Benarkah Tidak Boleh Menarik Biaya Dalam Pendidikan Islam?

Benarkah menarik biaya dalam mengajar agama itu menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’.

Seorang penanya menyatakan, “minta upah dari murid dan mensyaratkannya dalam mengajar, ini menyelisihi dakwah para Nabi. Allah memerintah Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad), Aku tidak minta upah sedikit pun pada kalian atas dakwahku’ (QS. Shad: 86-88). Juga QS. Hud: 29, 109, 127, 145, 164, 180, QS. Asy Syu’ara: 109, 126, 145, 164, 180. Ishaq bin Rahawaih ditanya tentang ahli hadits yang mengajar dan minta upah, beliau menjawab: Jangan tulis hadits dari mereka (Siyar A’lamin Nubala). Termasuk dalam bab ini apa yang dikenal dengan istilah SPP, uang pendaftaran, uang bangunan, dll. yang sejenis dengannya”.

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat serta salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Apa yang diutarakan pada pertanyaan ini kurang tepat, dan pendalilannya juga tidak pada tempatnya.

1. Bolehnya meminta upah dari pengajaran Al Qur’an

Ditemukan dalam banyak dalil yang menunjukkan bolehnya memungut upah dari pengajaran Al Qur’an, di antaranya sahabat Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma meriwayatkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ أحقَّ ما أخَذْتُمْ عليهِ أجرًا كتابُ اللهِ

“Sesungguhnya hal yang paling layak untuk engkau pungut upahnya karenanya ialah Kitabullah” (Muttafaqun ‘alaih).

Hadits ini dengan jelas membolehkan Anda memungut upah karena membacakan Al Qur’an dalam pengobatan atau mengajarkan bacaan atau hafalan Al Qur’an. Padahal anda menyadari bahwa jerih payah yang Anda curahkan untuk itu lebih sedikit dibanding mengajarkan berbagai kandungan ilmu yang tersurat dan tersirat padanya. Baik pengajaran tersebut Anda lakukan secara lisan atau melalui tulisan, format atau non formal.

Hadits berikut juga menguatkan kesimpulan di atas. Sahabat Sahl bin Sa’ad mengisahkan,

أتت النبي صلى الله عليه وسلم امرأة فقالت : إنها قد وهبت نفسها لله ولرسوله صلى الله عليه وسلم ، فقال : ( ما لي في النساء من حاجة ) . فقال رجل : زوجنيها ، قال : ( أعطيها ثوبا ) . قال : لا أجد ، قال : ( أعطها ولو خاتما من حديد ) . فاعتل له ، فقال : ( ما معك من القرآن ) . قال : كذا وكذا ، قال : ( فقد زوجتكها بما معك من القرآن )

“Ada seorang wanita yang datang menjumpai Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, lalu wanita itu berkata: ‘Sesungguhnya aku telah menghibahkan diriku kepada Allah dan Rasul-Nya’. Mendengar ucapan itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab: ‘Aku tidak berhasrat untuk menikahi seorang wanita lagi‘. Spontan ada seorang lelaki berkata: ‘Bila demikian, nikahkanlah aku dengannya’. Menanggapi permintaan sahabatnya itu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Berilah ia mas kawin berupa pakaian‘. Lelaki itu menjawab: ‘Aku tidak memilikinya’. Kembali Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Bila demikian, berilah ia mas kawin walaupun hanya cincin besi (walau sedikit)‘. Kembali sahabat itu pun mengutarakan alasan yang sama. Sehingga Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bertanya kepadanya, ‘Surat apa saja yang telah engkau hafal?’. Lelaki itu pun menjawab, ‘Surat ini dan itu’. Akhirnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Aku telah menikahkanmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal‘” (Muttafaqun ‘alaih).

Dan pada riwayat Muslim disebutkan, “pergilah sungguh aku telah menikahkanmu dengannya, maka ajarilah ia (surat-surat) Al Qur’an (yang telah engkau hafal)”.

Pada hadits ini, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengizinkan sahabat tersebut untuk menjadikan pengajaran Al Qur’an sebagai mas kawin. Ini membuktikan bahwa pengajaran Al Qur’an, bacaannya, menghafalkannya, dan juga kandungan ilmunya memiliki nilai ekonomis. Andai itu semua tidak bernilai ekonomis, niscaya tidak boleh dijadikan sebagai mas kawin. Karena ulama telah sepakat bahwa pernikahan yang tidak dilengkapi dengan mas kawin adalah haram alias tidak sah. Ini tentu cukup sebagai dalil bahwa mengajarkan ilmu-ilmu kandungan Al Qur’an juga memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, tidak mengapa anda memungut upah dari pekerjaan mengajarkan ilmu-ilmu tersebut.

Namun demikian, apa yang saya utarakan di sini belum menjadi kesepakatan para ulama. Perselisihan ulama dalam masalah ini telah masyhur, walaupun pendapat yang saya utarakan ini lebih kuat dari tinjauan dalilnya.

Dan kisah berikut dapat menjadi bukti nyata bahwa sikap Ishaq Ibnu Rahuyah (Rahawaih) ternyata bukan kata sepakat ulama. Dikisahkan bahwa Ibnu Futhais bertanya kepada Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim (wafat 268H) perihal Ahmad bin Abdurrahman bin Wahb yang tidak sudi membacakan hadits-hadits riwayatnya kecuali bila diberi upah. Mendengar pertanyaan itu, Muhammad bin Abdullah bin Abdil Hakim berkata, “Semoga Allah mengampunimu, apa salahku bila aku tidak sudi membacakan riwayat-riwayatku sebanyak satu halaman kecuali bila kalian membayarku satu dirham? Siapakah yang mengharuskan aku untuk bersabar duduk sesiangan bersama kalian, sehingga aku menelantarkan pekerjaan dan keluargaku?” (Siyar A’lamin Nubala, oleh Adz Dzahabi, 12/322).

2. Pendalilan yang tidak pada tempatnya

Adapun dalil-dalil yang dikemukakan pada pertanyaan, semuanya itu tidak dengan tegas melarang Anda meminta upah dari murid anda atas jasa pengajaran anda. Namun itu mengisahkan kondisi Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam yang tidak memungut upah, sehingga tidak ada alasan bagi orang-orang Quraisy untuk tidak mendengar seruan beliau. Namun itu tidak tepat dijadikan dalil untuk melarang selain beliau dari meminta upah bila perlu.

Walau demikian, bila Anda mampu untuk mengajar dan berdakwah tanpa memungut upah tentu itu lebih baik dan sempurna. Wallahu Ta’ala a’lamu bis shawab.

***

sumber: Muslim.or.id