Islam Agama yang Rasional

Bersyahadat tanpa Paksaan, Mualaf Julianne Froyseth: Islam Agama yang Rasional

Julianne Froyseth masuk Islam setelah lama belajar agama ini

Julianne Froyseth (26 tahun) wanita yang berasal dari Norwegia ini berkenalan dengan suami Muslimnya 10 tahun lalu. 

Namun memutuskan menjadi seorang Muslim dan menikah dengannya adalah keputusan pribadi tanpa paksaan siapapun.

Sebelum memeluk Islam lima tahun lalu Froyseth mempelajari Islam selama sembilan bulan. Sumber utama yang penting bagi dia untuk mempelajari agama adalah kitab suci, yakni Alquran.

Dalam akun youtube pribadinya, Froyseth berbagi kisah perjalanannya menjadi seorang Muslim. Dia mengakui butuh waktu untuk meyakini diri bahwa Islam adalah agama yang benar.

Kedua orang tuanya merupakan penganut agama yang taat. Meski demikian, tidak seperti penganut agama lainnya, dia dan keluarga terpaksa tidak melaksanakan ibadah di rumah ibadah.

Ayahnya adalah seorang tentara yang harus bertugas untuk penyelamatan. Sehingga dia harus bermukim di asrama khusus tentara.

“Aku hanya bisa mempelajari agama ketika sekolah Minggu,”ujar dia.

Saat masih anak-anak pernah satu ketika dia mempelajari kitab suci pada agama terdahulu. Bahwa dalam kitab itu disebutkan bahwa Nabi Isa berdoa dengan tersungkur (bersujud).

“Aku sempat berpikir mengapa kini agamaku tidak mengajarkan cara ibadah yang sama dengan Isa sesuai dalam kitab suci, hanya saja pemikiran ini tak sempat saya pertanyakan kepada siapapun,” tutur dia.

Pemikiran itupun terbawa hingga dia dewasa. Baru setelah bertemu pria yang kini menjadi suaminya, dia sering bertukar pikiran. 

Sehingga Froyseth pun banyak membaca Alquran terutama kisah-kisah para Nabi Allah SWT. Lagi-lagi dia pun membandingkan antara kisah nabi dalam kitab suci agamanya terdahulu dengan Alquran. 

Beberapa kisah yang menurutnya tidak masuk akal. Beberapa kisah nabi di agama lampaunya menggambarkan sosok yang melakukan banyak dosa.

Sebutlah Nabi Dawud, di agama lamanya disebutkan bahwa sebelum bertaubat, dia pernah memperkosa dan membunuh seorang wanita. 

Demikian juga Nabi Nuh akibat anaknya durhaka dan tenggelam, dia pun mabuk-mabukkan dengan alkohol.

Padahal jelas di dalam kitab suci, bahwa minum alkohol itu diharamkan. Berbeda saat membaca Alquran, seluruh Nabi yang dikisahkan memiliki perangai mulia. 

Contohlah Nabi Dawud yang sepanjang hidupnya terus melantunkan zikir kepada Allah SWT. Sehingga kitab Zabur yang diturunkan padanya pun banyak berisi tentang puji-pujian untuk Allah SWT. 

Selama sembilan bulan lamanya dia memperdalam pemahamannya tentang Islam. Dan dia meyakini bahwa Islam adalah agama yang logis.

Bahwa semua kisah dalam Alquran dapat dijadikan pelajaran dan masuk akal. Ini karena banyaknya pertanyaan tentang kehidupan, mampu Alquran jawab meski dia tidak bertanya kepada ulama.

Tepat pada 8 September 2018, Froyseth memeluk Islam di Swedia. Dan satu bulan kemudian dia mengenakan jilbab sebagai salah satu kewajiban seorang muslimah.

Satu tahun kemudian, Froyseth pun menikah dengan pria yang berasal dari Malaysia. Ujian pun tiba, dia diharuskan  tinggal berjauhan dengan sang suami karena pandemi Covid-19.

Froyseth yang berprofesi sebagai konten kreator bersama sang suami pun berpisah setahun lamanya. Aturan di Norwegia cukup sulit untuk mengurus warga negara asing menetap sementara meski telah menikah dengan warga negaranya. 

Sehingga di tahun pertamanya menjalankan puasa Ramadhan pun seorang diri. Berpuasa memiliki kesulitannya sendiri karena di Norwegia dia harus berpuasa selama 18 hingga 20 jam.

Demikian juga ketika belajar shalat. Di dua tahun pertama menjadi seorang muslim, dia belum berani untuk shalat di masjid. 

Selain itu, masjid yang ada di kota tempat tinggalnya berada cukup jauh dengan rumahnya. Sehingga akan menghabiskan banyak waktu jika ingin menjalankan shalat lima waktu untuk shalat.

“Saya juga tidak merasa percaya diri untuk melaksanakan shalat berjamaah di masjid,” tutur dia.

Diakui oleh Froyseth, komunitas muslim di Norwegia sangat minim. Sehingga untuk mempelajari Islam dan mempraktikkannya pun dia seorang diri. “Saya merasa kesepian, karena sulit menemukan komunitas Muslim di negara ini,”ujar dia.

Apalagi media di negaranya terlalu membesar-besarkan isu Islamofobia. Padahal faktanya kehidupan Muslim di negara itu tidak masalah.

Hanya saja sebagai negara minoritas Muslim tentu perayaan Muslim sangat minim. Mereka lebih banyak merayakan budaya non Muslim.

Berbeda dengan Oslo misalnya, negara yang pernah dikunjunginya. Disana banyak Muslim, sehingga suasana akhir tahun tidaklah terlalu berbeda dibandingkan bulan-bulan lainnya.

KHAZANAH REPUBLIKA