Cara Membedakan Hadis Palsu, Daif & Sahih (1)

YANG bisa menetapkan status sebuah hadis bukanlah kita yang awam ini, melainkan para ulama hadis. Mereka saja yang punya kapasitas, legalitas, otoritas dan tools untuk melakukannya. Dan buat kita, cukuplah kita membaca karya-karya agung mereka lewat kitab-kitab hasil naqd (kritik) mereka.

Menetapkan status suatu hadis dikenal dengan istilah al-hukmu ‘alal hadis. Upaya ini adalah bagian dari kerja besar para ulama hadis (muhadditsin). Mereka punya sekian banyak kriteria dalam menentukan derajat suatu hadis. Secara umum, studi ini dilakukan pada dua sisi. Yaitu sisi para perawinya dan juga sisi matan hadisnya, atau isi materinya. Jadi yang dinilai bukan hanya salah satunya saja, melainkan keduanya.

Kesahihan suatu hadis akan dinilai pertama kali dari masalah siapa yang meriwayatkannya. Dan yang dinilai bukan hanya perawi pada urutan paling akhir saja. Akan tetapi mulai dari level pertama yaitu para sahabat, kemudian level kedua yaitu para tabi’in, kemudian level ketiga yaitu para tabi’it-tabi’in dan seterusnya hingga kepada perawi paling akhir atau paling bawah.

Nama para perawi paling akhir itu adalahyang sering kita dengar sebagai hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Ibnu Majah, At-Tirmiziy, Abu Daud dan lainnya. Akan tetapi, yang dijadikan ukuran bukan semata-mata para perawi di level paling bawah atau paling akhir saja. Melainkan keadaan para perawi dari level paling atas hingga paling bawah dijadikan objek penelitian. Khususnya pada level di bawah para sahabat. Sebab para ulama sepakat bahwa para sahabat itu seluruhnya orang yang adil dan tsiqah. Sehingga yang dinilai hanya dari level tabi’in ke bawah saja.

Satu persatu biografi para perawi hadits itu diteliti dengan cermat. Penelitian dipusatkan pada dua kriteria. Yaitu kriteria al-‘adalah dan kriteria adh-dhabth.

a. Kriteria al-‘adalah

Kriteria pertama adalah masalah ‘adalah. Maksudnya sisi nilai ketakwaan, keIslaman, akhlak, ke-wara’-an, kezuhudan dan kualitas pengamalan ajaran Islam. Kriteria ini penting sekali, sebab ternyata kebanyakan hadis palsu itu lahir dari mereka yang kualitas pengamalan keIslamannya kurang.

Misalnya mereka yang sengaja mengarang atau memalsu hadis demi menjilat penguasa. Atau demi kepentingan politik dan kedudukan. Atau untuk sekedar mengejar kemasyhuran. Orang-orang yang bermasalah dari segi al-‘adalah ini akan dicatat dan dicacat oleh sejarah. Mereka akan dimasukkan ke dalam daftar black-list bila ketahuan pernah melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan akidah, akhlak dan etika Islam.

Bahkan para ulama sampai melahirkan disiplin ilmu khusus yang disebut ilmu al-jarhu wa at-ta’dil. Ilmu ini mengkhususkan diri pada database catatan hitam seseorang yang memiliki cacat atau kelemahan. Orang-orang yang dianggap cacat mendapatkan julukan khas dalam ilmu ini. Misalnya si fulan adalah akzabun nass (manusia paling pendusta), fulan kazzab (pendusta), si fulan matruk (haditsnya ditinggalkan) dan sebagainya.

 

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2341492/cara-membedakan-hadis-palsu-daif-sahih-1#sthash.ag0b6lhY.dpuf