Berhati-hatilah dengan Syubhat!

SECARA Bahasa (Lughah) arti syubhat adalah Al Mitsl (serupa, mirip) dan iltibas (samar, kabur, tidak jelas, gelap, sangsi). Maka, sesuatu yang dinilai syubhat belum memiliki hukum yang sama dengan haram atau sama dengan halal. Sebab mirip halal bukanlah halal, dan mirip haram bukanlah haram. Maka, tidak ada kepastian hukum halal atau haramnya, masih samar dan gelap.

Imam Ibnu Daqiq Al Id Radhiallahu Anhu menyebutkan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam mengkategorikan perkara syubhat:

  1. Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang haram. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “Barang siapa yang menghindar dari yang samar maka dia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan barang siapa yang terjatuh dalam perkara yang samar maka dia telah terjatuh dalam perkara yang haram.”
  2. Kelompok yang memasukan syubhat sebagai perkara yang halal. Alasan mereka adalah ucapan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: “seperti penggembala yang berada dekat di pagar milik orang lain.” Ini menunjukkan dia belum masuk keharaman, namun sebaiknya kita bersikap wara (hati-hati) untuk meninggalkannya.
  3. Kelompok yang mengatakan bahwa syubhat bukanlah halal dan bukan pula haram, dan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menyebutkan bahwa halal dan haram adalah jelas, maka hendaknya kita bersikap seperti itu. Tetapi meninggalkannya adalah lebih baik, dan hendaknya bersikap wara. (Imam Ibnu Daqiq Al Id, Syarh Al Arbain An Nawawiyah, Hal. 44. Maktabah Al Misykah)

Pendapat kelompok ketiga inilah yang nampaknya lebih kuat. Hal ini diperkuat lagi oleh ucapan Nabi: “Banyak manusia yang tidak mengetahuinya”

Berkata Imam Ibnu Daqiq Al Id Rahimahullah: “Hal ini menunjukkan bahwa masalah syubhat mempunyai hukum tersendiri yang diterangkan oleh syariat sehingga sebagian orang ada yang berhasil mengetahui hukumnya dengan benar.” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 47)

 

Contoh Perkara Syubhat:

Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim disebutkan sebuah hadis dari Aisyah, ia berkata : “Saad bin Abu Waqash dan Abd bin Zamah mengadu kepada Rasulullah tentang seorang anak laki-laki. Saad berkata: Wahai Rasulullah anak laki-laki ini adalah anak saudara laki-lakiku.Utbah bin Abu Waqash. Ia (Utbah) mengaku bahwa anak laki-laki itu adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya” sedangkan Abd bin Zamah berkata; “Wahai Rasulullah, Ia adalah saudara laki-lakiku, Ia dilahirkan di tempat tidur ayahku oleh budak perempuan milik ayahku”, lalu Rasulullah memperhatikan wajah anak itu (dan melihat kemiripannya dengan Utbah) maka beliau Rasulullah bersabda: “Anak laki-laki ini untukmu wahai Abd bin Zamah, anak itu milik laki-laki yang menjadi suami perempuan yang melahirkannya dan bagi orang yang berzina hukumannya rajam. Dan wahai Saudah, berhijablah kamu dari anak laki-laki ini.” Sejak saat itu Saudah tidak pernah melihat anak laki-laki itu untuk seterusnya.

Abd bin Zamah adalah Saudara laki-laki dari Saudah (istri Nabi). Dan, Rasulullah menetapkan bahwa anak laki-laki tersebut adalah hak (saudara) dari Abd bin Zamah. Tetapi, ternyata Rasulullah memerintahkan Saudah untuk berhijab (menutup aurat) di depan laki-laki tersebut, padahal Saudah juga saudara dari Abd bin Zamah. Perintah ini disebabkan kesamaran (syubhat) pada masalah ini dan ini menunjukan kehati-hatian Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang takut syubhat maka dia telah membebaskan diri dari agama dan harga dirinya. Barang siapa yang terjatuh pada perkara syubhat, maka ia jatuh pada perkara haram. Sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, maka dia hampir mengenai pagar itu.

Menyimak hadis di atas, hal syubhat tidak sama dengan hal yang haram, dan sebagai kehati hatian sebaiknya jauhi hal yang syubhat. Wa Allahu A’lam Biss shawab. [Ustadzah Nurdiana]

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2346749/berhati-hatilah-dengan-syubhat#sthash.YFd6sJz8.dpuf