Meniru Teladan Nabi Muhammad dalam Menyambut Ramadhan

Nabi Muhammad SAW memberikan teladan tentang menyambut bulan suci Ramadhan

Rasulullah Muhammad SAW memberikan contoh teladan paripurna tentang mempersiapkan diri kita untuk menyambut Ramadhan.

Salah satunya ialah dengan menyemarakkan puasa sunah. Seperti yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid, dikatakan, “Rasulullah SAW melakukan puasa sepanjang bulan Sya’ban atau melakukan puasa pada bulan itu kecuali beberapa hari saja beliau tidak melakukannya’ (HR. Bukhari-Muslim).

Dalam riwayat lain, Rasulullah dan para sahabatnya telah mempersiapkan diri menyambut Ramadhan sejak bulan Rajab. Baik persiapan fisik dengan memelihara kesehatan, maupun persiapan rohani, yakni dengan meningkatkan ibadah-ibadah sunnah sebelum masuk Ramadhan.

Kemudian, beliau juga memperbanyak doa. Di antara munajat beliau adalah: “Ya Allah, berikanlah keberkahan kepadaku pada bulan Rajab dan Sya’ban dan panjangkanlah usiaku agar aku sampai ke bulan Ramadhan”.

Begitu pun para sahabat. Mereka menyambut bulan suci Ramadhan dengan penuh suka cita dan keharuan. Bergembira sebab kesempatan untuk memperbanyak pahala dan menggapai ridha Ilahi amat terbuka lebar. Terharu, lantaran Allah memanjangkan usia mereka untuk berjumpa dengan Ramadhan.

Dikatakan para ahli sejarah, dahulu para salafus sholihin mempersiapkan diri sejak lima bulan setengah sebelum masuknya Ramadhan. Kemudian, lima bulan setengah pasca-Ramadhan pun mereka selalu mengharapkan bertemu kembali dengan Ramadhan dan selalu memohon agar ibadah Ramadhan yang telah lalu diterima Allah SWT.

Dengan cara demikian, mereka mampu mempertahankan suasana Ramadhan bahkan kala melalui sebelas bulan sisanya.

Pernah dilukiskan pula dalam sebuah tulisan, bahwa para sahabat menunggu kedatangan Ramadhan, tak ubahnya bagai sepasang calon pengantin yang tengah menunggu hari pernikahan.

KHAZANAH REPUBLIKA

Persiapkan Diri Menyambut Ramadhan

Wahai kaum muslimin, hendaknya kita mengetahui bahwa salah satu nikmat yang banyak disyukuri meski oleh seorang yang lalai adalah nikmat ditundanya ajal dan sampainya kita di bulan Ramadhan. Tentunya jika diri ini menyadari tingginya tumpukan dosa yang menggunung, maka pastilah kita sangat berharap untuk dapat menjumpai bulan Ramadhan dan mereguk berbagai manfaat di dalamnya.

Bersyukurlah atas nikmat ini. Betapa Allah ta’ala senantiasa melihat kemaksiatan kita sepanjang tahun, tetapi Dia menutupi aib kita, memaafkan dan menunda kematian kita sampai bisa berjumpa kembali dengan Ramadhan.

Ketidaksiapan yang Berbuah Pahit

Imam Abu Bakr Az Zur’i rahimahullah memaparkan dua perkara yang wajib kita waspadai. Salah satunya adalah [اَلتَّهَاوُنُ بِالْأَمْرِ إِذَا حَضَرَ وَقْتُهُ], yaitu kewajiban telah datang tetapi kita tidak siap untuk menjalankannya. Ketidaksiapan tersebut salah satu bentuk meremehkan perintah. Akibatnya pun sangat besar, yaitu kelemahan untuk menjalankan kewajiban tersebut dan terhalang dari ridha-Nya. Kedua dampak tersebut merupakan hukuman atas ketidaksiapan dalam menjalankan kewajiban yang telah nampak di depan mata.[1]

Abu Bakr Az Zur’i menyitir firman Allah ta’ala berikut,

فَإِنْ رَجَعَكَ اللَّهُ إِلَى طَائِفَةٍ مِنْهُمْ فَاسْتَأْذَنُوكَ لِلْخُرُوجِ فَقُلْ لَنْ تَخْرُجُوا مَعِيَ أَبَدًا وَلَنْ تُقَاتِلُوا مَعِيَ عَدُوًّا إِنَّكُمْ رَضِيتُمْ بِالْقُعُودِ أَوَّلَ مَرَّةٍ فَاقْعُدُوا مَعَ الْخَالِفِينَ (٨٣)

“Maka jika Allah mengembalikanmu kepada suatu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), Maka katakanlah: “Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela tidak pergi berperang kali yang pertama. karena itu duduklah bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (At Taubah: 83).

Renungilah ayat di atas baik-baik! Ketahuilah, Allah ta’ala tidak menyukai keberangkatan mereka dan Dia lemahkan mereka, karena tidak ada persiapan dan niat mereka yang tidak lurus lagi. Namun, bila seorang bersiap untuk menunaikan suatu amal dan ia bangkit menghadap Allah dengan kerelaan hati, maka Allah terlalu mulia untuk menolak hamba yang datang menghadap-Nya. Berhati-hatilah dari mengalami nasib menjadi orang yang tidak layak menjalankan perintah Allah ta’ala yang penuh berkah. Seringnya kita mengikuti hawa nafsu, akan menyebabkan kita tertimpa hukuman berupa tertutupnya hati dari hidayah.

Allah ta’ala berfirman,

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ (١١٠)

“Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Quran) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al An’am: 110).

Persiapkan Amal Shalih dalam Menyambut Ramadhan

Bila kita menginginkan kebebasan dari neraka di bulan Ramadhan dan ingin diterima amalnya serta dihapus segala dosanya, maka harus ada bekal yang dipersiapkan.

Allah ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَرَادُوا الْخُرُوجَ لأعَدُّوا لَهُ عُدَّةً وَلَكِنْ كَرِهَ اللَّهُ انْبِعَاثَهُمْ فَثَبَّطَهُمْ وَقِيلَ اقْعُدُوا مَعَ الْقَاعِدِينَ (٤٦)

“Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At Taubah: 46).

Harus ada persiapan! Dengan demikian, tersingkaplah ketidakjujuran orang-orang yang tidak mempersiapkan bekal untuk berangkat menyambut Ramadhan. Oleh sebab itu, dalam ayat di atas mereka dihukum dengan berbagai bentuk kelemahan dan kehinaan disebabkan keengganan mereka untuk melakukan persiapan.

Sebagai persiapan menyambut Ramadhan, Rasulullah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban. ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

“Saya sama sekali belum pernah melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dalam satu bulan sebanyak puasa yang beliau lakukan di bulan Sya’ban, di dalamnya beliau berpuasa sebulan penuh.” Dalam riwayat lain, “Beliau berpuasa di bulan Sya’ban, kecuali sedikit hari.”[2]

Beliau tidak terlihat lebih banyak berpuasa di satu bulan melebihi puasanya di bulan Sya’ban, dan beliau tidak menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali di bulan Ramadhan.

Generasi emas umat ini, generasi salafush shalih, meeka selalu mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan sebaik-baiknya. Sebagian ulama salaf mengatakan,

كَانُوا يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يُبَلِّغَهُمْ شَهْرَ رَمَضَانَ ثُمَّ يَدْعُوْنَ اللهَ سِتَّةَ أَشْهُرٍ أَنْ يَتَقَبَّلَهُ مِنْهُمْ

”Mereka (para sahabat) berdo’a kepada Allah selama 6 bulan agar mereka dapat menjumpai bulan Ramadlan.”[3]

Tindakan mereka ini merupakan perwujudan kerinduan akan datangnya bulan Ramadhan, permohonan dan bentuk ketawakkalan mereka kepada-Nya. Tentunya, mereka tidak hanya berdo’a, namun persiapan menyambut Ramadhan mereka iringi dengan berbagai amal ibadah.

Abu Bakr al Warraq al Balkhi rahimahullah mengatakan,

شهر رجب شهر للزرع و شعبان شهر السقي للزرع و رمضان شهر حصاد الزرع

“Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk mengairi dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”[4]

Sebagian ulama yang lain mengatakan,

السنة مثل الشجرة و شهر رجب أيام توريقها و شعبان أيام تفريعها و رمضان أيام قطفها و المؤمنون قطافها جدير بمن سود صحيفته بالذنوب أن يبيضها بالتوبة في هذا الشهر و بمن ضيع عمره في البطالة أن يغتنم فيه ما بقي من العمر

“Waktu setahun itu laksana sebuah pohon. Bulan Rajab adalah waktu menumbuhkan daun, Syaban adalah waktu untuk menumbuhkan dahan, dan Ramadhan adalah bulan memanen, pemanennya adalah kaum mukminin. (Oleh karena itu), mereka yang “menghitamkan” catatan amal mereka hendaklah bergegas “memutihkannya” dengan taubat di bulan-bulan ini, sedang mereka yang telah menyia-nyiakan umurnya dalam kelalaian, hendaklah memanfaatkan sisa umur sebaik-baiknya (dengan mengerjakan ketaatan) di waktu tesebut.”[5]

Wahai kaum muslimin, agar buah bisa dipetik di bulan Ramadhan, harus ada benih yang disemai, dan ia harus diairi sampai menghasilkan buah yang rimbun. Puasa, qiyamullail, bersedekah, dan berbagai amal shalih di bulan Rajab dan Sya’ban, semua itu untuk menanam amal shalih di bulan Rajab dan diairi di bulan Sya’ban. Tujuannya agar kita bisa memanen kelezatan puasa dan beramal shalih di bulan Ramadhan, karena lezatnya Ramadhan hanya bisa dirasakan dengan kesabaran, perjuangan, dan tidak datang begitu saja. Hari-hari Ramadhan tidaklah banyak, perjalanan hari-hari itu begitu cepat. Oleh sebab itu, harus ada persiapan yang sebaik-baiknya.

Jangan Lupa, Perbarui Taubat!

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ ابْنِ آدَمَ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُون

“Setiap keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”[6]

Taubat menunjukkan tanda totalitas seorang dalam menghadapi Ramadhan. Dia ingin memasuki Ramadhan tanpa adanya sekat-sekat penghalang yang akan memperkeruh perjalanan selama mengarungi Ramadhan.

Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk bertaubat, karena taubat wajib dilakukan setiap saat. Allah ta’ala berfirman,

وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (٣١)

Bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (An Nuur: 31).

Taubat yang dibutuhkan bukanlah seperti taubat yang sering kita kerjakan. Kita bertaubat, lidah kita mengucapkan, “Saya memohon ampun kepada Allah”, akan tetapi hati kita lalai, akan tetapi setelah ucapan tersebut, dosa itu kembali terulang. Namun, yang dibutuhkan adalah totalitas dan kejujuran taubat.

Jangan pula taubat tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan sementara di luar Ramadhan kemaksiatan kembali digalakkan. Ingat! Ramadhan merupakan momentum ketaatan sekaligus madrasah untuk membiasakan diri beramal shalih sehingga jiwa terdidik untuk melaksanakan ketaatan-ketaatan di sebelas bulan lainnya.

Wahai kaum muslimin, mari kita persiapkan diri kita dengan memperbanyak amal shalih di dua bulan ini, Rajab dan Sya’ban, sebagai modal awal untuk mengarungi bulan Ramadhan yang akan datang sebentar lagi.

Ya Allah mudahkanlah dan bimbinglah kami. Amin.

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

Pelajaran dari Doa Nabi Yunus as

Allah Swt berfirman :

فَنَادَىٰ فِي ٱلظُّلُمَٰتِ أَن لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبۡحَٰنَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS.Al-Anbiya’:87)

Nah, dari kisah Nabi Yunus as kita belajar bahwa diharapkan setelah mendapatkan peringatan maupun cobaan, hendaknya manusia menyadari tiga hal yang akan membawanya menuju keselamatan.

Pertama, menyadari tentang hakikat Tauhid yang sebenarnya, yakni tidak ada yang layak disembah dan tidak ada tempat bersandar kecuali Allah Swt.

لَّآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنتَ

”Tidak ada tuhan selain Engkau.”

Kedua, Mensucikan Allah dari seluruh sifat kurang, dzalim dan tidak adil. Dan membuang seluruh prasangka buruk kepada-Nya.

سُبۡحَٰنَكَ

“Mahasuci Engkau.”

Ketiga, mengakui dan menyadari kesalahan serta kekurangan yang telah dilakukan.

إِنِّي كُنتُ مِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ

“Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zhalim.”

Diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda berkaitan dengan ayat ini :

“Nama Allah yang jika disebut ketika berdoa, maka akan dikabulkan. Dan jika memohon (dengan Nama itu) akan diberikan, itulah doa Yunus bin Matta.”

Seorang bertanya, “Ya Rasulullah, itu khusus untuk Nabi Yunus as atau untuk seluruh kaum muslimin?”

Rasulullah Saw menjawab,

“Doa itu khusus untuk Yunus dan kaum muslimin yang berdoa menggunakan doa ini. Tidakkah engkau mendengar firman Allah (pada ayat selanjutnya).

وَكَذَٰلِكَ نُـۨجِي ٱلۡمُؤۡمِنِينَ

“Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS.Al-Anbiya’:88)

Itu adalah syarat dari Allah bagi yang memohon kepada-Nya.

Semoga Bermanfaat….

KHAZANAH ALQURAN

Cara Ulama Mencari Nafkah: Tukang Sepatu, Penjahit, Makelar,

a masa dalam peradaban ketika kaum Muslimin begitu dekat dengan ilmu. Di pasar-pasar, toko-toko, dan di berbagai tempat bekerja begitu banyak orang-orang berilmu.

Seorang ulama bernama al-Hafizh as-Sam’ani memiliki perhatian khusus terhadap berbagam profesi para ahli ilmu. Dia menulis kitab al-Ansab yang memaparkan berbagai profesi yang ditekuni oleh para ulama. Inilah di antaranya:

Tukang Sandal

Ada beberapa ulama yang menyertakan nama an-ni’ali dalam dirinya. Ini adalah penisbatan kepada profesi yang berhubungan dengan sandal, baik pembuat maupun penjualnya.

Contohnya adalah Abu Ali al-Hasan bin al-Husain bin Duma an-Ni’ali, ulama Baghdad (431 H). Pamannya juga seorang ulama, namanya Abu Bakr Muhammad bin Ishaq an-Ni’ali (370 H).

Ada pula ulama periwayat Hadits yang mencari nafkah dengan membuat dan menjual sandal. Misalnya Abu al-Hasan Muhammad bin Thalhah an-Ni’ali (413 H). Juga cucunya yang bernama Abu Abdillah al-Husain bin Ahmad an-Ni`ali. (al-Ansab, 5/509).

Tukang Sepatu

Para periwayat Hadits dan ulama ada pula yang berprofesi sebagai penjual sepatu. Ulama yang semacam ini disebut dengan nama al-hadzdza`.

Contohnya adalah Abdullah bin Abdirrahman al-Hadzdza’ yang memiliki laqab (julukan) Bulbul. Juga Muhammad bin Salim al-Hadzddza’ yang memiliki julukan Hamdun. Ada lagi Katsir bin Ubaid al-Himshi al-Hadzdza’.

Adapun nama Khalid bin Mihran al-Hadzdza’, bukanlah penjual atau pembuat sepatu. Ia dikenal dengan penisbatan itu karena tinggal di atas toko sepatu. (al-Ansab, 2/190).

Tukang Kayu

Banyak pula ulama yang menisbatkan diri kepada profesi tukang kayu. Ulama yang ini disebut an-najjar.

Di antara mereka adalah Abu Bakr Muhammad bin Ja’far an-Najjar, seorang periwayat Hadits yang tsiqah (379 H). Juga ada Abu Bakr Muhammad bin Umar an-Najjar, juga periwayat Hadits yang tsiqah (432 H). Kata al-Khatib al-Baghdadi, “Aku mencatat (periwayatan) darinya, dia seorang syaikh yang dikenal tsiqah dari kalangan ahlul-Qur`an.” (al-Ansab, 5/494, 495).

Pencari Ikan

Ada ulama yang menisbatkan diri kepada profesi sebagai pemburu atau pencari ikan, yakni ash-shayyad. Di antara mereka adalah Abu Muhammad Ahmad bin Yusuf ash-Shayyad, perawi Hadits dari Baghdad.

Abu Muhammad, anak Abu Bakr Muhammad bin Ahmad, juga berprofesi sebagai pemburu. Ia merupakan periwayat Hadits yang tsiqah.

Ulama lainnya adalah Abu Utsman Sa’id bin al-Mughirah ash-Shayyad dari Mashishah. Jika ia membaca Kitab as-Sair, maka para penduduk menutup kedai-kedainya agar bisa mendatangi majelisnya. (al-Ansab, 3/570).

Makelar

Ada pula ulama yang berprofesi sebagai ad-dallal, yakni perantara antara penjual dan pembeli alias makelar. Yang masyhur menisbatkan diri dengan profesi ini adalah Abu al-Hasan Ahmad bin Abdir Raziq ad-Dallal (391 H), seorang muhaddits yang tsiqah dari Baghdad. (al-Ansab, 2/519).

Penenun Kain

Ada ulama yang berprofesi sebagai penenun kain atau an-nassaj. Di antara mereka adalah Abu al-Hasan Khairun bin Abdillah an-Nassaj (322 H), ulama besar sufi yang umurnya mencapai 120 tahun. (al-Ansab, 5/482).

Penjahit Pakaian

Ulama yang berprofesi sebagai penjahit pakaian disebut dengan al-khayyath. Antara lain Abu al-Fadhl Musa bin Ali bin Qadh al-Khayyath, seorang syaikh shalih di Baghdad. Tempatnya menjahit berada di antara dua jalan.

Penulis kitab al-Ansab, as-Sam’ani, juga memiliki beberapa guru periwayatan Hadits yang berprofesi sebagai penjahit pakaian. Di antaranya adalah Abu Abdillah al-Husain bin Ali bin Ahmad al-Khayyath.

Ada pula ulama shalih yang mencari nafkah sebagai penjahit, yakni Abu Bisyr Abdullah bin Ahmad dari an-Naisabur. Ulama yang satu ini dikenal sebagai seorang yang doanya dikabulkan. Tak heran jika banyak orang yang kerap datang ke tokonya untuk meminta doa. Abu Bisyr tidak makan kecuali dengan hasil jerih payahnya sendiri. (al-Ansab, 2/426).

Pedagang Mutiara

Menurut as-Sam’ani, ada ulama yang disebut al-lu’lu’i. Ini adalah penisbatan sekelompok orang yang menjadi penjual mutiara.

Di antara ulama yang profesi itu adalah Abu Sa’id Abdurrahman bin Mahdi al-Lu’lu`i. Ia seorang Tabi’in yang termasuk dalam golongan hufazh Hadits, banyak meriwayatkan dari Syu’bah, ats-Tsauri, dan Malik. (al-Ansab, 5/145).

Penyepuh Emas

Adz-dzahabi adalah penisbatan kepada emas, yakni pemurniannya dan pembersihan dari campuran-campurannya. Sebagian dari mereka membuat perhiasan dari emas.

Ulama yang menisbatkan diri dengan profesi ini adalah Utsman bin Muhammad adz-Dzahabi. Ia yang menyampaikan Hadits di Mesir maupun di Syam. (al-Ansab, 3/17).

Pedagang Gula

Ada ulama yang menisbatkan diri terhadap profesi pedagang gula, pembuatnya, atau tengkulaknya. Ulama yang ini menyertakan nama as-sukkari.

Contohnya adalah Bisyr bin Muhammad as-Sukkari dari Marwa. Ia meriwayatkan Hadits Ibnu Mubarak. (al-Ansab, 3/266).

Pedagang Pakan

At-Tabban, merupakan penisbatan kepada profesi sebagai penjual tabn (pakan ternak). Contohnya adalah Abu al-Abbas at-Tabban, ulama rujukan penduduk an-Naisabur. (al-Ansab, 1/448).

Penjual Ikan

Ada pula ulama yang berprofesi sebagai penjual ikan. Di antara mereka adalah Abu Hammad Sa’id bin Rasyid as-Sammak dari Bashrah. Ia meriwayatkan Hadits dari Atha’ dan az-Zuhri. (al-Ansab, 3/289).

Penjual Tepung

Banyak ulama yang berprofesi atau mencari nafkah sebagai penjual tepung atau pembuatnya, biasa disebut ad-daqqaq atau ad-daqiqi. Di antara mereka adalah Abu Qasim Isa bin Ibrahim Isa ad-Daqqaq. Kata Khatib al-Baghdadi, “Ia adalah penjual tepung.” (al-Ansab, 2/485).*

HIDAYATULLAH

Memakai Masker Saat Ihram dan Haji, Bolehkah?

Pandemi Covid-19 belum juga berakhir di dunia. Pelbagai negara pun meminta masyarakat untuk bersam-sama memutus mata rantai Covid-19 ini. Salah satunya dengan menerapkan protokol kesehatan. Ada pun salah satu bentuk penerapan protokol kesehatan adalah memakai masker. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hukum memakai masker saat ihram dan haji?

Terkait persoalan memakai masker daat haji dan umroh, Syek Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dari Lajnah Daimah Lil Ifta, Kerajaan Arab Saudi membagi dua persoalan hukum ini. Ulama senior dalam Lembaga Fatwa Arab Saudi membeda hukum memakai masker saat haji dan umroh antara laki-laki dan perempuan.

Pertama, bagi laki-laki boleh hukumnya memakai masker saat haji dan umroh. Pasalnya menutup wajah  saat sedang haji dan umroh diperbolehkan hukumnya bagi pria.

Syekh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin dalam al Majmu’ Al Fatawa wa Rasail al U’staimin mengatakan;

وأما الرجل: فلا حرج عليه في لبس الكمامة؛ لأنه لا يحظر عليه تغطية وجهه على الراجح

Artinya: Ada pun laki-laki tak ada dosa (kesalahan) padanya untuk memakai masker, karena tidak ada yang menghalangi atasnya untuk menutupi wajahnya, atas pendapat yang kuat.

Dan Imam Nawawi dalam Kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzab menjelaskan bahwa seorang pria boleh hukumnya menutup wajahnya pada saat Ihram (Baca; termasuk dalam hal ini memakai masker). Pasalnya, tak ada larangan menutup wajah bagi laki-laki saat haji  dan umroh.

Imam Nawawi dalam Al Majmu’ Syarah Muhadzab Juz VII, halaman 268 mengatakan ;

مذهبنا أنه يجوز للرجل المحرم ستر وجهه، ولا فدية عليه وبه قال جمهور العلماء

Artinya; Menurut pendapat mazhab kita, sesungguhnya boleh bagi laki-laki menutup wajahnya saat ihram, dan tak ada bayar fidyah baginya. Inilah pendapat para jumhur ulama.

Kedua, ada pun hukum memakai masker bagi perempuan saat umroh dan haji adalah haram. Hal ini sebagaimana tertera dalam  hadist riwayat Imam Bukhari;

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنْ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ ؟

فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ

Artinya;  Dari Abdullah bin Umar, berkata ia, Seorang pria datang kepada Nabi, kemudian ia berkata: Wahai Rasulullah,  pada saat kami sedang ihram pakaian apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah untuk kami pakai?Baginda Muhammad SAW menjawab: “Janganlah kalian mengenakan baju, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan.

Akan tetapi ada pengecualian hukum atau keringanan hukum—boleh hukumnya memakai masker bagi wanita—, ketika ada hajat atau karena ada darurat. Menurut al-Imam al-Hafidz Zainuddin Abu Yahya Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari al-Qahiri dalam Asnal Mathalib, Juz Ihalaman 507, boleh hukumnya memakai penutup muka bagi wanita ketika ada hajat.

Ulama yang lebih populer dengan nama Syekh al-Hafidz Zakariya al-Anshari, berkata;

مَنْ لَبِسَ فِي الْإِحْرَامِ مَا يَحْرُمُ لُبْسُهُ بِهِ ، أَوْ سَتَرَ مَا يَحْرُمُ سَتْرُهُ فِيهِ ، لِحَاجَةِ حَرٍّ ، أَوْ بَرْدٍ ، أَوْ مُدَاوَاةٍ ، أَوْ نَحْوِهَا : جَازَ ، وَفَدَى

Artinya; Boleh hukumnya memakai sesuatu pada saat ihram, padahal itu yang diharamkan memakai pakaian tersebut, atau menutup pada saat ihram, padahal yang ia tutup haram hukumnya menutupnya, itu boleh karena ada hajat. Sepertinya; cuaca sangat panas, atau cuaca dingin, atau  untuk pengobatan, dan seumpamanya,  hukumnya boleh itu dan kena denda.

Di sisi lain, Menurut Ayatullah Agung Ali al-Sistani mengatakan boleh hukumnya wanita memakai masker di hidung dan wajah apabila dalam keadaan darurat. Meskipun hukum asal memakai masker bagi wanita adalah terlarang, karena dalam keadaan darurat, misalnya Covid-19, maka tak ada masalah. Boleh hukumnya.

Ulama kontemporer sekaligus mufti Iran, Ali Asistani mengatakan;

المحرمة فلا تستخدمها لانه لايجوز لها ستر وجهها ولو بعضاً منه بمثل ذلك، نعم لاباس بها في حال الضرورة

Artinya; Ada pun perempuan yang ihram, maka jangan ia memakai masker di wajahnya, karena tidak boleh bagi perempuan menutup wajahnya pada saat ihram dan haji, walaupun sebagian wajahnya. Akan tetapi bila ada dalam keadaan darurat, maka tak apa-apa. Boleh hukumnya.

Lebih lanjut, apakah wajib membayar fidyah ( denda karena melanggar) bagi wanita yang memakai masker ketika haji dan umroh? Syekh Ustaimin membagi tiga hukumnya;

Pertama, wanita yang memakai masker dengan sengaja tanpa ada hajat dan tidak ada darurat (keringanan hukum), maka hukumnya berdosa. Dan wanita tersebut membayar fidyah.

Kedua, bila wanita memakai masker saat haji dan umroh karena ada hajat dan darurat, maka ia tak berdosa, tetapi wajib membayar fidyah.

Ketiga, seorang wanita yang memakai masker kerana ketidaktahuan hukum memakainya, atau karena lupa, atau karena terpaksa, atau karena tidur, maka ia tak berbosa dan tidak wajib membayar fidyah haji atau umroh.

Ada pun wajib fidyah itu ada tiga macam; Pertama, puasa tiga hari, Kedua, memberi makan faqir dan miskin. Ketiga, menyembelih hewan sembelihan.

Oleh karena itu bagi orang yang wajib fidyah, maka diperbolehkan memilih satu dari tiga macam  di atas.

Demikian keterangan tentang hukum memakai masker saat ihram dan haji. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Hukum Mengonsumsi Makanan Lezat Tapi Membahayakan Kesehatan

Dalam Islam, ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika kita hendak mengonsumsi makanan. Pertama, halal. Kedua, thayyib atau baik bagi tubuh dan akal. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 168 berikut;

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًا وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini, maksud ayat ini adalah bahwa Allah memberi rezeki semua makhluk-Nya. Untuk itu, sebagai pemberi karunia kepada mereka, Allah memperbolehkan mereka makan dari semua apa yang ada di bumi, yaitu yang dihalalkan bagi mereka lagi baik dan tidak membahayakan tubuh serta akal mereka, sebagai karunia dari-Nya.

Juga berdasrkan hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda;

إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ وَقَالَ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ

Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum mukminin dengan perintah yang Allah gunakan untuk memerintahkan para rasul. Maka Allah berfirman; Wahai para rasul, makanlah segala sesuatu yang baik dan beramal baiklah sesungguhnya Aku mengetahui apa yang kalian kerjakan. Dan Allah juga berfirman; Wahai orang-orang yang beriman, makanlah segala sesuatu yang baik yang telah kami berikan kepada kalian.

Berdasarkan ayat dan hadis ini, para ulama mengatakan bahwa makanan tidak cukup hanya halal saja, namun juga harus baik dan tidak membahayakan tubuh dan akal. Jika makanan sudah halal, namun ia bisa membahayakan tubuh atau akal, maka hukumnya haram untuk dimakan.

Dengan demikian, mengonsumsi makanan yang lezat namun dipastikan sudah membahayakan kesehatan tubuh, maka hukumnya haram untuk dikomsumsi. Hal ini karena makanan yang sudah dipastikan membahayakan tubuh, meskipun halal, hukumnya haram untuk dikonsumsi.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah berikut;

يَظْهَرُ مِنَ الاِسْتِقْرَاءِ وَتَتَبُّعِ تَعْلِيلاَتِ فُقَهَاءِ الْمَذَاهِبِ فِيمَا يَحْكُمُونَ بِحُرْمَةِ أَكْلِهِ أَنَّهُ يَحْرُمُ أَكْل الشَّيْءِ مَهْمَا كَانَ نَوْعَهُ لأِحَدِ أَسْبَابِ خَمْسَةٍ:السَّبَبُ الأْوَّل: الضَّرَرُ اللاَّحِقُ بِالْبَدَنِ أَوِ الْعَقْل..

Berdasarkan penelitian terhadap alasan-alasan ulama fiqih terkait keharaman makanan bahwa haram mengonsumsi jenis makanan apapun jika ada salah satu sebab yang lima ini; sebab pertama adalah bahaya yang bisa mengamcam tubuh atau akal..

BINCANG SYARIAH

Resep Nabi Kala Berduka

عن عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعودٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم (لَيْسَ مِنّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، وَشَقَّ الْجُيُوبَ، وَدَعا بِدَعْوى الْجاهِلِيَّةِ

“Bukanlah golongan kami, siapa yang menampar pipi, merobek baju dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (Riwayat Bukhari No. 1294 dan Muslim No. 103)

Hidayatullah.com–Dalam urusan dunia, masyarakat jahiliah jauh dari kesan bodoh. Di antara mereka terdapat sastrawan, ahli bisnis, dan diplomat ulung. Tapi syariat tetap melabelinya dengan jahiliah yang berarti kebodohan. Dimanakah letak kejahiliahan mereka?

Kejahiliahan itu terlihat pada cara beragama dan moral mereka. Jika kita menyelami sisi yang satu ini, setumpuk bukti kejahiliahan bisa kita dapatkan. Dalam menyembah mereka menyekutukan Allah SWT. Dalam moral dan akhlak mereka terlilit oleh tradisi-tradisi yang menyimpang.

Di tengah masyarakat seperti itulah Rasulullah SAW diutus. Tugas beliau adalah mengembalikan mereka pada jalur kemuliaan dengan meninggalkan tradisi-tradisi jahiliah. Di antara tradisi itu adalah menampar pipi, merobek baju sebagai pelampiasan dikala berduka.

Makna Hadits

Kehilangan orang yang dicintai acap kali meletupkan kesedihan yang begitu mendalam. Kondisi inilah yang kadang dimanfaatkan oleh setan. Ia menyusupkan bisikannya saat seorang sedang dirundung duka. Tanpa sadar sikap dan prilaku kita di bawah kendalinya. Alhasil, kesabaran menjauh dan pelampiasan kesedihan ala jahiliah yang menyeruak.

Hadits di atas bekal penting untuk menghindari berduka ala jahiliah. Sebab, melampiaskan kesedihan tidak bisa seenaknya dan sekehendak hawa nafsu. Menangis sambil meraung, menyobek baju dan menampar pipi adalah perbuatan yang dikecam keras oleh Rasulullah SAW.

Kecaman keras itu sangat terasa pada lafadz yang beliau gunakan. Rasulullah SAW mengawali Haditsnya dengan lafadz laisa minna yang artinya tidak berada di atas jalan dan ajaran kami. Galibnya, beliau menggunakan lafadz seperti ini sebagai peringatan keras terhadap suatu maksiat. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Uslub seperti ini digunakan oleh Rasulullah untuk mencegah dengan keras agar tidak  terjerumus dalam perbuatan dosa. (Fathul Bari 3/163)

Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Ia berkata, “Hadits-hadts yang di dalamnya terdapat laisa minna adalah peringatan akan maksiat yang sangat besar bobot dosanya, tapi pelakunya tidak keluar dari Islam selama ia tidak meyakini maksiat itu sebagai sesuatu yang halal. ”Adapun yang dimaksud dengan da’wah al-jahiliah adalah, menangis sambil mengucapkan perkataan yang tidak boleh menurut syariah.” (Tuhfatul Ahwadzi, 4/68)

Peringatan keras dalam Hadits di atas erat kaitannya dengan salah satu rukun iman yaitu beriman kepada takdir. Bersedih dengan menangis sambil berteriak, meraung, menampar pipi adalah perilaku yang bisa mencedrai bahkan merusak pilar keimanan kita kepada takdir.

Cukup di Hati dan Air Mata

Mencermati sejarah, Nabi Muahmmad SAW adalah sosok yang paling dahsyat ujian dan cobaannya. Kondisi dan situasi sulit nyaris tak terpisahkan dari perjalanan hidupnya.

Perhatikanlah sejarah hidup beliau. Sebelum lahir ia telah kehilangan ayahnya. Setelah lahir silih berganti orang-orang yang dicintainya dipanggil Allah SWT. Mulai dari ibu, kakek, paman, dan istri tercintanya khadijah.

Namun apa yang dilakukan oleh Nabi SAW, tak satu pun dari peristiwa-peristiwa tersebut yang dirayakan sebagai hari berkabung. Yang diperlihatkan oleh Rasulullah SAW adalah sabar. Beliau tidak memukul, apalagi sampai melukai diri sebagaimana yang dilakukan kalangan Syiah.

Sebagai manusia tentu beliau bersedih. Bahkan saat putra beliau Ibrahim meninggal beliau menangis. Tapi kesedihan itu hanya sebatas di hati dan air mata. Tidak ada ucapan apalagi aktivitas fisik yang merefleksikan kesedihannya. Inilah Islam yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Beliau bersabda:

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ

”Sesungguhnya mata bisa berlinang, hati juga bisa berduka namun kita hanya bisa mengucapkan yang diridhai Tuhan kita. Wahai Ibrahim, sungguh kami sangat bersedih karena berpisah denganmu.” (Al-Bukhari dan Muslim)

Sebatas bersedih dan mengeluarkan air mata tanpa disertai dengan ratapan dan teriakan, maka hal tersebut dibolehkan. Beliau bersabda:

إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا–وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ–أَوْ يَرْحَمُ

“Sesungguhnya Allah itu tidak menyiksa karena tetesan air mata kesedihan hati, tetapi Allah hanya akan menyiksa karena ini, (beliau menunjuk kearah lidahnya) atau Allah akan mengampuninya.” (Al-Bukhari).

Adapun tradisi berduka dengan berteriak, menampar pipi, melukai diri adalah tradisi jahiliah yang sangat dilaknat dan dikecam oleh Rasulullah SAW.

Oleh Ahmad Rifa’i*

*Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Balikpapan

HIDAYATULLAH

Saat Sedang Puasa Sunnah Diajak Makan, Sebaiknya Batalkan Atau Tidak?

BerandaUbudiyahhttps://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=3733164556&adf=184290839&pi=t.aa~a.467178120~rp.4&w=360&lmt=1615766948&rafmt=1&to=qs&pwprc=8600742471&psa=1&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=40&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766947009&bpp=46&bdt=2736&idt=1377&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0&nras=2&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=74&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=0&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C612%2C360%2C612&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=2&uci=a!2&fsb=1&xpc=9biqZvgqHk&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=1399

Puasa Sunnah Diajak Makan
Puasa Sunnah Diajak Makan

Close Ads X

Saat Sedang Puasa Sunnah Diajak Makan, Sebaiknya Batalkan Atau Tidak?

Penulis Moh Juriyanto -12 Maret 2021037

BincangSyariah.Com – Saat sedang puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, terkadang ada teman yang mengajak makan. Dalam keadaan sedang puasa sunnah diajak makan teman, sebaiknya kita membatalkan puasa kita atau tidak membatalkan dan terus melanjutkannya?

Ketika kita sedang puasa sunnah dan kebetulan kita bertamu atau diajak teman untuk makan, menurut para ulama, dalam keadaan seperti ini hukumnya ditafsil atau diperinci sebagai berikut;

BerandaUbudiyahhttps://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=3733164556&adf=184290839&pi=t.aa~a.467178120~rp.4&w=360&lmt=1615766948&rafmt=1&to=qs&pwprc=8600742471&psa=1&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=40&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766947009&bpp=46&bdt=2736&idt=1377&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0&nras=2&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=74&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=0&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C612%2C360%2C612&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=2&uci=a!2&fsb=1&xpc=9biqZvgqHk&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=1399

Puasa Sunnah Diajak Makan
Puasa Sunnah Diajak Makan

Close Ads X

Saat Sedang Puasa Sunnah Diajak Makan, Sebaiknya Batalkan Atau Tidak?

Penulis Moh Juriyanto -12 Maret 2021037

BincangSyariah.Com – Saat sedang puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, terkadang ada teman yang mengajak makan. Dalam keadaan sedang puasa sunnah diajak makan teman, sebaiknya kita membatalkan puasa kita atau tidak membatalkan dan terus melanjutkannya?

Ketika kita sedang puasa sunnah dan kebetulan kita bertamu atau diajak teman untuk makan, menurut para ulama, dalam keadaan seperti ini hukumnya ditafsil atau diperinci sebagai berikut;https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=1935789452&adf=2670635274&pi=t.aa~a.86673156~i.3~rp.4&w=360&lmt=1615766955&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rh=267&rw=320&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=27&adsid=ChEIgIW3ggYQ4ca6n5X8z6-tARJFAJw0rJDkwCLn8ZQMy7yVLIvKfkbiyQW86yvqXu9hCQ0db4qOnIDAmQkfJ86juiy13x-V9fyc1m94JyU8uIePdb0JBp4Y&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766954769&bpp=31&bdt=10497&idt=-M&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0%2C360x300&nras=3&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=1455&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=178&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&psts=AGkb-H8-Ad0wKfQD_oYqAwkthd9z7zJuZs3McoPbUy3G7bHwJy4uI3Ltast_KSfe9Yj5T7OYT6MsQQNG&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C668%2C360%2C668&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=5&uci=a!5&btvi=1&fsb=1&xpc=NS1mHzHMMd&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=573

Pertama, jika tuan rumah atau teman yang mengajak kita makan akan kecewa jika kita menolak untuk makan atau menolak ajakannya, maka kita sebaiknya membatalkan puasa kita. Dalam keadaan seperti ini, kita lebih baik membatalkan puasa dan makan bersama teman kita.

Kedua, jika tuan rumah atau teman yang mengajak kita makan tidak akan kecewa jika kita menolaknya, maka lebih baik kita melanjutkan berpuasa.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughnil Muhtaj berikut;

ولكن يكره الخروج منه -صوم التطوع- بلا عذر، لظاهر قوله تعالى: ولا تبطلوا أعمالكم وللخروج من خلاف من أوجب إتمامه، فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل إذا عز عليه امتناع مضيفه منه، أو عكسه فلا يكره الخروج منه، بل يستحب..أما إذا لم يعز على أحدهما امتناع الآخر من ذلك، فالأفضل عدم خروجه منه، كما في المجموع

BerandaUbudiyahhttps://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=3733164556&adf=184290839&pi=t.aa~a.467178120~rp.4&w=360&lmt=1615766948&rafmt=1&to=qs&pwprc=8600742471&psa=1&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=40&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766947009&bpp=46&bdt=2736&idt=1377&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0&nras=2&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=74&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=0&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1920&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C612%2C360%2C612&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=2&uci=a!2&fsb=1&xpc=9biqZvgqHk&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=1399

Puasa Sunnah Diajak Makan
Puasa Sunnah Diajak Makan

Close Ads X

Saat Sedang Puasa Sunnah Diajak Makan, Sebaiknya Batalkan Atau Tidak?

Penulis Moh Juriyanto -12 Maret 2021037

BincangSyariah.Com – Saat sedang puasa sunnah, seperti puasa Senin-Kamis, terkadang ada teman yang mengajak makan. Dalam keadaan sedang puasa sunnah diajak makan teman, sebaiknya kita membatalkan puasa kita atau tidak membatalkan dan terus melanjutkannya?

Ketika kita sedang puasa sunnah dan kebetulan kita bertamu atau diajak teman untuk makan, menurut para ulama, dalam keadaan seperti ini hukumnya ditafsil atau diperinci sebagai berikut;https://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=1935789452&adf=2670635274&pi=t.aa~a.86673156~i.3~rp.4&w=360&lmt=1615766955&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rh=267&rw=320&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=27&adsid=ChEIgIW3ggYQ4ca6n5X8z6-tARJFAJw0rJDkwCLn8ZQMy7yVLIvKfkbiyQW86yvqXu9hCQ0db4qOnIDAmQkfJ86juiy13x-V9fyc1m94JyU8uIePdb0JBp4Y&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766954769&bpp=31&bdt=10497&idt=-M&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0%2C360x300&nras=3&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=1455&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=178&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&psts=AGkb-H8-Ad0wKfQD_oYqAwkthd9z7zJuZs3McoPbUy3G7bHwJy4uI3Ltast_KSfe9Yj5T7OYT6MsQQNG&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C668%2C360%2C668&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=5&uci=a!5&btvi=1&fsb=1&xpc=NS1mHzHMMd&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=573

Pertama, jika tuan rumah atau teman yang mengajak kita makan akan kecewa jika kita menolak untuk makan atau menolak ajakannya, maka kita sebaiknya membatalkan puasa kita. Dalam keadaan seperti ini, kita lebih baik membatalkan puasa dan makan bersama teman kita.

Kedua, jika tuan rumah atau teman yang mengajak kita makan tidak akan kecewa jika kita menolaknya, maka lebih baik kita melanjutkan berpuasa.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Mughnil Muhtaj berikut;

ولكن يكره الخروج منه -صوم التطوع- بلا عذر، لظاهر قوله تعالى: ولا تبطلوا أعمالكم وللخروج من خلاف من أوجب إتمامه، فإن كان هناك عذر كمساعدة ضيف في الأكل إذا عز عليه امتناع مضيفه منه، أو عكسه فلا يكره الخروج منه، بل يستحب..أما إذا لم يعز على أحدهما امتناع الآخر من ذلك، فالأفضل عدم خروجه منه، كما في المجموعhttps://googleads.g.doubleclick.net/pagead/ads?client=ca-pub-7817204943932406&output=html&h=300&adk=1935789452&adf=2377593331&pi=t.aa~a.86673156~i.11~rp.4&w=360&lmt=1615766955&num_ads=1&rafmt=1&armr=3&sem=mc&pwprc=8600742471&psa=1&ad_type=text_image&format=360×300&url=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2Fubudiyah%2Fsedang-puasa-sunnah-diajak-makan-sebaiknya-batalkan-atau-tidak%2F&flash=0&fwr=1&pra=3&rh=267&rw=320&rpe=1&resp_fmts=3&sfro=1&wgl=1&fa=27&adsid=ChEIgIW3ggYQ4ca6n5X8z6-tARJFAJw0rJDkwCLn8ZQMy7yVLIvKfkbiyQW86yvqXu9hCQ0db4qOnIDAmQkfJ86juiy13x-V9fyc1m94JyU8uIePdb0JBp4Y&uach=WyJBbmRyb2lkIiwiMTAiLCIiLCJTTS1KNjAwRyIsIjg5LjAuNDM4OS44NiIsW11d&tt_state=W3siaXNzdWVyT3JpZ2luIjoiaHR0cHM6Ly9hZHNlcnZpY2UuZ29vZ2xlLmNvbSIsInN0YXRlIjo2fSx7Imlzc3Vlck9yaWdpbiI6Imh0dHBzOi8vYXR0ZXN0YXRpb24uYW5kcm9pZC5jb20iLCJzdGF0ZSI6N31d&dt=1615766954769&bpp=25&bdt=10496&idt=-M&shv=r20210309&cbv=r20190131&ptt=9&saldr=aa&abxe=1&cookie=ID%3Dcd954b0c4dc1bdd2-2256870810c60029%3AT%3D1613567205%3ART%3D1613567205%3AS%3DALNI_MaWq6NpIrOb_qMJwR438sjLToNVRQ&prev_fmts=0x0%2C360x300%2C360x300&nras=4&correlator=4816932775789&frm=20&pv=1&ga_vid=1697902389.1611543966&ga_sid=1615766948&ga_hid=940032202&ga_fc=0&u_tz=420&u_his=7&u_java=0&u_h=740&u_w=360&u_ah=740&u_aw=360&u_cd=24&u_nplug=0&u_nmime=0&adx=0&ady=2632&biw=360&bih=612&scr_x=0&scr_y=178&eid=42530672%2C44731609%2C31060288%2C182982100%2C182982300%2C31060004%2C21067496%2C31060407%2C21066973&oid=3&psts=AGkb-H8-Ad0wKfQD_oYqAwkthd9z7zJuZs3McoPbUy3G7bHwJy4uI3Ltast_KSfe9Yj5T7OYT6MsQQNG&pvsid=472888220694841&pem=111&ref=https%3A%2F%2Fbincangsyariah.com%2F&rx=0&eae=0&fc=1408&brdim=0%2C0%2C0%2C0%2C360%2C0%2C360%2C668%2C360%2C668&vis=1&rsz=%7C%7Cs%7C&abl=NS&fu=8320&bc=31&ifi=6&uci=a!6&btvi=2&fsb=1&xpc=b6gYQFclUx&p=https%3A//bincangsyariah.com&dtd=630

Akan tetapi dimakruhkan membatalkan puasa sunnah tanpa ada udzur berdasarkan firman Allah: Dan janganlah kalian membatalkan amal-amal kalian. Juga karena keluar dari perbedaan pendapat ulama yang mewajibkan menyempurnakan puasa sunnah. Jika ada udzur, seperti menemani tamu makan jika ia tersinggung bila tua rumahnya tidak makan atau sebaliknya, maka tidak makruh bahkan dianjurkan membatalkan puasa. Adapun jika tidak tersinggung bila salah satunya menolak untuk makan, maka lebih utama tidak membatalkan puasa sunnah, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Majmu’.

Menurut Imam Al-Ghazali, jika kita kebetulan membatalkan puasa sunnah karena diajak teman makan atau karena bertamu, maka hendaknya kita berniat untuk menyenangkan teman kita atau tuan rumah. Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;

قال الغزالي يندب أن ينوي بفطره إدخال السرور عليه

Imam Al-Ghazali berkata: Disunnahkan berniat untuk menyenangkan perasaan pemilik hidangan pada saat membatalkan puasa.

BINCANGSYARIAH.COM

Beberapa Bentuk Bakti Kepada Orang Tua

Di artikel “Perintah Untuk Birrul Walidain” kita telah mengetahui perintah Allah dan Rasul-Nya untuk berbakti kepada orang tua, dan betapa agungnya kedudukan birrul walidain dalam Islam. Maka pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara berbakti kepada orang tua?

Berikut ini beberapa adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua:

1. Berkata-kata dengan sopan dan penuh kelembutan, dan jauhi perkataan yang menyakiti hati mereka

Allah Ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS. Al Isra: 23).

Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat [فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ]:

أي لا تسمعهما قولا سيئا حتى ولا التأفيف الذي هو أدنى مراتب القول السيئ

“Maksudnya jangan memperdengarkan kepada orang tua, perkataan yang buruk. Bahkan sekedar ah yang ini merupakan tingkatan terendah dari perkataan yang buruk” (Tafsir Ibnu Katsir).

2. Bersikap tawadhu’ kepada orang tua dan sikapilah mereka dengan penuh kasih sayang

Allah Ta’ala berfirman:

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.” (QS. Al Isra: 24).

3. Tidak memandang orang tua dengan pandangan yang tajam, tidak bermuka masam atau wajah yang tidak menyenangkan
4. Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orang tua

Dalil kedua adab di atas adalah hadits Al Musawwir bin Makhramah mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

“jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “setiap adab di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap penghormatan”.

5. Tidak mendahului mereka dalam berkata-kata

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu beliau berkata:

كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ

“kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).

Ibnu Umar melakukan demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya walau bukan orang tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang tua.

6. Lebih mengutamakan orang tua daripada diri sendiri atau iitsaar dalam perkara duniawi

Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara lainnya. Dalilnya adalah hadits dalam Shahihain tentang tiga orang yang ber-tawassul dengan amalan shalih yang salah satunya bertawassul dengan amalan baiknya kepada orang tua, diantara ia melakukan iitsaar kepada orang tuanya. Hadits ini telah disebutkan pada materi yang telah lalu, walhamdulillah.

7. Dakwahi mereka kepada agama yang benar

Allah Ta’ala berfirman:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا يَا أَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا

“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”” (QS. Maryam: 41-45).

8. Jagalah kehormatan mereka

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا ، فِي شَهْرِكُمْ هَذَا، فِي بَلَدِكُمْ هَذَا

“sesungguhnya Allah telah mengharamkan atas sesama kalian darah kalian (untuk ditumpakan) dan harta kalian (untuk dirampais) dan kehormatan (untuk dirusak). Sebagaimana haramnya hari ini, haramnya bulan ini dan haramnya negeri ini” (HR. Bukhari).

9. Berikan pelayanan-pelayanan kepada orang tua dan bantulah urusan-urusannya

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

المسلمُ أخو المسلمِ ، لا يَظْلِمُه ولا يُسْلِمُه ، ومَن كان في حاجةِ أخيه كان اللهُ في حاجتِه ، ومَن فرَّجَ عن مسلمٍ كربةً فرَّجَ اللهُ عنه كربةً مِن كُرُبَاتِ يومِ القيامةِ ، ومَن ستَرَ مسلمًا ستَرَه اللهُ يومَ القيامةِ

“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, tidak boleh menzhaliminya, tidak boleh membiarkannya dalam bahaya. barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya sesama Muslim, maka Allah akan penuhi kebutuhannya. barangsiapa yang melepaskan saudaranya sesama Muslim dari satu kesulitan, maka Allah akan melepaskan ia dari satu kesulitan di hari kiamat. barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kiamat” (HR. Al Bukhari no. 2442)

10. Jawablah panggilan mereka dengan segera

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

فَأَتَتْ أُمُّهُ يَوْمًٍا فَقَالَتْ: يَا جُرَيْجُ! وَهُوَ يُصّلِّى، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ – وَهُوَ يُصَلِّي – أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ، ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَّانِيَةَ، فَقَالَ فِي نَفْسِهِ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. ثُمَّ صَرَخَتْ بِهِ الثَالِثَةَ فَقَالَ: أُمِّي وَصَلاَتِي؟ فَرَأَى أَنْ يُؤْثِرَ صَلاَتَهُ. فَلَمَّا لَمْ يُجِبْهَا قَالَتْ: لاَ أَمَاتَكَ اللهُ يَا جُرَيْجُ! حَتىَّ تَنْظُرَ فِي وَجْهِ المُوْمِسَاتِ

“Suatu hari datanglah ibu Juraij dan memanggil anaknya (Juraij) ketika ia sedang melaksanakan shalat, ”Wahai Juraij.” Juraij lalu bertanya dalam hatinya, ”Apakah aku harus memenuhi panggilan ibuku atau meneruskan shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya lalu memanggil untuk yang kedua kalinya. Juraij kembali bertanya di dalam hati, ”Ibuku atau shalatku?” Rupanya dia mengutamakan shalatnya. Ibunya memanggil untuk kali ketiga. Juraij bertanya lagi dalam hatinya, ”lbuku atau shalatku?” Rupanya dia tetap mengutamakan shalatnya. Ketika sudah tidak menjawab panggilan, ibunya berkata, “Semoga Allah tidak mewafatkanmu, wahai Juraij sampai engkau melihat wajah pelacur” (HR. Al Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Adabil Mufrad).

11. Jangan berdebat dengan mereka, jangan mudah menyalah-nyalahkan mereka, jelaskan dengan penuh adab

Sebagaimana dialog Nabi Ibrahim ‘alahissalam dengan ayahnya. Sebagaimana juga diceritakan oleh ‘Aisyah Radhiallahu’anha:

“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam pada beberapa perjalanan beliau. Tatkala kami sampai di Al-Baidaa atau di daerah Dzatul Jaisy, kalungku terputus. Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam pun berhenti untuk mencari kalung tersebut. Orang-orang yang ikut bersama beliau pun ikut berhenti mencari kalung tersebut. Padahal mereka tatkala itu tidak dalam keadaan bersuci (dalam keadaan berwudu) dan tidak membawa air. Sehingga orang-orang pun berdatangan menemui Abu bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Tidakkah engkau lihat apa yang telah dilakukan oleh Aisyah? Ia membuat Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam dan orang-orang berhenti padahal mereka tidak dalam keadaan bersuci dan tidak membawa air. Maka Abu Bakar pun menemuiku, lalu ia mengatakan apa yang dikatakannya. Lalu ia memukul pinggangku dengan tangannya. Tidak ada yang mencegahku untuk menghindar kecuali karena Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam yang sedang tidur di atas pahaku. Rasulullah Shalallahu‘alaihi Wasallam terus tertidur hingga subuh dalam keadaan tidak bersuci. Lalu Allah menurunkan ayat tentang tayammum. Usaid bin Al-Hudhair mengatakan, “Ini bukanlah awal keberkahan kalian wahai keluarga Abu Bakar”. Lalu kami pun menyiapkan unta yang sedang aku tumpangi, ternyata kalung itu berada di bawahnya”. (HR. An Nasa-i no.309, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i).

12. Segera bangkit menyambut mereka ketika mereka masuk rumah, dan ciumlah tangan mereka

Dari Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata:

وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ. وَكَانَتْ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَقَبَّلَتْهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika melihat putri Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Fathimah) datang ke rumah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambut kedatangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lalu berjalan menyambut, menciumnya, menggandeng tangannya lalu mendudukkannya di tempat duduk beliau. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi rumah Fathimah radhiyallahu anhuma , maka Fathimah menyambut kedatangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia bangkit dan berjalan kearah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mencium (kening) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” (HR. Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, Ibnu Qathan dalam Ahkamun Nazhar[296] mengatakan: “semua perawinya tsiqah”).

13. Jangan menganggu mereka di waktu mereka istirahat

Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nur ayat 58 (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari), yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan sesudah sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga ‘aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

14. Jangan berbohong kepada mereka

Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasalam bersabda:

عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ؛ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا، وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ؛ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ، وَالْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكتب عند الله كذاباً

“Wajib bagi kalian untuk berlaku jujur. Karena kejujuran itu membawa kepada kebaikan dan kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang yang senantiasa jujur, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai Shiddiq (orang yang sangat jujur). Dan jauhilah dusta, karena dusta itu membawa kepada perbuatan fajir (maksiat) dan perbuatan fajir membawa ke neraka. Seseorang yang sering berdusta, akan di tulis di sisi Allah sebagai kadzab (orang yang sangat pendusta)” (HR. Muslim no. 2607).

Berbohong adalah dosa besar. Lebih lebih jika dilakukan terhadap orang tua, lebih besar lagi dosanya.

15. Jangan pelit untuk menafkahi mereka

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ

“Mulailah dari dirimu sendiri, engkau beri nafkah dirimu sendiri. Jika ada lebih maka untuk keluargamu. Jika ada lebih maka untuk kerabatmu” (HR. Muslim no.997).

Maka orang tua adalah orang yang paling berhak dinafkahi setelah diri sendiri dan keluarga. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa seorang anak wajib menafkahi orang tuanya jika memenuhi dua syarat:
1. Orang tua dalam keadaan miskin
2. Sang anak dalam keadaan mampu menafkahi

Jika dua kondisi ini tidak terpenuhi, maka tidak wajib.

16. Sering-seringlah mengunjungi mereka

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أنَّ رجلًا زارَ أخًا لَهُ في قريةٍ أخرى ، فأرصدَ اللَّهُ لَهُ على مَدرجَتِهِ ملَكًا فلمَّا أتى عليهِ ، قالَ : أينَ تريدُ ؟ قالَ : أريدُ أخًا لي في هذِهِ القريةِ ، قالَ : هل لَكَ عليهِ من نعمةٍ تربُّها ؟ قالَ : لا ، غيرَ أنِّي أحببتُهُ في اللَّهِ عزَّ وجلَّ ، قالَ : فإنِّي رسولُ اللَّهِ إليكَ ، بأنَّ اللَّهَ قد أحبَّكَ كما أحببتَهُ فيهِ

“Pernah ada seseorang pergi mengunjungi saudaranya di daerah yang lain. Lalu Allah pun mengutus Malaikat kepadanya di tengah perjalanannya. Ketika mendatanginya, Malaikat tersebut bertanya: “engkau mau kemana?”. Ia menjawab: “aku ingin mengunjungi saudaraku di daerah ini”. Malaikat bertanya: “apakah ada suatu keuntungan yang ingin engkau dapatkan darinya?”. Orang tadi mengatakan: “tidak ada, kecuali karena aku mencintainya karena Allah ‘Azza wa Jalla”. Maka malaikat mengatakan: “sesungguhnya aku diutus oleh Allah kepadamu untuk mengabarkan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya“ (HR Muslim no.2567).

Saling mengunjungi sesama Muslim sangat besar keutamaannya, lebih lagi jika yang dikunjungi adalah orang tua.

17. Jika ingin meminta sesuatu kepada mereka, mintalah dengan lemah lembut

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

لَا تُلْحِفُوا فِي الْمَسْأَلَةِ، فَوَاللهِ، لَا يَسْأَلُنِي أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا، فَتُخْرِجَ لَهُ مَسْأَلَتُهُ مِنِّي شَيْئًا، وَأَنَا لَهُ كَارِهٌ، فَيُبَارَكَ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتُهُ

“Jangan kalian memaksa jika meminta. Demi Allah, jika seseorang meminta kepadaku sesuatu, kemudian aku mengabulkan permintaannya tersebut dengan perasaan tidak senang, maka tidak ada keberkahan pada dirinya dan apa yang ia minta itu” (HR. Muslim no. 1038).

Meminta kepada orang lain dengan memaksa adalah akhlak yang buruk, lebih lagi jika yang diminta adalah orang tua.

18. Jika orang tua dan istri bertikai maka berlaku adillah

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Maidah: 8).

19. Bermusyarawahlah dengan mereka dalam urusan-urusanmu

Ajaklah orang tua untuk berdiskusi dalam masalah-masalahmu. Allah Ta’ala berfirman:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

“Bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan-urusanmu” (QS. Al Imran: 159).

20. Berziarah kubur mereka dan sering-sering doakan mereka

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا

“Dulu aku pernah melarang kalian untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wabillahi at taufiiq was sadaad.

Penyusun:
Yulian Purnama, S.Kom. Hafizhahullah

Disarikan dari kitab Fiqhu at Ta’amul Ma’al Walidain, karya Syaikh Musthafa Al ‘Adawi dan Kaifa Nurabbi Auladana karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/47133-beberapa-bentuk-bakti-kepada-orang-tua.html

Memaknai Keajaiban Ilahiyah

Sejatinya, alam semesta ini diciptakan Allah SWT penuh keajaiban.

Sejatinya, alam semesta ini diciptakan Allah SWT penuh keajaiban. Begitu pun pada setiap makhluk yang ada di dalamnya, baik manusia, hewan, tumbuhan, maupun malaikat dan jin. Sungguh, Dia Mahakuasa dan jika menghendaki sesuatu cukup berkata, “jadilah maka jadilah ia.” (QS Yasin[35]:82). 

Ujung dari kekaguman kita atas keajaiban itu adalah ungkapan, “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Mahasuci Engkau, lindungi kami dari azab neraka.” (QS Ali Imran [3]:191).

Ketika mengkaji penciptaan Nabi Adam AS, tampaklah keajaiban luar biasa. Manusia pertama yang diciptakan dari tanah menjadi hamba yang sempurna walau tanpa ayah dan ibu (QS al-Hijr[15]:26).

Begitu juga Nabi Zakaria AS, ketika ia sudah lanjut usia dan istrinya mandul, tapi dikaruniai seorang anak bernama Yahya AS. Pun, Siti Maryam yang tak pernah disentuh seorang lelaki, tapi bisa melahirkan Isa AS. (QS Ali Imran [3]: 59). Keajaiban demi keajaiban diperlihatkan melalui mukjizat para nabi agar manusia tunduk kepada Allah SWT.

Nabi Muhammad SAW mengalami banyak keajaiban. Salah satunya adalah kejadian di luar batas pikiran manusia dan hukum alam semesta (sunnatullah), yakni isra dan mi’raj. “Maha Suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami…” (QS 17: 1).

Pakar Tafsir Alquran, Prof M Quraish Shihab dalam buku, “Membumikan Alquran” mengutip pandangan kaum empiris dan rasionalis yang membantah kebenarannya, karena tidak sesuai dengan hukum alam dan logika manusia. Sikap ini pun telah diperlihatkan oleh Abu Lahab semasa Nabi SAW masih hidup dahulu.

Lalu, beliau menegaskan, cara yang paling tepat untuk memahaminya hanya dengan pendekatan iman. Sikap ini pula yang ditunjukkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, yang berkata, “Apabila Muhammad yang memberitahukannya, pasti benarlah adanya.” 

Teringat tausiah almarhum KH Zainuddin MZ, dalam peristiwa Isra dan Mi’raj, Nabi SAW menembus tiga alam dalam waktu yang sangat singkat.

Pertama, alam syahadah (keduniaan), yakni dari Masjidil Haram (Makkah) ke Masjidil Aqsa (Palestina). Kedua, alam malakuut (kemalaikatan), yakni dari Masjidil Aqsa naik ke langit ketujuh. Ketiga, alam lahuut (ketuhanan), yakni dari langit ketujuh sampai Sidratul Muntaha. 

Keajaiban akan terus terjadi bagi orang beriman yang menempuh jalan-jalan kemuliaan. Siapa saja yang istiqamah berjuang dan berkorban menegakkan agama Allah, maka keajaiban itu akan menghampirinya. Kadang, ikhtiar kita hanya sejengkal atau sebutir, tetapi Allah SWT memberi semeter atau segudang bahkan berlipat ganda. (QS al-Baqarah [2]: 261). Itulah keajaiban dan keberkahan. 

Peringatan Isra Mi’raj kiranya tidak hanya mengulas kisah profetik semata. Namun, harus mampu memetik hikmah dan pelajaran yang sarat di dalamnya, lalu menghidupkan pada sikap, ucapan dan perbuatan. Itulah cara seorang Mukmin memaknai keajaiban ilahiyah.

Allahu a’lam bish-shawab.   

OLEH HASAN BASRI TANJUNG

REPUBLIKA.id