Beramal Tanpa Panduan

Beramal Tanpa Panduan

Bismillah.

Di antara bentuk kesalahpahaman yang tersebar di tengah masyarakat muslim adalah melandaskan amal kepada niat semata. Yang penting ikhlas, atau yang penting niatnya baik, dan sebagainya. Kerancuan berpikir seperti ini telah dijawab oleh Imam Bukhari rahimahullah. Di dalam Kitabul Ilmi dari Shahih Bukhari beliau membuat bab dengan judul ‘Bab Ilmu sebelum ucapan dan amalan.’

Para ulama menjelaskan bahwa amal saleh harus memenuhi 2 kriteria: 1) ikhlas karena Allah dan 2) mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kehilangan syarat pertama membuat pelakunya terjerumus ke dalam syirik. Kehilangan syarat kedua membuatnya jatuh ke dalam bid’ah.

Contoh orang yang beramal tanpa ikhlas adalah tiga orang yang pertama kali diadili dan menjadi bahan bakar neraka: 1) orang yang berjihad untuk mencari pujian, 2) orang yang membaca Al-Qur’an dan mencari ilmu untuk mencari sanjungan, dan 3) orang yang berinfak supaya dikenal sebagai dermawan. Allah berfirman,

وَقَدِمۡنَاۤ إِلَىٰ مَا عَمِلُوا۟ مِنۡ عَمَلࣲ فَجَعَلۡنَـٰهُ هَبَاۤءࣰ مَّنثُورًا

Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka lakukan, kemudian Kami jadikan ia bagi debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Hal ini menunjukkan bahwa ilmu tentang ikhlas sangat penting dalam menjaga amal dari kerusakan. Para ulama memiliki perhatian yang sangat besar untuk memahamkan kaum muslimin tentang makna ikhlas. Sebagaimana menjaga amal agar sesuai dengan tuntunan dibutuhkan ilmu, maka menjaga amal agar ikhlas juga perlu bekal ilmu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan, niscaya Allah pahamkan dia dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kebaikan seorang muslim sangat erat kaitannya dengan ilmu dan pemahamannya dalam agama. Tidak cukup bermodal semangat. Karena orang yang beramal tanpa ilmu akan lebih banyak merusak daripada memperbaiki.

Karena itulah setiap kali salat kita berdoa kepada Allah meminta petunjuk jalan yang lurus. Hakikat jalan lurus atau shirathal mustaqim adalah mengenali kebenaran dan beramal dengannya. Dengan demikian, untuk bisa mendapatkan ilmu seorang muslim membutuhkan pertolongan Allah dan petunjuk dari-Nya.

Malik bin Dinar berkata, “Barangsiapa menimba ilmu untuk beramal, maka Allah akan memberikan taufik kepadanya. Dan barangsiapa menimba ilmu bukan untuk beramal, maka semakin banyak ilmu akan justru membuatnya semakin bertambah congkak.” (lihat Ta’thir Al-Anfas, hal. 575-576)

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal, namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)

Oleh sebab itu, kita dapati para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang yang bersemangat untuk menimba ilmu sekaligus mengamalkannya. Tidaklah mereka melewati sekitar sepuluh ayat, melainkan mereka berusaha memahami maknanya dan mengamalkannya. Mereka berkata, “Maka kami mempelajari ilmu dan amal secara bersama-sama.” (lihat Al-‘Ilmu, Wasa’iluhu wa Tsimaaruhu oleh Syekh Sulaiman Ar-Ruhaili, hal. 19)

Amal itu mencakup iman kepada Allah, menunaikan ketaatan kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tercakup dalam amal ini berbagai bentuk ibadah khusus yang bersifat pribadi maupun ibadah-ibadah yang memberikan faedah luas kepada orang lain. Ibadah khusus misalnya salat, puasa, haji. Adapun ibadah yang meluas faedahnya antara lain amar makruf nahi mungkar, jihad di jalan Allah, dsb. Amal inilah yang menjadi buah dari ilmu. Barangsiapa beramal tanpa ilmu, menyerupai kaum nasrani. Dan barangsiapa berilmu tetapi tidak beramal dengannya, menyerupai kaum Yahudi. (lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul oleh Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 22)

Allah berfirman,

 أَلَمۡ یَأۡنِ لِلَّذِینَ ءَامَنُوۤا۟ أَن تَخۡشَعَ قُلُوبُهُمۡ لِذِكۡرِ ٱللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ ٱلۡحَقِّ وَلَا یَكُونُوا۟ كَٱلَّذِینَ أُوتُوا۟ ٱلۡكِتَـٰبَ مِن قَبۡلُ فَطَالَ عَلَیۡهِمُ ٱلۡأَمَدُ فَقَسَتۡ قُلُوبُهُمۡۖ وَكَثِیرࣱ مِّنۡهُمۡ فَـٰسِقُونَ

ٱعۡلَمُوۤا۟ أَنَّ ٱللَّهَ یُحۡیِ ٱلۡأَرۡضَ بَعۡدَ مَوۡتِهَاۚ قَدۡ بَیَّنَّا لَكُمُ ٱلۡـَٔایَـٰتِ لَعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ

Belumkah tiba saatnya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk/khusyuk hati mereka karena mengingat Allah dan kebenaran yang turun, dan janganlah mereka itu menjadi seperti orang-orang yang diberikan kitab sebelumnya. Masa yang panjang berlalu, maka hati mereka menjadi keras, dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah bahwasanya Allah menghidupkan bumi setelah kematiannya. Sungguh Kami telah menerangkan kepada kalian ayat-ayat, mudah-mudahan kalian mau memikirkan.” (QS. Al-Hadid: 16-17)

Sebagaimana bumi yang mati menjadi hidup kembali dengan siraman air hujan dari langit, maka demikian pula hati yang mati dan keras akan menjadi hidup dan bercahaya dengan siraman petunjuk dan taufik dari Rabb penguasa langit dan bumi. Syekh Abdurrazzaq Al-Badr hafizhahullah berkata, “Maka, demikian pula hati, tidak akan mungkin dia menjadi hidup dan merasakan kelezatan hidup serta menikmatan kebahagiaan di dunia dan di akhirat, kecuali dengan Al-Qur’an ini. Tanpa Al-Qur’an dan tanpa beramal dengannya seorang insan hanya akan menjalani kehidupan ini seperti kehidupan binatang, bukan kehidupan yang hakiki.” (lihat Hablullah Al-Mamdud, hlm. 9)

Dalam kitabnya Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan, “Iman itu memiliki dua pilar. Yang pertama adalah mengenali ajaran yang dibawa oleh Rasul dan mengilmuinya. Yang kedua adalah membenarkan ajaran itu dalam bentuk ucapan dan amalan. Pembenaran tanpa landasan ilmu dan pemahaman adalah mustahil. Karena pembenaran merupakan cabang dan konsekuensi dari keberadaan sesuatu yang diyakini kebenarannya. Kalau begitu maka kedudukan ilmu dalam keimanan seperti peranan ruh di dalam jasad.” (lihat nukilan ini dalam kitab ‘Ibadatul ‘Umri karya Syekh Abdurrahman as-Sanad hafizhahullah, hal. 10)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84470-beramal-tanpa-panduan.html