Berhubungan Intim Saat Istri Sedang Haidh, Bolehkah?

1. Pengertian haidh

Secara bahasa haidh berarti mengalir. (lihat lisanul arab: 7/142).

Adapun secara istilah haidh berarti darah yang keluar dari Rahim wanita dalam kondisi sehat, bukan saat melahirkan maupun kodisi sakit. Sifat darah tersebut biasanya berwarna pekat, dan berbau. (fiqh islamy wa adillatuhu : 1/610).

2. Persamaan hukum antara haidh dan nifas.

Darah haidh merupakan darah yang keluar setelah melahirkan, adapun darah yang keluar bersamaan dengan anak ataupun sebelumnya tidak dinamakan darah nifas. (Fathul qarib mujib : 1/61).

Semua hal yang terlarang ketika haidh juga terlarang ketika nifas, karena hukum nifas sama seperti hukum haidh kecuali dalam beberapa permasalahan yang dibahas ulama dalam kitab-kitab fikih. (lihat : raudhatut thalibin : 1/136). Dan orang arab terkadang mengatakan haidh dengan lafazh nifas, sebagaimana sabda rasulullah ﷺ kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ما لَكِ أنُفِسْتِ؟. قُلْتُ: نَعَمْ، قالَ: «إنَّ هَذا أمْرٌ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلى بَناتِ آدَمَ، فاقْضِي ما يَقْضِي الحاجُّ، غَيْرَ أنْ لاَ تَطُوفِي بِالبَيْتِ

“Apakah engkau sedang haidh?” aku (Aisyah) pun berkata: iya. Lalu rasulullah ﷺ bersabda: “sesungguhnya hal tersebut merupakan ketetapan Allah untuk keturunan wanita Adam, lakukanlah semua yang dilakukan orang yang berhaji, tapi jangan berthawaf”
(HR. Bukhari : 294).

3. Hukum bersenggama dengan istri tatkala haidh.

Allah ﷻ melarang kaum muslimin untuk berhubungan biologis dengan istri-istri mereka di saat haidh atau nifas. Allah ﷻ berfirman:

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلْمُتَطَهِّرِينَ ۝

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah sesuatu yang kotor”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
(QS. Albaqarah : 222).

Maksud dari tidak mendekati wanita saat haidh adalah tidak berhubungan biologis dengannya, dan hal ini merupakan kesepakatan ulama kaum muslimin dan merupakan dosa besar. Imam Nawawi berkata:

“Ketahuilah bahwa mendatangi istri saat haidh itu bermacam-macam, salah satunya adalah dengan berhubungan biologis, dan perbuatan ini haram berdasarkan kesepakatan kaum muslimin sesuai dengan nash quran dan hadits yang shahih.”

Kemudian beliau berkata:

“jika suaminya dengan sengaja bersenggama dengannya dan ia tahu istrinya sedang haidh begitu pula dengan keharaman perbuatan tersebut, tidak pula dalam keadaan terpaksa, maka dia sejatinya telah melakukan dosa besar, imam Syafii dengan jelas mengatakan perbuatan tersebut adalah dosa besar”.
(Syarah shohih Muslim : 3/204).

4. Solusi bagi suami jika istri sedang haidh.

Islam adalah agama yang datang dari Allah ﷻ Rabbul ‘alamin, sehingga syariat-syariat yang terkandung di dalamnya sesuai dengan fitrah manusia. Begitu pula dalam masalah ini, ketika seorang istri sedang haidh maka suami tidaklah secara muthlak harus meninggalkan istrinya, dia masih bisa melepaskan syahwat dengan istrinya, begitu pula istri bisa melepaskan syahwatnya dengan suaminya selama mereka berdua tidak melakukan hubungan biologis (jima’).

Sepasang suami istri tetap bisa bercumbu tatkala istri sedang haidh dengan cara menjauhi area antara pusar dan lutut istri, dan ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
(lihat Ahkamul haidh dan istihadhah hal. 20).

Adapun hukum bersenang-senang dengan istri pada area bawah pusar dan di atas lutut menjadi perbincangan dikalangan para ulama, mayoritas ulama membolehkannya walaupun tanpa penghalang kain dengan syarat selama tidak melakukan jima’ (senggama). Mereka berdalil dengan hadits:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إلّا النِّكاحَ

“Lakukanlah semuanya selain jima’ (senggama)”
(HR. Muslim no. 302).

Sedangkan mayoritas ulama membolehkan seorang suami melepaskan syahwat dengan istrinya pada area antara lutut dan pusar tersebut dengan syarat ditutupi dengan kain. Dan ini adalah pendapat yang lebih selamat, lebih terjaga dan sesuai dengan sunnah rasulullah ﷺ. Ibunda kaum mukimin ‘Aisyah berkata:

كانَ يَأْمُرُنِي، فَأتَّزِرُ، فَيُباشِرُنِي وأنا حائِضٌ

“Dahulu rasulullah ﷺ menyuruhku untuk memakai sarung, lalu beliaupun menggauliku sedangkan aku sedangkan haidh”
(HR. Bukhari no. 300).

Wallahu a’lam.

Ditulis oleh :
Ustadz Muhammad Ihsan حفظه الله
Senin, 01 Rabiul Akhir 1442 H / 16 November 2020 M

BIMBINGAN ISLAM