Save Palestine

Digital Apartheid Terhadap Palestina: Retorika dan Utopia Ruang Publik

Tulisan opini yang di tulis oleh Omar Zahzah (13/4/21) pad situs Al Jazeera dengan judul Digital Apartheid: Palestinians being silenced on social media, mengingatkan penulis kepada teori ruang publik yang bisa disediakan oleh media sosial.

Teori ruang publik sendiri dikemukan oleh Jurgen Habermas. Menurut Habermas, Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya orang-orang untuk berdikusi secara rasional. Ruang publik memiliki peranan yang besar dalam proses demokrasi, karena orang-orang yang ada di dalamnya bebas menyatakan argumen, sikap, opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik yang besar akan menjadi sarana untuk diseminasi dan pengaruh.

Merujuk pada tulisan Omar Zahzah di atas, Platform media sosial yang di-isi oleh akademisi untuk memperbincangkan argumen, sikap, opini, kepentingan dan kebutuhan mereka secara diskursif mengenai Palestina, mengalami nasib yang ironis. Secara sistematis platform tersebut menolak acara-acara, status, post dan menghapus dokumen yang berhubungan dengan diskursus yang membela Palestina atau bahkan sekedar kritis terhadap Israel.

Kejadian tersebut merupakan hal yang biasa dalam sebuah teori retorika. Secara teori, retorika terbagi menjadi metode retorika dan situasi retorika. Metode retorika adalah metode yang digunakan untuk memahami situasi retorika saat ini dan bagaimana retorika dapat bekerja lebih baik untuk esok (Safitri, 2015). Sedangkan situasi retorika adalah kondisi atau momentum yang dapat dimanfaatkan untuk mempopulerkan atau menjatuhkan sebuah gerakan (Snowball dalam Safitri, 2017). Apa yang dilakukan oleh para akademisi pro Palestina dan pemilik platform media sosial, dalam kacamata teori tersebut, sah sebagai sebuah metode retorika.

Para akademisi ingin memanfaatkan momen penembakan atas sejumlah rakyat sipil Palestina oleh Polisi Israel untuk mengingatkan dunia akan kekejian yang dilakukan pemerintahan Israel kepada warga Palestina pada Bulan suci Ramadhan. Para akademisi tersebut juga berupaya mengungkap bahwa kekejian ini bukan yang pertama dilakukan, sudah banyak kekejian yang dilakukan oleh tantara dan polisi Israel terhadap warga Palestina sebelumnya tanpa ada penyelesaian humanis yang menangani hal tersebut.

Di sisi yang lain, para pemilik Platform media sosial ingin menghentikan retorika tersebut berkembang di dalam platform mereka, karena mereka memiliki kuasa atas hal tersebut. Salah satu kuasa mereka adalah dengan menciptakan kondisi yang mendorong terjadinya spiral of silent, dimana mereka yang memiliki sudut pandang pembelaan terhadap Palestina akan merasa sebagai minoritas dan menarik diri dan diam karena komunikasi mereka dibatasi. Para pemilik platform media ini akan berfokus pada pengarusutamaan (mainstreaming) pandangan yang mereka setujui dan dukung sehingga seolah-olah menjadi pendapat mayoritas dan membuat pandangan yang berlawanan menjadi seolah-olah minoritas dan tidak terlibat lagi dalam mengkomunikasikan opini mereka yang menyebabkan munculnya spiral komunikasi yang bergerak ke bawah.

Teori spiral of silent ini tidak berlaku bagi kelompok atau individu masyarakat yang termasuk dalam kelompok avant garde dan hard core. Avant garde adalah orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka akan semakin kuat. Pada situasi sekarang, para akademisi pro Palestina adalah dapat diletakkan pada posisi avant garde yang akan terus menemukan jalan untuk menguatkan posisi mereka. Disamping itu mereka juga orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard core, yaitu mereka yang selalu menentang, apa pun konsekuensinya.

Oleh karena itu, walaupun ada usaha yang sistematis untuk memblokir dan membatasi ruang gerak para avant garde dan hard core di beberapa media sosial oleh beberapa para pemilik platform media sosial, akan ada platform media sosial lainnya yang akan menjadi tempat untuk melakukan retorika gerakan sosial yang diyakini kebenarannya. Walaupun ada usaha untuk melemahkan suara demokrasi mengenai Palestina melalui apa yang disebut sebagai digital Apartheid, akan selalu ada platfom media sosial baru yang digunakan untuk terus menyuarakannya oleh mereka para avant garde dan hard core pembela Palestina.

Meskipun para avant garde pro Palestina akan menemukan kanal baru, namun apa yang dilakukan oleh para pemilik platform media sosial tentu sangat mengkhawatirkan, terutama untuk perkembangan demokrasi secara global. Platform-platform media sosial berbasis internet yang tadinya dianggap sebagai ruang publik yang ideal, ternyata juga tidak bebas dari penyensoran sepihak. Habermas sendiri sudah mengingatkan akan kematian ruang publik ketika terjadi transisi dari kapitalisme liberal ke kapitalisme monopoli, persis seperti yang terjadi saat ini ketika ruang public digital sudah dimonopoli oleh platform seperti Facebook dan Google

Isu Palestina saat ini tentunya bukan yang pertama dan jelas bukan yang terakhir bagi penerapan digital apartheid, dengan kesadaran tersebut maka kita patut bertanya apakah ruang publik dalam definisi Habermas memang hanyalah utopia.

RETIZEN REPUBLIKA