miras

Bolehkah Negara Menerima Pajak dari Minuman Keras?

Belakangan viral di media mainstream, dan lini media sosial terkait rencana pemerintah untuk  membuka investasi minuman keras (Miras) di Indonesia. Syahdan, adanya investasi Miras, akan menghasilkan pajak bagi pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Langkah ini pun menjadi pro dan kontra di tengah masyarakat. Meskipun belakangan, Presiden Jokowi telah mencabut Perpres nomor 10/2021 itu. Nah, bolehkah negara menerima pajak dari minuman keras?.

Para ulama berbeda pendapat terkait status hukum negara mengambil pajak dari investasi miras.  Syekh Ali Jumah, mantan Mufti Mesir dan guru besar Universitas  Al-Azhar,Kairo menjelaskan negara boleh memungut pajak dari masyarakat. Hal itu untuk menjaga stabilitas APBN. Ia menjelaskan;

ويجوز لولي الأمر أن يقرر فرض ضرائب عادلة في تقديرها وجبايتها على القادرين؛ وذلك لتغطية النفقات العامة والحاجات اللازمة للأمة، ومعلوم أن ميزانيات الدول الإسلامية الآن لا تقوم فقط على الزكاة، بل لها موارد متعددة منها الضرائب والرسوم وغيرها

Artinya:  Pemerintah boleh mengenakan  wajib pajak yang adil atas orang yang mampu, dan wajib pajak atas orang-orang yang kaya. Demikian ini, untuk menutupi pengeluaran publik dan kebutuhan umat. Era sekarang ini, bahwa APBN pelbagai negara Islam saat ini tidak semata-mata bersumber zakat, tetapi memiliki banyak sumber daya, antara lain pajak, iuran dan selainnya.

Hal itu didasarkan pada firman Allah dalam Alquran Q.S Albqarah ayat 177:

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ.

Artinya: Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat ini menurut Syekh Ali Jumah menjadi dasar bagi pembolehan memungut pajak. Firman Allah ( atal mala a’la hubbihi dzawil qurba) khitab ayat ini bukanlah tentang zakat yang wajib melainkan kewajiban yang lain di luar zakat. Karena dalam ayat ini ada dua perintah zakat. Perhatikan ayat ini, (aqama as- shalata wa ataz zakat). Nah, dalam ayat ini menjadi dasar untuk memungut pajak. Kesimpulannya, ayat ini melegimasi negara untuk memungut pajak untuk kepentingan umum, karena pada dasarnya ada  hak orang lemah dalam harta orang kaya.

Syekh Ali Jumah berkata;

هذا لا يُفهم منه إباحة الضرائب فحسب، بل يُحتم فَرْضها وأخْذها، تحقيقًا لمصالح الأمة والدولة

Artinya: Hal ini tidak hanya dipahami dari keabsahan pajak, tetapi wajib diberlakukan pengungutan pajak, demi kepentingan bangsa dan negara.

Lebih lanjut, Syekh Ali Jumah mengeluarkan fatwa bahwa negara boleh menerima pajak dari hasil investasi miras. Ada tiga alasan terkait kebolehan tersebut. Pertama, terdapat perbedaan antara harga barang yang diharamkan (khamar) dan pajak atas barang yang diharamkan (khamar). Ada pun harga khamar itu pengertiannya adalah uang yang dibayarkan untuk membeli barang terlarang (khamar) tersebut. Dan hukum khamar itu sepakat ulama adalah haram. Maka tak boleh membeli, menjual, atau mengambil harganya di antara kaum muslim.

Sedangkan yang dimaksud dengan pajak bukan demikian. Pajak adalah pengutan yang diambil oleh negara dari perdangan dan komuditas yang jumlahnya telah ditentukan seperti dari khamar atau barang lainnya. Ini tak ada hubungannya dengan halal dan haram. Oleh karena itu mengambil pajak dari komoditas miras tak dilarang.

وهي هنا قدر محدد من الدخل يُستقطع من هذه التجارات والسلع وليست ثمنًا لها؛ فلا علاقة لها بكون هذه السلعة حلالًا أو حرامًا، وحينئذٍ لا تكون الضريبة على الخمر أو نحوها من الحرمات ثمنًا لأي منها، وعليه لا يكون أخذها والاستفادة منها حرامًا.

Artinya: yang dimaksud di sini dengan pajak adalah pendapatan tertentu yang harus diambil sebab adanya perdagangan dan komoditas , dan ini bukan nilainya (harga). Maka tak ada hubungan ini komoditas dengan hukum halal dan haram.

Dan pajak dari minuman keras dan jenis jenis barang haram lainnya tidak sama hukumnya dengan harga jual belinnya.  Konsekuensinya mengambil dan memanfaatkan pajak barang haram tersebut tidak haram.

Alasan kedua terkait kebolehan negara mengambil pajak dari miras, adanya contoh yang bisa menjadi qiyas (pajak), yaitu  dengan jizyah. Ada pun jizyah   diwajibkan pada kalangan non muslim pada harta mereka dan mengambil jizyah juga dari harga khamar mereka, dan mengambil jizyah juga dari harga uang riba mereka. Namun, faktanya tak ada khalifah dan penguasa muslim yang menolak untuk menerima uang tersebut, bahkan dimasukkan ke dalam baitul mal.

Ketiga, adanya pajak terhadap minuman keras dalam konteks ini sejatinya untuk membuat regulasi terkait miras. Agar pemerintah bisa mengontrol peredaran miras. Agar tak menyebar luas dan menimbulkan mudharat lain. Dan Syekh Ali Jumah pun mendorong para pemimpin dunia Islam untuk mengizinkan minuman keras untuk kalangan non muslim saja

Syekh Ali Jumah menulis:

أن يتخذوا إجراءات واقعية للحد من بيع هذه المحرمات والقضاء عليها في بلاد المسلمين، أو أن يسمحوا بذلك حصرًا في غير المسلمين حتى تستقر الأمور ويرتفع الحرج

Artinya; dan pengambilan pajak dari penjualan miras itu untuk membatasi dari penjualan miras tersebut, dan menghilangkan miras dari negara muslim, dan menkhususkan ini untuk negeri yang non muslim, sehingga dapat distabilkan dan menga

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab pajak—dahalu disebut ushr yang berarti sepersepuluh 10%–, pun diberlakukan.  Pajak itu dipungut atas komoditas barang dagangan para pedagang kafir yang memasuki wilayah Islam. Para pedagang non Muslim itu dikenakan pajak sebanyak 10 persen. Perintah itu langsung ditugaskan oleh Umar kepada gubernur Abu Musa Al-Asya’ri.

Kebijakan penarikan pajak terhadap non Muslim juga dipungut pada masa Khalifah Harun Ar- Rasyid. Sebagai Qadhi kala itu, Abu Yusuf menyarankan pedagang kafir dzimmi dikenakan cukai 5%. Dan pedagang kafir harbi sebesar 10% (jaminan keamanan dan keselamatan). Pajak yang dikutip tersebut digunakan untuk kemaslahatan umum.

Ada juga ulama yang berpendapat haram negara memungut pajak dari minuman keras. Salah satunya, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Ulama Besar dari Saudi ini menyebut bahwa haram hukumnya mengambil pajak dari minuman keras.

Bin Baz menjelaskan:

أخذ الضرائب على الخمر والسجائر: فمن المعلوم أن الخمر حرام وذلك معلوم من الدين بالضرورة عليه فلا يجوز للدولة أن تقبل بتجارة الخمر في البلد, وعليها أن تحارب من يروج لذلك

Artinya: hukum mengambil pajak dari khamar dan rokok: sebagaimana telah diketahui bahwa minuman keras adalah haram, dan juga diketahui buruknya akibat minuman keras, maka tak dibolehkan bagi negara untuk menerima penjualan khamr di negara muslim, dan negara harus tegas melarang orang yang mempromosikannya.

BINCANG SYARIAH