dirinya menjadi benar-benar kafir. Hal ini karena ketika dia menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka seolah-olah dia sedang menuduh dirinya sendiri, karena muslim yang satu dengan yang lain bagaikan satu tubuh (satu badan). 

Demikianlah lima penjelasan ulama tentang maksud hadits bahwa siapa saja yang menuduh saudara sesama muslim dengan tuduhan kafir, maka tuduhan kafir itu akan kembali kepada si penuduh. 

Kesimpulan, perbuatan (suka) menuduh sesama muslim dengan tuduhan kafir adalah perkara maksiat yang berbahaya. Seharusnya kita menjauhkan diri kita dari perbuatan semacam ini. 

[Selesai]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50837-bahaya-mengkafirkan-sesama-kaum-muslimin.html

99 Ular Azab Bagi Kafir di Dalam Kubur

SIKSA yang paling kita takuti tentu adalah azab neraka. Di mana kita dimasukkan api besar yang akan melumat seluruh tubuh, namun terus berulang-ulang hingga kiamat akan menyapa. Astagfirullah hal adzim.

Tentang azab orang kafir

Dalam sebuah dialog antara Nabi dan sahabat, Rasul bersabda : Adakah engkau ketahui, kepada siapa diturunkan ayat ini?Thaha ayat 124 (Maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit)

Para sahabat pun menjawab: Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Nabi Bersabda: azab bagi orang kafir di dalam kuburnya itu berupa siksa sembilan puluh sembilan tinnin. Tahukakah kamu apa itu tinnin? Yaitu sembilan puluh sembilar ular. Sedang tiap-tiap ular itu mempunai tujuh kepala yang mencakar, menjilat (menggigit) dan meniup hingga bengkak pada tubuh orang kafir. Adzab itu berlangsung hingga kiamat (Al-Hadist).

Imam Al-Ghazali menyebutkan, bahwa azab itu merupakan jelmaan dari sifat-sifat yang tercela, dari sombong, riya, dengki, tipu, busuk hati dan sifat-sifat lainnya, yang berbilang-bilang dan bercabang-cabang. Sehingga akhirnya menjelma di alam kubur berupa kalajengking dan ular.

Tentang azab bagi orang kikir tak mau mengeluarkan zakat

Sebagaimana Firman Allah dalam surat Ali Imran tentang larangan kikir dalam mengeluarkan zakat . “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil (kikir) dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak pada hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Ali Imran: 180).

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang dalam tafsir ayat ini: Yakni, janganlah sekali-kali orang yang bakhil menyangka, bahwa dia mengumpulkan harta itu akan bermanfaat baginya. Bahkan hal itu akan membahayakannya dalam (urusan) agamanya, dan kemungkinan juga dalam (urusan) dunianya. Kemudian Allah memberitakan tentang tempat kembali hartanya pada hari kiamat, Dia berfirman,”Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di leher mereka, kelak pada hari kiamat.” [Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imran ayat 180]

Abu Hurairah r.a berkata: Nabi Sawa bersabda : “Siapa yang diberi Oleh Allah kekayaan harta kemudian tidak mengeluarkan zakatnya, akan dibentuk baginya harta itu berupa ular botak kepalanya, bersungut dua, lalu dikalungkan di lehernya pada hari kiamat, lalu menggigit kanan kiri pipi sambil berkata : “Aku hartamu, aku timbunan kekayaanmu.” (HR. Bukhari)

Selain itu akan ada azab bagi kaum yang meninggalkan salat lima waktu

Dalam kitab Azzawajir susunan Ahmad bin Hajar Alhaitami berkata: “Tersebut dalam hadits: siapa yang menjaga sembahyang lima waktu maka Allah akan memulyakan dengan lima macam :

1. Dihindarkan dari kesempitan hidup

2. Dihindarkan siksa kubur

3. Diberi kitab amalnya dengan tangan kanannya

4. Berjalan di atas akhirat bagaikan kilat

5. Masuks surga tanpa hisab

Dan siapa yang meremehkan (meninggalkan) salat akan dihukum Allah dengan lima belas siksa. Lima di dunia, dan tiga ketika mati, dan tiga di dalam kubur dan tiga ketika keluar dari kubur. Adapun di dunia:

1. Dicabut berkat umurnya

2. Dihapus tanda orang salih dari mukanya

3. Tiap amal yang dikerjakan tidak diberi pahala oleh Allah

4. Doanya tidak dinaikkan ke langit

5. Tidak dapat bagian dari doa orang-orang salihin

Adapun hukuman yang terkena ketika mati :

1. Matinya hina

2. Matinya kelaparan

3. Matinya haus, dan andaikan diberi air samudera dunia tidak akan puas dan tetap haus.

Adapun hukuman ketika di alam kubur :

1. Disempitkan kuburnya hingga hancur tulang-tulang rusuknya

2. Dinyalakan api dalam kubur, maka ia bergelimpangan dalam api, siang dan malam.

3. Didatangkan padanya ular bernama syuja yang buta matanya dari api dan kukunya dari besi tiap kuku panjangnya perjalanan sehari, ia berkata pada di mayit: “Aku syuja al aqra sedang suaranya bagaikan petir yang menyambar, ia berkata: “Allah telah menyuruhku memukul kamu karena meninggalkan salat subuh hingga terbit matahari, dan memukulmu karena meninggalkan salat zuhur hingga asar, dan memukulmu karena meninggalkan salat magrib hingga isya dan memukulmu karena meninggalkan salat Isya hingga subuh, dan tiap ia memukul satu kali terbenamlah orang itu ke dalam tanha tujuh puluh hasta, maka ia selalu tersiksa dalam kubur hingga hari kiamat.

Adapun hukuman yang menimpa setelah keluar dari kubur :

1. Diberatkan hisabnya

2. Allah murka padanya

3. Masuk dalam neraka

Diriwayatkan: Bahwa dalam jahanam ada lembah bernama Lamlam yang berisi ular-ular, tiap-tiap ular setebal leher onta, panjangnya sejauh perjalanan sebulan, menggigit orang yang meninggalkan salat, maka mendidihnya bisa racunnya dalam badan orang yang digigit selama tujuh puluh tahun kemudian hancur dagingnya.

Adab bagi pelaku zina

Kita mengatahui bahwa sejatinya ketika melakukan zina di dunia pun sudah mendapat siksanya yaitu. Mendapat pukulan 100 kali jika yang berzina belum menikah dan akan mendapatkan rajam jika pelaku zina sudah menikah.

Sebagaimana firman Allah : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nuur : 2)

Diriwayatkan: Bahwa di Jahannam ada jurang yang bernama Jubbulhazan berisi ular dan kala-kala (Amblypygi) tiap-tiap kala sebesar keledai, yang mempunyai tujuh puluh duri, tiap-tiap duri penu dengan bisa/ racun, menggigit orang yang berzina dan menuangkan racunnya dalam badannya yang terasa dalam masa seribu tahun, kemudian hancur dagingnya sehingga mengalir darah bercampur nanah dari kemaluannya.

Diriwayatkan: Bahwa siapa menyentuh tangannya wanita yang tidak halal baginya dengan syahwat makan akan tiba di hari kiamat terbelenggu kedua tangan ke lehernya, maka jika dicium digunting di bibirnya dalam neraka, dan jika berzina, maka akan berkata pahanya menjadi saksi: Aku telah kamu gunakan untuk haram, maka Allah melihat padanya dengan murka sehingga jatuh daging mukanya.

Lalu diingkari perbuatannya tapi lidah berkata: Saya telah mengatakan apa yang tidak halal bagiku, dan tangan berkata: Aku telah menyentuh barang yang haran dan mata berkata: Aku telah melihat yang haram dan kaki berkata: Aku telah berjalan menuju yang haram dan kemuluan berkata : Aku telah berbuat yang haram.

Lalu malaikat penjaga berkata : Aku mendengar dan lainnya berkata: Aku mencatat dan Allah berfirman: Aku melihat dan menutupi dan Allah menyuruh pada Malaikat: Tangkaplah dan rasakan padanya dari siksa-Ku karena Aku sangat marah padanya, sebab ia tidak malu pada-Ku. [Kazuhana El Ratna Mida]

Sumber : bersamadakwah

[1] Irsyadul Ibad by Salim Bahresi

INILAH MOZAIK

 

 

Siapa Sesungguhnya Orang Kafir Itu?

SECARA etimologis, kafir dari kata Al-kufru, kata dasarnya kafara yang artinya menutup. Secara terminologi, kafir adalah setiap manusia yang berkeyakinan di luar Islam maka semua mereka adalah kafir, karena mereka tertutup dari hidayah Islam.

Kafir itu beragam, ada yang ateis (tidak bertuhan), ada politeis (banyak tuhan, musyrik/paganis, seperti semua agama penyembah berhala), ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Walau kafir tidak sebatas ini, dan secara nomenklatur/penamaan tidak hanya seperti ini, namun ada manusia yang tidak menuhankan Allah, tidak bernabikan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dst, maka dia juga kafir.

Tidak sedikit orang Islam sendiri yang menyempitkan makna kafir, yaitu sebatas orang tidak bertuhan saja, maka itu keliru dan tidak berdasar. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al-Bayyinah: 6)

Ayat ini menyebut kaum musyrikin (politheis) dan ahli kitab (Yahudi-Nasrani) adalah kafir, bahkan mereka di akhirat senasib dan satu “cluster”, neraka jahanam. Imam Al-Kasani Rahimahullah menjelaskan klasemen kekafiran sebagai berikut:
– Kelompok yang mengingkari adanya pencipta, mereka adalah kaum dahriyah dan mu’aththilah (atheis).
– Kelompok yang mengakui adanya pencipta, tapi mengingkari keesaan-Nya, mereka adalah para paganis (penyembah berhala) dan majusi.
– Kelompok yang mengakui pencipta dan mengesakan-Nya, tapi mengingkari risalah kenabian yang pokok, mereka adalah kaum filsuf.
– Kelompok yang mengakui adanya pencipta, mengeesakan-Nya, dan mengakui risalah-Nya secara global, tapi mengingkari risalah Nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, mereka adalah Yahudi dan Nasrani. (Lihat: Imam Al-Kasani, Al Bada’i Ash Shana’i, 7/102-103, lihat juga Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 8/263)

Ayat Alquran dan As-Sunah lugas menyebut mereka (Ahli Kitab) dengan sebutan kafir. Tentang Nasrani bahkan ada ayat khusus tentang kekafiran keyakinan bahwa Nabi Isa adalah Anak Tuhan, dan keyakinan trinitas mereka.

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putra Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.”

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” (QS. Al-Maidah: 72-73)

Ada pun dalam As-Sunah. Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Demi Zat yang jiwa Muhammad berada dalam tanganNya, tidak seorangpun dari umat ini yang mendengarku, baik seorang Yahudi atau Nasrani, lalu ia meninggal dalam keadaan tidak beriman terhadap risalahku ini (Islam), melainkan dia menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim no. 153, Ahmad No. 8188, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul Ummal No. 280, Abu Uwanah dalam Musnadnya No. 307, Al Bazzar dalam Musnadnya No. 3050, Ath Thayalisi dalam Musnadnya No. 509, 511)

Bahkan sebagian sahabat nabi seperti Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma- mengatakan bahwa Nasrani juga musyrik, artinya kekafiran mereka sama levelnya dengan politheis. Disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir: “Abdullah bin Umar memandang tidak boleh menikahi wanita Nasrani, dia mengatakan: “Saya tidak ketahui kesyirikan yang lebih besar dibanding perkataan: sesungguhnya Tuhan itu adalah ‘Isa, dan Allah Ta’ala telah berfirman: (Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai dia beriman).” (QS. Al-Baqarah (2); 122). (Tafsir Ibnu Katsir, 3/42)

Maka, ini sebagai penegas atas kekafiran Ahli Kitab, dan berpalinglah dari pemahaman kaum liberal yang mendistorsi makna kafir, sebatas tak bertuhan saja. Demikian. Wallahu A’lam. [Ustaz Farid Nu’man Hasan]

Pandangan Yusuf al-Qaradhawi Soal Kafir dalam Bernegara

Non-Muslim mempunyai hak yang sama dalam hidup berbangsa dan bernegara.

Polemik penggunaan kata kafir yang muncul sebagai hasil Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu, pada dasarnya adalah diskursus lama bahkan kerap menjadi bahasan para cendekiawan Muslim lintas generasi.

Pandangan tentang posisi kafir dalam konteks berbangsa dan bernegara pun, tak luput dari sorotan Syekh Yusuf al-Qaradhawi. Tokoh kelahiran Mesir, yang kini menjabat sebagai Sekjen Aliansi Ulama Islam Dunia itu, memaparkan gagasannya tentang status orang-orang kafir dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara itu, tertuang dalam mahakaryanya berjudul Ghair al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami yang terbit  lebih dari satu dasawarsa itu.

Kitab tersebut dikarang Syekh Yusuf Qardhawi dengan berlandasan ilmu dan pikiran, serta berporoskan fikih dan sejarah. Kitab ini untuk mempersatukan umat beragama, bukan memecah belah.

Hubungan antara masyarakat antara sesama warga negara, antara Muslim dan non-Muslim ditegakkan sepenuhnya atas toleransi, keadilan, kebajikan dan kasih sayang.

Qardhawi mengungkapkan bahwa landasan hubungan umat Islam dengan non-Muslim terdapat dalam Alquran surah al-Mumtahanah ayat 8-9, yang berbunyi:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang tiada pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain untuk mengusirmu dan membantu orang lain untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Berdasar ayat itu, menurut Qaradhawi, setiap Muslim dituntut agar memperlakukan semua manusia dengan kebajikan dan keadilan, walaupun mereka itu tidak mengakui agama Islam. Umat Islam harus adil kepada non-Muslim selama tidak menghalangi penyebaran Islam, tidak memerangi pengikutnya, dan tidak menindas para pemeluknya.

Toleransi Islam yang tak ada bandingnya tersebut dikupas lebih tajam oleh Qaradhawi di bagian akhir buku ini. Dia mengungkap tentang praktik-praktik toleransi yang dilakukan dalam perdaban Islam. Bahkan, dia membagi toleransi (tasamuh) keagamaan atas beberapa peringkat.

Dalam buku Qaradhawi ini, warga non-Muslim tidak disebut sebagai kafir, yaitu sebuah istilah yang baru-baru ini menjadi polemik di Indonesia. Tapi, dia menyebutnya sebagai ahludz-dzimmah atau dzimmiyyun (Orang-orang dzimmi), sebagaimana tradisi dalam Islam.

Kata dzimmah berarti perjanjian, jaminan dan keamanan. Warga non-Muslim disebut demikian karena mereka memiliki jaminan perjanjian (‘ahd)Allah dan Rasul-Nya serta jamaah kaum Muslimin, sehingga mereka bisa hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan dalam masyarakat Islam.

“Jadi, mereka berada dalam jaminan keamanan kaum Muslimin berdasarkan ‘akad dzimmah’,” kata Qaradhawi.

Akad dzimmah ini adalah akad yang berlaku selama-lamanya dan membolehkan non-Muslim tetap menganut agama mereka. Bahkan, mereka juga mendapatkan perlindungan dan perhatian dari jamaah kaum Muslim, dengan syarat ia membayar jizyah atau pajak per kapita.

Dalam buku ini, Qaradhawi juga menjelaskan tentang kondisi hukum syariat bagi non-Muslim yang hidup di tengah mayoritas umat Islam, baik dari segi kewajiban mereka ataupun hak-hak mereka yang dijamin sepenuhnya oleh umat Islam.

Di antara hak-hak non-Muslim tersebut adalah hak menikmati perlindungan negara Islam dan masyarakat Islami. Negara akan melindungi warga non-Muslim yang mendapat masalah di dalam negeri maupun di luar negeri, sehingga mereka merasa aman dan tentram.

Perlindungan terhadap kezaliman dari luar negeri itu juga ditegaskan dalam salah satu kitab dalam mazhab Imam Hambali, yaitu  Mathalib Ulin-Nuha: “Seorang imam wajib menjadi keselamatan ahludz dzimmah dan mencegah siapa saja yang menganggu mereka.”

Sementara, perlindungan terhadap kezaliman yang berasal dalam negeri adalah sesuatu yang sangat diwajibkan. Islam memperingatkan kepada umat Islam agar jangan sekali-kali menganggu dan melanggar hak ahludz-dzimmah, baik dengan tindakan maupun ucapan.

Terdapat banyak hadis yang secara umum mengharamkan kezaliman terhadap non-Muslim ahludz dzimmah. Salah satunya hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan al-Baihaqi berikut ini. Rasulullah bersabda:

“Barang siapa bertindak zalim terhadap seorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum Muslimin atau memerangi haknya atau membebaninya lebih dari kemampuannya atau mengambil sesuatu darinya tanpa ridhanya, maka akulah yang akan menjadi lawan si zalim itu kelak di hari kiamat.”

Namun, setiap hak yang didapatkan warga non-Muslim di negara mayoritas Islam tersebut tentu harus diimbangi dengan kewajiban yang harus dilakukan.

 

KHAZANAH REPUBLIKA

Sejarawan Islam Ini Jelaskan Istilah Kafir

Kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Sejarawan Islam, Dr Tiar Anwar Bachtiar menjelaskan, kata “kafir” berasal dari kata kafaro, dari Bahasa Arab yang artinya menutup. Dia mengatakan, kata kafir sebenarnya merupakan istilah internal umat Islam.

Tiar mengatakan, istilah kafir tidak hanya berarti orang non-Islam. Kata kafir atau kufaar (kufaar adalah bentuk jamak dari kafir) dalam Bahasa Arab juga berarti petani. Petani disebut demikian karena mereka menutup galian tanah.

“Petani dalam Bahasa Arab juga disebut kafir/kufaar. Artinya dia adalah orang yang menggali tanah kemudian menutupnya kembali,” kata Tiar Anwar, Ahad (3/3).

Selanjutnya, doktor dari Universitas Indonesia itu menerangkan, dalam internal umat Islam, kata kafir merupakan istilah bagi orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. “Kalau secara istilah, kafir artinya orang yang hatinya tertutup dari hidayah Allah. Maka disebutlah kafir (tertutup),” kata Tiar.

Selanjutnya, Tiar Anwar mengatakan, Alquran menggunakan kata kafir secara obyektif. Alquran tidak memiliki tendensi hinaan ataupun kekerasan. Kata kafir merupakan istilah teologis, untuk membedakan orang yang menerima hidayah Allah (Muslim) dan yang menutup diri dari hidayah Allah (kafir).

Anwar menegaskan bahwa istilah kafir hanyalah istilah teologi (akidah Islam). Bukan untuk istilah keseharian di masyarakat. Umat Islam tidak menggunakan istilah kafir sebagai kata sapaan.

“Tidak ada orang Islam yang memanggil orang non-Islam dengan sebutan hai kafir. Kalau dalam keseharian cukup dipanggil namanya saja,” kata Tiar Anwar.

Di sisi lain, Tiar Anwar menambahkan, istilah serupa juga digunakan oleh agama-agama lain. Tiar Anwar menyontohkan, agama kristen menyebut orang yang tidak menerima ajaran Kristen dengan istilah ‘domba yang tersesat’. Hal tersebut lumrah, karena pada dasarnya masing-masing agama memilki istilah untuk menyebut orang di luar agamanya.

 

REPUBLIKA

Melacak Akar Sejarah Kata Kafir di Indonesia?

Khazanah Melayu dan bahasa Indonesia sudah menyerap kata kafir sejak dahulu kala.

Sejak kapan kata kafir dipakai dalam kazanah bangsa Indonesia? Untuk menjawabnya sampai hari publik memang belum banyak tahu, alias masih serba abu-abu. Apalagi bila kemudian merunut penggunaan atau kapan kata itu ’kafir’ diserap dalam kosa kata dalam bahasa Melayu hingga bahasa Indonesia itu.

Yang pasti penerjemahan Alquran adalam bahasa Indonesia belum terlalu lama. Yang terlihat memang jejak sejarah penerjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu telah dilakukan sejak pertengahan abad ke-17 M. Sosoknya adalah pada figur Abdul Ra’uf Fansuri, seorang ulama dari Singkel (sekarang masuk wilayah Aceh) yang pertama kali menerjemahkan Alquran secara lengkap di bumi Nusantara.

Meski terjemahannya boleh disebut kurang sempurna dari tinjauan ilmu bahasa Indonesia modern, Abdul Ra’uf Fansuri bisa dikatakan sebagai tokoh perintis penerjemahan Alquran berbahasa Indonesia. Setelah munculnya terjemahan Alquran karya Abdul Ra’uf Fansuri. Setelah itu, hampir tak ditemukan lagi terjemahan Alquran dalam bahasa Indonesia hingga abad ke-19 M. Karya tafsir Alquran dia diberinama Tarjuman al-Mustafid.  Para ahli Melayu menegaskan, kitab tafsir Alquran pertama di Nusantara tersebut disambut umat Islam yang bersemangat mempelajari dan memahami isi ajaran Alquran.

Tak hanya itu, kitab tafsir tersebeut juga dipergunakan umat Islam di berbagai wilayah yang berbahasa Melayu, misalnya Malaysia dan Singapura. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), serta  Makkah (al-Amiriah).

Meski terkenal, terjemahan Alquran ini mendapat kritik dari orientalis asal Belanda, Snouck Hurgronje. Katanya, penerjemahan Alquran Abdul Raud Al Singkili  lebih mirip sebagai terjemahan tafsir al-Baidaiwi. Rinkes, murid Hurgronje, menambahkan bahwa selain sebagai terjemahan tafsir al-Baidawi,  karya ulama asal Aceh itu juga mencakup terjemahan tafsir Jalalain.

Menurut Azyumardi Azra, Abdul Ra’uf menulis terjemahan Alquran ke dalam bahasa Melayu dalam perlindungan dan fasilitas penguasaan Aceh, ketika itu. Ia sangat yakin, karya besar itu ditulis di Aceh. Tarjuman Mustafid  karya Abdul Ra’uf merupakan salah satu petunjuk besar dalam sejarah keilmuan Islam, khususnya tafsir di tanah Melayu.

Penerjemahan generasi kedua  di Indonesia muncul pada pertengahan tahun 60-an. Baru di awal abad ke-20 M, sejumlah karya-karya terjemahan Alquran lengkap dengan tafsirnya dibuat. Di antara karya-karya tersebut adalah Al-Furqan oleh A Hassan dari Bandung (1928), Tafsir Hidayatur Rahman oleh KH Munawar Chalil, Tafsir Qur’an Indonesia oleh Mahmud Yunus (1935), Tafsir Al-Qur’an oleh H Zainuddin Hamid cs (1959), Tafsir Al-Qur’anil Hakim oleh HM Kasim Bakry cs (1960).

Munculnya terjemah atau tafsir lengkap, menandai lahirnya generasi ketiga pada tahun 70-an. tafsir generasi ini biasanya memberi pengantar metodologis serta indeks yang akan lebih memperluas wacana masing-masing. Seperti tafsir An-Nur/Al-Bayan (Hasbi Ash-Shiddieqi, 1966), Tafsir Al-Azhar (Hamka, 1973), Tafsir Al-Quranul Karim (Halim Hasan cs, 1955) yang dianggap mewakili generasi ketiga.

Dan setelah itu muncul berbagai karya terjemahan Alquran dari berbagai orang sampai sekarang, termasuk dari penerjamahan dari Kemenag RI. Di sana kata atau istilah ‘kafir’ itu pun tetap ada dan tak diganti.

Sastrawan, pakar sufisme dan guru besar falsafah dan kebudayaan Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM mengaku terkejut bila kata ‘kafir’ dianggap pejoratif bagi kerukunan berbangsa, hubungan antaragama, dan antarmanusa. Apalagi kata ini sudah terserap dan dipakai dalam sastra melayu, sastra Aceh, dan sastra daerah semenjak dahulu kala. Jadi sangat jauh waktunya dari eksistensi formil bahasa Indonesia yang mulai muncul sosoknya secara jelas melalui ‘Sumpah Pemuda’ pada sejak tahun 1928.

Menurut, Abdul Hadi, sejak masuknya Islam di wilayah kepulauan yang kini disebut Nusantara kata ‘kafir’ sudah eksis secara nyata. Fakta itu nyata yakni pada sastra Melayu, yakni melalui berbagai karya Hamzah Fansuri. Di sana dia memakai kata Arab/Alquran itu. Malahan, bila dihitung tercatat lebih dari 3000 kata Arab diserap dalam bahasa Melayu.

“Saat itu, yakni pada abad 16, pun sudah digunakan kata kafir dan kata serapan bahasa Alquran lainya. Ini ada dalam beragaman bentuk puisi, syair, kitab fikh, ajaran keagaman Islam, dan lainnya. Silahkan baca isi kesusateraan lama kita. Berbagai kata itu, termasuk kafir’ sudah ada dan dipakai orang. Di sini memang kadang tidak mengakui dan malas baca asal usul bahasa itu ada yang ada dalam kazanah Islam yang sudah lama. Dan wlaupun ada baca, banyak yang hanya dari pandangan yang aliran sepaham saja,’’ katanya.

Tak hanya kata ‘kafir’, lanjut Abdul Hadi, kata ‘Habib’ pun bukan barang asing atau istilah baru dalam kazanah bahasa di Nusantara. Kata itu sudah dipakai pada abad 16. Di Jawa misalnya ‘habib’ mereka disebut sebagai ‘maulana’. Dan kata habib atau maulana itu dipakai orang untuk tidak hanya menyebut orang dan keturunan Arab dari Hadramaut saja, tapi bagi setiap  orang yang mereka anggap sebagai para pencinta ajaran Rasul Muhammad SAW.’’

Lalu kapan kata ‘kafir’ mempunyai konotasi keras atau pejoratif? Abdul Hadi menjawab itu sejak kolonial Belanda memakai kata ini sebagai lambang perlawaan bagi orang yang menentang eksistensinya sebagai pihak kolonial. Maka kata kafir dipandang sebagai sebutan untuk melawannya.

‘’Jejak kata ‘kafir’ dianggap bermasalah atau pejoratif sejak kata itu dipakai untuk melawan pihak penjajah, Kapan itu, sejak dari fatwa Syekh Abdul Samad al Palembangi pada abad 18. Sejak itu lebih tegas dipakai ulama dan rakyat untuk melawan diberbagai koloni Belanda termasuk untuk meletupkan Perang Jawa (Diponegoro), perang Padri yang kemudian memuncak pada  perang Aceh, dan lainnya. Dalam hikayat Perang Sabi karya Cik Pantekulu, kafir disebut ‘kaphe’,’’ katanya.

Dan  semua tahu, surat dan seruan Abdul Samad Al Palembani yang saat itu menjadi imam di Masjidil Haram dipasang di berbagai masjid di pusat kekasaan Mataram Jawa di Surakarta. Surat yang beredar menjelang Ramadhan ini sangat menggelisahkan pihak kolonial.

‘’Namun sebelum dipakai Syekh Abdul Samad Al Palembangi, sebelum itu kata ‘kafir’ sebagai sarana perlawanan terhadap kolonial, pun sebenarnya sudah dipakai, yakni pada sosok pejuang asal Makasar yang meninggal dan menjadi pahlawan di Afrika Selatan, Syekh Yusuf Al Makasari,’’ ujar Abdul Hadi.

Bahkan, lanjut dia, kata ‘kafir’ itu juga ada di serat Babad Lombok, Babad Madura dan lainnya. Bahkan sudah disebut pula dalam kitab Syamsudin Al Sumatrani, yang kemudian sudah diserap pula dalam bahasa Aceh dan Melayu. “Tak hanya itu, sepengetahuan saya dalam terjemahan Bible dalam bahasa Melayu pada abad 18,  kata kafir juga dipakai untuk orang yang tidak percaya pada ajaan Trinitas).

Lalu bagaimana dengan nasib kata ‘kafir’ di negara lain? Dalam hal ini ada kenyataan yang sangat menarik, yakni bila mengacu pada sejarah umat Islam yang tinggal di Balkan (Bosnia). Ternyata di sana kata  ‘kafir’ itu dipakai dalam masyarakat yang wilayahnya dahulu hidup dalam lingkup Kerajaan Ottoman. Kata kafir di dalam bahasa Balkan (Bosnia) disebut dengan ‘cavir’. Begitu juga kata lain yang identik menjadi pandangan hidup dan ajaran agama Islam seperti iman, azan, mukmin, syariat, syarufm maulana, dan lainnya. Mereka tak menerjemahkan atau menyerap dalam istilah bahasa lokal.

‘’Jadi sama saja dengan yang di Indonesia pun. Di mana banyak kata yang menjadi into ajaran Islam— seperti istilah kafir, iman, shaat, zakat, dan lainnaya — memang di Bosnia tak diterjemahkan. Kata itu merupakan ‘word viewnya’ orang Muslim baik yang ada di Balkan  yang di Eropa dan seluruh negara lainnya,’’ tukas sahabat saya.

Jadi apakah kata ‘kafir’ akan bernasib sama dengan kata ‘fiksi’ dan ‘fiktif’ yang sudah ramai diributkan orang belakangan ini. Ternyata banyak pihak yang salah paham dan bingung memahami? Atau mungkin nasibnya persis dengan kata ‘adil’ yang dalam bahasa Jawa atau bahasa lokal lainnya tak ketemu padan makna dalam satu kata yang sama. Ini persis juga nasib Rafles yang kala itu di Sumatra Timur terkejut dan bingung melihat orang yang tak sadar dan bikin ribut di kerumunan orang di pasar. Kata amuk akhirnya dimasukkan dalam lema Inggris menjadi ‘amock’. Silap kata memang bisa hilang isi kepala –bahkan nyawa– ternyata!

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

 

REPUBLIKA

Apa dan Siapa Kafir Itu?

Kafir adalah mereka yang tertutup hatinya menerima kebenaran, meski seorang Muslim

 

Sebenarnya saya tidak ingin ikut-ikutan membahas soal istilah kafir ini. Toh, saya bukan siapa-siapa. Lagi pula, sudah banyak ormas dan tokoh agama yang berkomentar masalah ini, mulai dari Nahdlatul Ulama (NU), tokoh Muhammadiyah yang juga ketua dewan pertimbangan MUI, Prof Din Syamsuddin, juga mantan menteri agama Prof Quraish Shihab, serta lainnya. Tentu penjelasan mereka sangat mendalam (in-depth analysis).

Namun, tak ada salahnya saya mengomentari istilah yang sekarang jadi viral ini. Barangkali apa yang saya kemukakan ada manfaatnya. Dan jika tidak ada manfaatnya, ya nggak apa-apa, silakan diabaikan saja. Kata seorang sahabat, melakukan sebuah tindakan lalu salah, itu lebih baik daripada tidak melakukan tindakan dan benar. Lebih parah lagi, tidak melakukan tindakan sama sekali dan salah. Karena itu, saya akan mencoba mengomentari istilah kafir ini, dengan sedangkal-dangkalnya pemahaman saya.

Sahabat!

Kita sudah sering kali mendengar dan bahkan menyebutkan bahwa orang yang tidak beragama Islam itu sebagai ‘kafir’. Itu yang diajarkan sejak kecil pada kita. Dan makna ini turun-temurun diwariskan dari generasi ke generasi, hingga pada akhirnya kita pun menerimanya taken for granted,dan tanpa memeriksanya lagi. Seolah, istilah itu sudah tepat, sehingga terkesan tidak mau ambil pusing dengan hal yang sesungguhnya.

Andai saja kita mau membuka kitab suci kita, yakni Alquran, kita pasti akan menemukan maknanya. Meskipun hanya melalui terjemahannya saja. Sebab, istilah ‘kafir’ itu sama sekali tidak berkaitan dengan perbedaan agama.

Baik, sebelum masuk pada pembahasan inti, ada baiknya kita bahas dulu tashrif dari kata ‘kafir’ ini. Dalam bahasa Arab, kata ‘kafir’ berasal dari akar kata isim fail tsulasi mujarrod dari wazan (kata) ‘kafara-yakfuru-kufran’, yang artinya menutup. Dan orang yang menutup (isim fail), disebut dengan ‘kaafir’ (kaf, alif, fa, dan ra). Ini makna secara bahasa. Kata ‘kafara’ ini kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris dengan kata ‘cover’ yang artinya penutup.

Ada pun kata ‘kafir’ secara istilah, bisa kita perhatikan penyebutannya dalam Alquran. Ada banyak sekali Alquran menyebutkan kata ‘kafir’ ini. Baik dengan kata kaafir, kaafirun, kufr, yakfuruun, maupun lainnya. Berikut beberapa contohnya.

Misalnya dalam surah al-Baqarah [2] ayat 6-7.

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”

“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”

Makna kafir dalam kalimat di atas, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, disebutkan; Innal ladziina kafaruu, sesungguhnya orang-orang kafir —yakni orang-orang yang menutup perkara yang hak dan menjegalnya— telah dipastikan hal tersebut oleh Allah akan dialami mereka. Yakni sama saja, kamu beri mereka peringatan atau tidak, mereka tetap tidak akan mau beriman kepada Alquran yang engkau datangkan kepada mereka.

Makna ayat ini semisal dengan ayat lain-nya, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat (azab) Tuhanmu tidaklah mereka akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (QS. Yunus: 96-97).

Kemudian dalam ayat ke-7 surah Al-Baqarah disebutkan, Khatamallahu, menurut As-Saddi maknanya ialah “Allah mengunci mati.” Menurut Qatadah, ayat ini bermakna “setan telah menguasai mereka, mengingat mereka taat kepada keinginan setan, maka Allah mengunci mati kalbu dan pendengaran mereka, dan pada penglihatan mereka terdapat penutup. Mereka tidak dapat melihat jalan hidayah, tidak dapat mendengarnya, tidak dapat memahaminya, dan tidak dapat memikirkannya”. Jadi, makna dari kata ‘kafir’ pada ayat tersebut adalah menutup diri dalam menerima kebenaran.

Secara lebih perinci bisa kita simak dalam surah Al-Kahfi [18] ayat 100-101.

“Dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.” “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (‘memerhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”

Dari dua ayat surah al-Kahfi ini, kita dapatkan definisi dari kata ‘kafir’. Bahwa yang dimaksud dengan orang-orang kafir adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar kebenaran sejati (al-Haqq).

Jika demikian, apakah orang yang kebetulan telah lanjut usia lalu mengalami ketulian atau buta, bisa dikatakan kafir? Atau, jika kebetulan seseorang ditakdirkan dalam keadaan tuli atau buta sejak lahir, apakah bisa dikatakan dirinya sebagai orang kafir? Sementara keinginan untuk lahir menjadi buta atau tuli bukanlah keinginannya sendiri. Jawabannya tentu saja tidak bisa demikian. Sebab, setiap orang diberi kesempatan untuk mendapatkan hidayah.

Lalu, apa maksud dari ayat 100-101 surah Al-Kahfi tersebut? Kita bisa lihat pada surah al-Hajj [22] ayat ke-46. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”

Nah, berdasarkan keterangan ayat ini, maka dapat kita tarik definisi bahwa yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama, melainkan mereka yang mata (hati), telinga (hati) yang di dalam dadanya tidak berfungsi dalam melihat al-Haqq (kebenaran sejati). Ia melihat alam semesta, tetapi tidak bisa melihat kebesaran Allah pada alam semesta. Ia mendengar suara, tetapi ia tidak mendengar suara kebenaran sejati. Yang dimaksud dengan mata dan telinga disini adalah apa yang ada di dalam dada/jiwa (shudur, nafs), bukan liver atau jantung.

Sahabat!

Setiap tubuh manusia terdiri atas tiga hal, yakni ruh, nafs (jiwa), dan jasad. Nafs (jiwa) inilah yang diabadikan dalam surah al-A’raf [7] ayat 172 saat kita bersumpah di hadapan Allah bahkan Dia-lah yang Maha Besar. “A lastu bi rabbikum? Qaalu Balaa syahidna (Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ia menjawab; Benar, (Engkau Rabb kami) dan kami menyaksikannya).

Nafsun (nafs) atau jiwa inilah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat oleh Allah SWT. Sedangkan jasad akan hancur menjadi tanah (sebagaimana awal kejadiannya), dan ruh akan kembali kepada Allah. Apa yang akan dilakukan ruh? Tak ada yang tahu, karena itu adalah urusan Allah. Lihatlah surah al-Isra [17] ayat 85. “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah’ “Sesungguhnya ruh itu adalah urusan tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) kecuali hanya sedikit.” (QS [17]: 85).

Kembali lagi kepada istilah ‘kafir’, merujuk pada keterangan berbagai ayat di atas, tampak jelas bahwa kafir bukanlah karena perbedaan agama (an-sich), melainkan hati dan pendengaran mereka yang telah tertutup terhadap kebenaran yang ada. “…Dan barang siapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb-nya.”

Lihat lagi surah al-Baqarah [2] ayat 6-7; “Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.”

Apakah ayat ini menegaskan tentang orang yang tidak beragama Islam itu kafir? Tentu tidak. Karena dari keterangan surah al-Baqarah tersebut, yang disebut dengan kafir itu adalah konteks ketertutupan qalb (hati), dan bukan dalam konteks perbedaan agama. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi (ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan). Kalau demikian, berarti ruhani seseorang yang tidak menerima Islam sebagai kebenaran, berarti dia kafir? Oh, tentu saja tidak. Lihatlah surah al-Baqarah [2] ayat 62 dan al-Hajj [22] ayat 17.

“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi-in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS [2]: 62).

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu. (QS [22]: 17).

Di dalam ayat tersebut disebutkan, bahwa orang yang beriman, orang Yahudi, Nasrani, Majusi, Sabi’in, dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta beramal saleh, mereka itulah orang yang akan mendapatkan pahala di sisi Allah.

Jadi, secara sederhana bisa kita katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb (hatinya) masih tertutup dari Al-Haqq (kebenaran Ilahi), dan tidak secara langsung terkait dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.

Apakah orang Islam yang tidak menjalankan perintah agamanya bisa disebut dengan kafir? Mungkin saja. Lihatlah surah al Hujurat [49] ayat 14. “Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk (aslamna)’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikit pun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Apakah orang yang tidak beragama Islam semuanya tidak beriman? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini dalam Alquran. “Dan sesungguhnya di antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.” (QS. Ali Iman [3]:199).

Juga pada ayat 113-114, surah Ali Imran [3];

“Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Ali Imran [3]:113-114).

Bahkan dalam salah satu hadisnya, Rasulullah SAW mengatakan; “Dari Abu Ja’d Adh-Dhomri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang meninggalkan tiga kali Jumatan karena meremehkan, maka Allah akan mengunci hatinya.” (HR. Abu Dawud).

Dalam riwayat Imam Muslim, hadis ini berbunyi: “Dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah bahwasanya mereka mendengar Rasulullah SAW bersabda di atas mimbarnya: “Hendaknya orang yang suka meninggalkan Jumatan itu menghentikan kebiasaan buruknya, atau Allah akan mengunci mati hatinya, kemudian dia menjadi orang-orang yang lalai.” (HR. Muslim).

Maksud mengunci mati hatinya adalah Allah menyegelnya, menutupinya, mencegah hati tersebut memperoleh Luthfun (kelembutan) dari Allah, memberi hati tersebut kebodohan, sifat kasar, keras hati atau menjadikannya hati orang munafik/hipokrit. Demikian dikatakan al-Manawi dalam kitabnya Faidh al-Qadir, Vol. 6, hlm 102).

Karena itu, kita bisa melihat bahwa kafir itu sesungguhnya bisa saja menimpa dan dialami umat Islam. Salah satunya, jika ia berulang kali (maksimal tiga kali) meninggalkan shalat Jumat. Merujuk pada keterangan ini, sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah ‘kafir’ adalah mereka yang telah tertutup hatinya menerima kebenaran, sekalipun mereka menjadi seorang Muslim. Allahu a’lam.

Secara umum, kafir itu bertingkat-tingkat, terutama dari caranya memahami kebenaran. Ada yang kafir mutlak, yakni sama sekali tidak bisa menerima dan memahami kebenaran (Al-Haqq), sedikit memayaminya, cukup memahami, atau bahkan sangat memahami. Dan kadar kekufuran itu juga demikian, tergantung bagaimana ia mampu memahami kebenaran (Al-Haqq) tersebut.

Mari kita perhatikan lagi surah al-Hujurat [49]: 14-18; “Orang-orang Arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (aslamna), ‘ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (14) Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah; mereka itulah orang-orang yang benar. (15) Katakanlah (kepada mereka), “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?” (16). Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu. Sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar.” (17) Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Hujurat [49]: 14-18).

Karena itu, orang yang beriman/iman (memercayai, meyakini kebenaran/al-Haqq), setingkat lebih tinggi dibandingkan dengan Islam (tunduk). Beriman itu masuk ke dalam hati (nafs/jiwa). Sedangkan seseorang yang telah ber-Islam, namun belum tentu dia memiliki iman. Dan lawan kata dari iman (percaya) adalah ‘kafara’ atau kafir, mengingkari atau menutup diri dari kebenaran al-Haqq.

Lalu bagaimana dengan istilah withuniyah (warga negara)? Menurut pemahaman saya yang faqir ini, tentu saja istilah tersebut sifatnya berbeda. Sebutan atau istilah withuniyah sangat terkait dengan kewarganegaraan. Siapa pun orangnya yang tinggal dalam suatu negara, ya dia berarti warga negara.

Apakah setuju dengan penyebutan istilah kafir pada orang yang berbeda agama dengan saya? Tentu saja tidak. Di atas sudah penulis jelaskan, bagaimana penyebutan kafir itu. Penulis lebih nyaman dengan istilah non-Muslim, karena memang faktanya berbeda agama. Saya Muslim dan mereka bukan Muslim (non-Muslim, ghairul muslimin). Soal keyakinan, kita kembalikan kepada Allah yang Maha Mengetahui.

Dan yang paling penting lagi, kita tidak boleh sembarangan bahkan serampangan menyebut seseorang dengan istilah kafir (takfir). Ingatlah hadis Nabi Muhammad SAW; “Barang siapa yang menuduh saudaranya (sesama Muslim) dengan sebutan ‘wahai kafir’, maka kekafiran itu akan kembali kepada salah satunya.” (HR Bukhari, No. 5752).

Bahkan, dalam Piagam Madinah, tak ada satu pun kata yang menyebutkan istilah ‘kafir’ kepada kelompok yang berada di luar Islam. Perjanjian antara Rasulullah, Kaum Muslimin, dan Yahudi itu, lebih banyak menyebut orang Yahudi. Sedang bagi penduduk Madinah yang belum menjadi Muslim, disebut dengan warga atau penduduk Madinah.

Allahu a’lam bish-shawab.

— Jagakarsa, 6 Maret 2019

Oleh: Syahruddin El-Fikri

 

 

REPUBLIKA