Carolyn Erazo Mendapat Hidayah dari Pemakaman (1)

Sedari kecil, Carolyn Erazo sering berharap supaya tidak perlu pergi ke gereja meski  dididik dan dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen.

“Saya adalah tipikal gadis Amerika tulen,” katanya memulai cerita padaMuslim Village, Kamis (20/8).
Carolyn mengaku tidak senang dengan kegiatan yang dilaksanakan setiap hari Ahad itu. Ia tidak pernah percaya dengan apa yang diajarkan.

Ada banyak inkonsistensi tampak di hadapannya, tapi tidak sedikitpun terbersit keinginan di hati Carolyn untuk mencari tahu. Ia hanya sekadar berpikir, bagaimana kita bisa mempercayai apa yang tidak kita ketahui?

Apakah semua peristiwa benar-benar terjadi seperti yang dikisahkan Alkitab, atau jangan-jangan Alkitab itu hanya sebuah buku cerita yang terselip di antara deretan rak buku.

Beberapa tahun kemudian, Carolyn menghadiri sebuah retret gereja. Dari sanalah, awalnya Carolyn memiliki keinginan untuk melakukan perjalanan spiritual.

Ia merefleksi kejadian-kejadian yang telah lampau. Di satu sisi, ia bersyukur, semenjak kecil telah menerima banyak kemewahan. Tidak semua orang bisa mendapatkan apa yang ia dapatkan.

Pada hari terakhir retret, Carolyn berjalan menyusuri bukit besar hingga ke pantai dan terduduk memandangi lautan.

Perempuan itu sendirian. Ia begitu berharap Tuhan mengulurkan tangan dan menyentuhnya dengan penuh kasih. Sore itu, ia merasa telah datang kepada-Nya dengan segenap keyakinan bahwa Dialah satu-satunya penolong.

Carolyn menyatakan, peristiwa itu begitu membekas dan mengubah jalan berpikirnya. Ia memutuskan untuk tidak lagi mencari iman, yang menurut dia, tidak akan pernah dia temukan.

Saat itulah, mendadak air mata hangat mengalir di wajah Carolyn. Ia menyerah pada Tuhan. “Baik, kalau Dia melupakanku, aku juga akan melupakannya,” ujar Carolyn saat itu.

Selama tahun-tahun berikutnya, ia hidup tanpa iman. Ia belum menemukan jawaban apapun atas kegelisahannya. Setiap pertanyaan yang muncul malahan membuat Carolyn semakin marah lantaran tidak pernah ada jawaban.

Sampai kira-kira empat tahun lalu, hatinya terbuka kembali. Akhir Februari, ia tengah menghadiri sebuah upacara pemakaman. Carolyn takjub melihat sikap si ibu yang baru saja kehilangan anak di pemakaman itu.

Perempuan yang tengah berduka cita itu sanggup berbicara pada Tuhan dengan lapang dada, tanpa jerit tangis kesedihan.

Carolyn heran. Perempuan itu memahami kenyataan bahwa anaknya kini tenang bersama Tuhan. Sesuatu yang tidak dapat ia pahami. Ia menatap perempuan itu dengan iri. Si ibu itu pasti memiliki keimanan yang kuat pada Tuhan. Kesan itu tidak pernah pudar hingga beberapa hari kemudian.

Carolyn butuh waktu seminggu sampai ia memutuskan untuk melakukan perjalanan spiritual. Ia tidak bisa hanya terus-menerus mencari pembenaran. Ia harus menemukan Tuhan dan menjawab pertanyaan yang berkelindan di benaknya.

“Tentu saja, saya memulai perjalanan dari Kristen. Agama tempat saya dibesarkan,” kata Carolyn. Ia pun duduk di gereja selama berminggu-minggu untuk mendengarkan ceramah.

Tapi, nyatanya ia hanya mendapat sedikit percikan iman. Setelah beberapa bulan, Carolyn pun memperluas skala pencarian.

 

sumber: Republika Online