Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat?

Pertanyaan;

Assalamualaikum Warahmatullah wabarakatuh,

Min Bincang Syariah, saya mau bertanya Benarkah Rasululah Memerintahkan Umat Muslim Membunuh Orang Kafir Sampai Dia Bersyahadat. Pasalnya ada beberapa penceramah yang mendakwahkan demikian. Saya mohon penjelasannya, Min. Terimakasih

Jawaban;

Waalaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh

BincangSyariah.Com— Penanya yang budiman. Berikut jawaban kami terkait pertanyaan pembaca setia Bincang Syariah.

Dalam ajaran Islam membunuh merupakan perbuatan tercela. Menghilangkan nyawa manusia termasuk dosa besar. Pembunuhan dikategorikan sebagai dosa besar setelah syirik, baik yang dibunuh itu seorang muslim maupun non-muslim.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S al Isra’ ayat 33;

Artinya; Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allâh (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. [al-Isrâ`/17:33].

Selanjutnya, ada juga larangan membunuh manusia  dari baginda Nabi. Demikian itu termaktub dalam hadis riwayata Imam Bukhari dan Muslim. Nabi bersabda;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ

Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dari baginda Nabi, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh dosa yang akan membua binasa”, lantas sahabat  bertanya, “Wahai Rasullah, dosa apakah itu?”

Beliau menjawab, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang Allah haramkan kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, berpaling dari perang yang berkecamuk, menuduh zina terhadap wanita-wanita merdeka yang menjaga kehormatan, yang beriman, dan yang bersih dari zina”. (HR Imam Bukhari/2615 dan 6465, dan Imam Muslim/89).

Kemudian persoalan, Nabi menganjurkan membunuh orang kafir sehingga mereka bersyahadat? Penting kita ketahui bersama, Muhammad adalah Nabi yang diutus Allah sebagai rahmat bagi sekalian alam. Muhammad adalah manusia penuh kasih dan cinta dalam hatinya.

Menurut Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad Din, bahwa karakter yang tercermin dalam diri Nabi adalah Al-Quran. Sejatinya, kehidupan Rasulullah merupakan sikap teladan yang universal bagi manusia di seluruh dunia. Dalam diri Rasullulah menjangkau pelbagai lini kehidupan, baik itu kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pendek kata, perilaku Nabi menjangkau seluruh bidang aktivitas manusia.

Sebagaimana dalam firman Allah dalam al-Ahzab ayat 21;

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

Artinya; Sesungguhnya pada diri Rasulullah (Muhammad) itu terdapat pola keteladanan yang baik bagimu.”

Salah satu tauladan yang ditunjukkan Nabi adalah cinta dan kasih terhadap manusia. Meskipun ia seorang non muslim. Hubungan indah dibangun Nabi dengan komunitas Kristen dan Yahudi di negeri Madinah.

Namun, harus diakui dalam pelbagai firman dan hadis Nabi ada beberapa teks ayat atau hadis yang menyuruh untuk berperang. Pada kesempatan ini, tulisan kita batasi terkait teks hadis yang menyuruh berperang dan membunuh non Muslim.

Berikut hadisnya;

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ ، وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ ، فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّى دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِسْلاَمِ ، وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

Artinya: Dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Aku diperintah untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan supaya mereka menegakkan shalat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir mereka terserah kepada Allah. (HR: AL-Bukhari dan Muslim)

Tak bisa dipungkiri, hadis ini sering disalahpahami orang yang membacanya. Kesalapahaman dalam menilik hadis ini datang dari dua kutub. Kutub pertama, diwakili oleh seorang muslim yang radikal, mereka memahami hadis ini sebagai legitimasi untuk memerangi dan membunuh seluruh kafir yang enggan memeluk agama Islam.

Sedangkan kutub kedua diwakili oleh sebagian non-muslim. Mereka  menganggap hadis ini bukti otentik Islam sebagai agama yang mengajarkan terorisme dan  kekerasan. Islam bagi mereka disebarkan melalui perperangan dan pembunuhan.

Tentu saja kedua anggapan di atas sangat tidak benar. Islam bukanlah agama yang disebar dengan kekerasan. Islam tak juga agama perang. Islam itu cinta damai dan kemanusiaan. Untuk itu, terkait hadis di atas penting kita memahami konteks turun hadis ini. Dan penting juga kita memahami apa sejatinya maksud ini.

Menurut Ibn Taimiyah dalam hadis tersebut, kata an-nas bukanlah memerangi seluruh non muslim. Dan bukan pula membunuh seluruh non muslim. Ada pun kata an-nas dalam hadits di atas adalah orang-orang (manusia) yang ingin memerangi umat Islam. Dalam hadis ini manusia yang boleh atau diizinkan diperangi, hanya orang-orang musyrik yang mengangkat senjata dan ingin berperang dengan umat Islam.

Ada pun orang-orang musyrik atau non muslim lain yang mengikat tali damai dengan orang Islam, maka tak boleh diperangi. Ibn Taimiyah memperkuat argumennya dengan firman Allah dalam Q.S Albaqarah ayat 190;

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).

Dalam Jurnal Ilmu–Ilmu Ushuluddin Vol. 07, No.01, Juli 2019, Muhammad Mundzir membahas hadis di atas dengan judul Reinterpretasi Hadis Perintah “Membunuh Manusia Sampai Mengucap Syahadat” Sebagai Upaya Deradikalisasi Agama, dengan mengutip Ibn Hajar dalam kitab Fathul Bari, ia mengatakan bahwa matan hadis  di atas menggunakan lafazd “hatta yashadu”, merupakan hadis yang sanadnya gharib. Hadis itu dimulai dari periwayatan Waqid dan Syu’bah.

Di samping itu, Ibn Hajar al-‘Asqalaniy juga mengatakan hadis yang sanadnya gharib dari periwayatan Abdul Malik. Dengan demikian, Imam Bukhari dan Muslim memberikan kesimpulan akhir bahwa hadis tersebut matannya shahih, sedangkan dan sanadnya gharib.

Lebih lanjut, Ibn hajar berpendapat hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar di atas, sejatinya merupakan sebuah respon dari perdebatan  antara Umar dan Abu Bakar. Perdebatan itu terjadi ketika melihat orang-orang yang melarang untuk berzakat dan orang-orang yang tidak ingin mengeluarkan zakat, sehingga Umar geram dan ingin membunuhnya.

Akan tetapi, Abu Bakar menambahkan dengan lafadz Illa bi Haqqi Islam, sehingga membunuh bukan jalan satu-satunya tatkala terdapat orang yang melarang zakat, tetapi mengajak mereka untuk masuk Islam.

Pada sisi lain, Muhammad Khudari dalam artikel Bahaya Salah Memahami Hadist ‘Memerangi Orang-orang Musyrik’, menuliskan bila kita telisik redaksi hadits sejenis dengan hadis di atas dari pelbagai jalur riwayat, maka tidak ada yang menggunakan redaksi “umirtu an aqtula”.

Seluruh hadits hadits menggunakan redaksi “umirtu an uqaatila”. Ada pun dalam ilmu gramatika bahasa Arab, dua redaksi hadis anata “an aqtula” dengan “an uqaatila” memiliki perbedaan makna yang signifikan. Jika redaksi “an uqaatila” ini menunjukkan bahwa perbuatan penyerangan itu dilakukan oleh dua pihak.

Tentu ini berbeda dengan “an aqtula”, yang dimaksud dengan redaksi ini adalah penyerangan oleh satu pihak. Apa arti ini? Perintah untuk memerangi orang-orang musyrik atau non Islam dalam hadis di atas, mana kala para kaum musyrik itu terlebih dahulu memerangi umat Islam. Inilah maksud hadist di atas.

Larangan Rasulullah membunuh kaum kafir Mua’had, dzimmi, dan Musta’man

Terdapat dalam pelbagai hadis Nabi, yang menyebutkan bahwa Islam melarang membunuh kaum non muslim dari kalangan Mua’had, dzimmi, dan Musta’man. Rasul dengan tegas melarang memerangi dan membunuh orang non muslim yang tak menyatakan perang dan menyerang Islam.

Sembari itu, Rasul pun mengancam orang yang membunuh orang kafir jenis ini. Pasalnya mereka adalah orang yang dilindungi dan haram untuk disakiti dan perangi. Nabi mengatakan membunuh dan menyerang tiga golongan tersebut, termasuk dosa besar.

Nabi bersabda;

مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya; Barangsiapa membunuh kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun. (HR Imam Bukhari).

Adapun yang dimaksud dengan kafir Mua’ahad adalah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar al Asqallany dalam kitab Fathul Bari, kaum kafir mu’ahad adalah orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin. Perjanjian itu berupa membayar jizyah, perjanjian damai dari pemerintah Islam, atau orang yang memiliki jaminan keamanan dari seorang Muslim.

Di samping itu juga, terdapat hadis Rasullah yang melarang membunuh orang kafir dzimmi. Pelaku yang melanggar, maka itu tergolong dosa besar dan tak akan masuk surga pelakunya.

Rasullah bersabda;

مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا

Artinya: Siapa saja yang membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sejatinya, bau surga itu bisa tercium dari perjalanan empat puluh tahun (HR Imam An Nasa’i).

Demikian penjelasan terkait benarkah Rasululah memerintahkan umat muslim membunuh orang kafir sampai dia bersyahadat.

BINCANG SYARIAH