Hadis: Larangan Mencela Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Hadis: Larangan Mencela Orang yang Sudah Meninggal Dunia

Teks hadis

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا قَدَّمُوا

Janganlah kalian mencela (menyebutkan kejelekan atau keburukan) orang yang sudah meninggal dunia, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka kerjakan.” (HR. Bukhari no. 1393)

Diriwayatkan dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَتُؤْذُوا الْأَحْيَاءَ

Janganlah kalian menghina mereka yang sudah mati, sehingga kalian menyakiti mereka yang masih hidup.” (HR. Tirmizi no. 1982, dinilai sahih oleh Al-Albani)

Terdapat beberapa faedah yang bisa diambil dari dua hadis di atas, di antaranya:

Faedah pertama

Hadis di atas berisi larangan mencela orang yang sudah meninggal dunia atau merendahkan kehormatannya. Hal ini karena kalimat larangan dalam hadis di atas, yaitu لَا تَسُبُّوا (Janganlah kalian mencela), menunjukkan hukum haram. Sebagaimana hal itu adalah hukum asal yang ditunjukkan oleh kalimat larangan. Sebagian ulama berdalil dengan hadis tersebut untuk melarang mencela orang yang sudah meninggal secara mutlak, baik muslim atau kafir, orang saleh maupun fasik, berdasarkan makna umum yang ditunjukkan oleh hadis, yaitu (الْأَمْوَات) (semua orang yang sudah meninggal dunia, siapapun mereka).

Sedangkan sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hadis tersebut bersifat khusus berkaitan dengan orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin. Karena termasuk dalam ibadah mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala adalah dengan mencela orang-orang kafir. Alasan yang lain, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “karena mereka telah sampai (mendapatkan) apa yang telah mereka kerjakan.” Hal ini adalah isyarat bahwa yang Rasulullah maksudkan adalah orang yang sudah meninggal dunia dari kalangan kaum muslimin.

Terdapat pendapat ketiga yang memberikan rincian dalam masalah ini. Yaitu, boleh menyebutkan kejelekan dan keburukan orang kafir yang sudah meninggal dunia, apabila hal itu tidak menyakiti kerabatnya yang muslim. Jika tidak ada kerabatnya yang muslim yang tersakiti, atau memang ketika di masa hidupnya orang kafir tersebut menyakiti kaum muslimin, maka tidak mengapa menyebutkan kejelekan-kejelekannya.

Adapun jika orang yang sudah meninggal tersebut adalah muslim, maka tidak boleh mencela atau menjatuhkan kehormatannya. Perbuatan ini termasuk dalam ghibah. Kecuali jika orang tersebut adalah orang fasik yang terdapat maslahat dengan menyebutkan kejelekannya. Dalam hal ini, diperbolehkan menyebutkan kejelekannya untuk memperingatkan kaum muslimin darinya. Bukan dengan maksud untuk mencela, akan tetapi agar kaum muslimin yang masih hidup mendapatkan peringatan tentang orang tersebut. Misalnya, para ulama sepakat tentang bolehnya mencela atau menyebutkan kejelekan perawi (misalnya perawi tersebut adalah seorang pendusta atau buruk hapalannya), baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Hal ini karena adanya maslahat untuk menjaga As-Sunnah. Jika tidak terdapat maslahat, maka wajib menjaga diri dari perbuatan tersebut.

Faedah kedua

Hadis di atas mengisyaratkan hikmah mengapa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu terlarang, yaitu:

Hikmah pertama, karena mereka telah mendapatkan balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan, baik berupa kebaikan ataupun keburukan. Sehingga tidak ada lagi manfaat mencela mereka. Tidak sebagaimana jika mereka masih hidup di dunia, bisa saja mereka mendapatkan manfaat. Hal ini karena bisa jadi mereka sadar atau introspeksi diri ketika mendapatkan kritikan atau celaan.

Hikmah kedua, karena mencela orang yang sudah meninggal dunia bisa menyakiti kerabatnya yang masih hidup, sebagaimana disebutkan dalam hadis Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Akan tetapi, tidak boleh dipahami bahwa boleh mencela apabila tidak ada kerabat yang tersakiti. Misalnya, ketika jenazah tersebut memang tidak memiliki kerabat atau ketika kerabatnya tidak mengetahui hal itu. Hal ini karena mencela orang yang sudah meninggal dunia itu karena adanya hikmah yang pertama. Apabila muncul efek kedua (menyakiti kerabat), maka perbuatan itu menjadi terlarang karena dua sisi.

Hikmah ketiga, bahwa mencela orang yang sudah meninggal dunia itu termasuk dalam ghibah yang terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang ghibah,

ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ

Ghibah adalah kamu menyebutkan kejelekan saudaramu mengenai yang dia tidak sukai (untuk didengarkan orang lain).” (HR. Muslim no. 2589)

Termasuk dalam hadis di atas adalah jika orang yang di-ghibah itu masih hidup atau sudah meninggal dunia. Imam Bukhari rahimahullah membuat satu judul bab dalam kitab Al-Adab Al-Mufrad (2: 202), “Melakukan ghibah terhadap orang yang sudah meninggal dunia.”

Ibnu Bathal rahimahullah berkata, “Mencela orang yang sudah meninggal dunia itu seperti melakukan ghibah terhadap orang yang masih hidup.” (Syarh Ibnu Bathal ‘ala Shahih Al-Bukhari, 3: 354)

Faedah ketiga

Terdapat dalam Shahih Bukhari, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

مَرُّوا بِجَنَازَةٍ، فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا خَيْرًا، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَجَبَتْ. ثُمَّ مَرُّوا بِأُخْرَى فَأَثْنَوْا عَلَيْهَا شَرًّا، فَقَالَ: وَجَبَتْ. فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: هَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ خَيْرًا، فَوَجَبَتْ لَهُ الجَنَّةُ، وَهَذَا أَثْنَيْتُمْ عَلَيْهِ شَرًّا، فَوَجَبَتْ لَهُ النَّارُ، أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللَّهِ فِي الأَرْضِ

Mereka (para sahabat) pernah melewati satu jenazah lalu mereka menyanjungnya dengan kebaikan. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Pasti baginya.’ Kemudian mereka melewati jenazah yang lain, lalu mereka menyebutnya dengan keburukan, maka beliau pun bersabda, ‘Pasti baginya.’

Kemudian Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu bertanya, ‘Apa yang dimaksud dengan pasti baginya?’

Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan, berarti dia masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi.’” (HR. Bukhari no. 1367)

Dalam hadis ini terdapat dalil bolehnya menyebutkan kebaikan ataupun keburukan orang yang sudah meninggal dunia ketika ada hajat (kebutuhan). Dan hal itu tidak termasuk dalam ghibah. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkari perbuatan tersebut. Atau bisa jadi orang yang mereka cela tersebut sudah terkenal dengan kefasikan atau kejelekannya sehingga dikhawatirkan ada kaum muslimin yang ikut-ikutan mencontohnya. Sehingga celaan tersebut termasuk dalam peringatan kepada kaum muslimin yang masih hidup. Wallahu Ta’ala a’lam.

***

@Rumah Kasongan, 28 Ramadan 1444/ 19 April 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Bulughil Maram (4: 385-387).

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84518-hadis-larangan-mencela-orang-yang-sudah-meninggal-dunia.html