Bolehkah Menjomblo untuk Kemaslahatan Umat?

ADA seorang pemuda yang percaya, dirinya akan lebih berguna untuk agama, bangsa dan masyarakatnya dalam statusnya saat ini: jomblo alias membujang. Bagaimana Islam mengatur persoalan ini, terutama berkaitan dengan dalih membujangnya itu yang seolah-olah untuk kemaslahatan umat?

Untuk itu, bisa dijawab sebagai berikut:

Allah SWT menciptakan manusia dan menjadikan di antara tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan suami isteri laki-laki perempuan, dan Dia jadikan diantara keduanya rasa cinta dan kasih sayang dalam pernikahan sesuai hukum-hukum syara. Allah SWT berfirman:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.” (QS ar-Rum [30]: 21)

Islam mendorong untuk menikah. Menikah itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, lebih menenangkan jiwa dan lebih menjaga agama:

Imam al-Bukhari telah mengeluarkan dari Abdullah ra, ia berkata: kami bersama Nabi saw lalu beliau bersabda:

“Siapa saja diantara kalian yang sanggup menikah maka hendaklah dia menikah, sesungguhnya itu lebih menundukkan pandangan, lebih menjaga kemaluan, dan siapa saja yang tidak mampu maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu perisai baginya.”

– Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Anas bin Malik ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Siapa yang diberi Allah isteri shalihah, maka sungguh Allah telah menolongnya atas separo agamanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separo lainnya.”

Al-Hakim berkata: “hadits ini sanadnya shahih.” Dan disetujui oleh adz-Dzahabi.

Kemudian orang yang berusaha untuk menikah guna menjaga kesuciannya, dia adalah salah seorang dari tiga golongan yang akan ditolong Allah SWT. Imam Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari Abu Hurairah dari Nabi saw, beliau bersabda:

“Tiga golongan yang masing-masing menjadi hak Allah SWT untuk menolongnya: seorang mujahid di jalan Allah, orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya, dan al-muktab (hamba sahaya yang mengikat perjanjian dengan tuannya membayar sejumlah harta untuk memerdekakan dirinya) yang ingin membayarnya.”

Rasulullah saw melarang tidak menikah bagi orang yang mampu menikah. An-Nasai telah mengeluarkan dari Samurah bin Jundub dari Nabi saw:

Bahwa Beliau melarang membujang (tidak menikah selamanya). Ibn Majah juga telah mengeluarkan hadits demikian.

Rasul saw telah berpesan kepada para bapak jika datang kepada mereka orang yang mereka ridhai agama dan akhlaknya agar menikahkannya. At-Tirmidzi telah mengeluarkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

“Jika datang mengkhitbah kepada kalian orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Ibn Majah telah mengeluarkan dengan lafazh:

“Jika datang kepada kalian orang yang kalian ridhai akhlaknya dan agamanya maka nikahkan dia, jika tidak kalian lakukan maka akan ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.”

Demikian juga Rasul saw berpesan agar dipilih seorang wanita shalihah yang memiliki kebaikan agama yang menjaga suaminya, anak-anaknya dan rumahnya. Al-Bukhari dan Muslim telah mengeluarkan dari Abu Hurairah ra., dari Nabi saw, Beliau bersabda:

“Seorang wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, niscaya selamat tanganmu.”

Sedangkan ucapan Anda “ada hadits yang mengatakan yang maknanya “fusq al-ummah adalah orang yang tidak menikah”, maka hadits ini dhaif. Hadits itu seperti berikut: Ahmad telah mengeluarkan di Musnad-nya dari seorang laki-laki dari Abu Dzar, ia berkata: “seorang laki-laki yang disebut Akaf bin Bisyr at-Tamimi menemui Rasulullah saw lalu Nabi saw bersabda kepadanya:

“Ya Akaf apakah kamu punya isteri?” Ia menjawab: “tidak” Nabi bersabda: “sesungguhnya sunnah kami adalah pernikahan. Dan seburuk-buruk dari kalian adalah orang yang tidak menikah (uzb)”

Hadits ini sanadnya dhaif karena kemajhulan seorang perawi dari Abu Dzar. Dan karena kekacauan yang terjadi pada sanad-sanadnya. Ath-Thabarani mengeluarkan di Mujam al-Kabr dan yang lain dari jalur Buqiyah bin Walid, keduanya dari Muawiyah bin Yahya dari Sulaiman bin Musa dari Makhul dari Udhaif bin al-Harits dari Athiyah bin Busrin al-Mazini, ia berkata: “Akaf bin Wadaah al-Hilali datang kepada Rasululla saw lalu ia menyebutkannya. Sanad ini dhaif karena Muawiyah bin Yahya ash-Shadfiy, dan Buqiyah bin al-Walid juga dhaif.

Orang yang tidak menikah (al-uzb) tentu saja bukan lantas seburuk-buruk manusia. Akan tetapi bisa jadi seburuk-buruk orang itu ada dari al-uzb, dan dari selain mereka, sesuai sejarah masing-masing.

Ringkasnya, Rasul saw mendorong untuk menikah bagi orang yang mampu untuk menikah. Menikah itu lebih menjaga agama seseorang, lebih membentengi kemaluan dan lebih menundukkan pandangan Demikian juga Rasul saw melarang membujang (at-tabattul) yakni tidak menikah selamanya

Atas dasar itu, selama Anda wahai penanya, mampu menikah, maka saya berpesan untuk menikah dan Anda pilih seorang wanita shalihah, Anda kerahkan segenap usaha dalam membangun keluarga yang saleh, ikhlaskan untuk Allah SWT, dan jujurlah dengan Rasulullah saw. Dan sungguh Anda dengan izin Allah SWT Anda akan mampu menumbuhkan anak-anak Anda dengan pertumbuhan yang saleh. Dan Allah menjadi penolong orang-orang saleh.

INILAH MOZAIK