Hadits Ghadir Khum dalam Pandangan Sunni

Oleh: Zahrul Bawady M. Daud

Membahas masalah imamah/khalifah (khususnya khulafaur rasyidin) serta pertentangan antara Sunni dan Syiah, pada akarnya akan membawa kita kepada satu peristiwa terkenal yang disebut dengan Ghadir Khum (غدير خم), sebuah lembah antara Makkah dan Madinah. Peristiwa ini semakin populer karena landasan imamah yang dikenal dalam konsep akidah Syiah ada di sini. Meski sebagian kalangan Sunni tidak terlalu familiar dengan peristiwa tersebut, kecuali mereka yang memfokuskan diri kepada hadits dan sejarah.

Keotentikan Hadits

Dalam literatur Islam hadits Ghadir Khum ini berbunyi من كنت مولاه فعلي مولاه. Sementara hadits ini memiliki jalur periwayatan yang cukup banyak. Hadits ini diriwayatkan di dalam Musnad Imam Ahmad 2/71 nomor 641. Di dalam Musnad Ahmad, Hadits ini masuk kategori Shahih Lighairih, karena memiliki sanad yang shahih dari jalur periwayatan lain yang mencapai 30 sahabat. Imam Dzahabi di dalam Siyar A’lam Nubala menyebut matan hadits ini mutawatir (8/335)

Hadits tersebut juga diriwayatkan di dalam Mustadrak Hakim 3/109-110 yang mengambil jalur Imam Ahmad dari Zaid bin Arqam. Hadits ini malah disebut shahih atas syarat Imam Bukhari dan Muslim.I mam Dzahabi di dalam Mukhtashar Istidrak Dzahabi Ala Mustadrak Hakim menyebut bahwa hadits ini memiliki 12 jalur periwayatan.Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Turmudzy dalam Sunan 10/214, Nasai dalam Khashaish, hal. 96, Imam Bazzar dalam Musnad 3/189, Ibn Hibban dalah Shahih Ibn Hiban nomor 2205 dan jalur periwayatan lain sebagaimana tertera di dalam kitab-kitab hadits.

Maka tidak ada keraguan tentang keotentikan hadits ini sebagaimana telah dijelaskan oleh berbagai ulama lintas zaman. Walaupun sanad pada beberapa jalur periwayatan dianggap memiliki cacat akan tetapi memiliki penopang melalui riwayat lain.

Amat penting bagi kita untuk melihat keotentikan hadits sebelum membahas pemaknaannya. Karena distorsi hadits tidak hanya terjadi pada sanad (jalur riwayat), akan tetapi matan. Adakalanya matan (subtansi) isinya benar, namun itu ternyata bukan hadits nabi. Pembahasan ini tentu akan lebih banyak kita dapati ketika kita membahas sebab dan sejarah hadits palsu di dalam Islam.

Pemahaman Hadits Versi Syiah

Hadits Ghadir Khum ini sangat populer di kalangan Syiah sebagai dalil keabsahan Ali Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah sepeninggal Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampai sampai seorang ulama kontemporer, Abdul Hasan Umainy dari Syiah mengarang sebuah kitab berjudul Al Ghadir fil Kitab wa Sunnah wal Adab dalam enam jilid.

Di Ghadir Khum ini menurut versi Syiah, nabi menyampaikan salah satu risalah wahyu sesuai yang diamanahkan oleh Allah dalam Surah Al Maidah :67. Menurut kalangan Syiah, ayat ini turun setelah nabi menyebutkan hadits di atas.

Lebih lanjut, Al Majlisi dalam Bihar Anwar juga mengomentari hadits Ghadir dimana ketika itu kaum muslimin berkumpul dan nabi bersabda, “Wahai manusia, bukankah aku lebih utama bagi seorang mukmin daripadanya dirinya sendiri? Lalu mereka menjawab, benar. Kemudian nabi melanjutkan, من كنت مولاه فعلي مولاه.

Dan menurut mereka, setelah Allah menurunkan wahyu terakhir (Alyauma akmaltu lakum..), maka rasul mengatakan Maha besar Allah yang telah menyempurnakan agama dan memilih Ali sebagai pemimpin setelahku. (Ghadir… 1/11).

Thibrisy di dalam A’lam Wara halaman 169-170 memberikan asbab wurud (sebab turunnya)hadits ini yang tak lain dan tak bukan adalah imamah Imam Ali sepeninggal nabi, karena tidak mungkin memberikan makna kenabian, maka yang paling tepat adalah imam. Walaupun ada sebagian kalangan Syiah yang menganggap Ali sederajat dengan Nabi.

Dalam konsep Syiah, hadits Ghadir ini tak pelak menjadi pegangan utama mereka dalam memberikan hak khilafah “wajib” kepada Imam Ali. Karena menurut mereka sangat jelas sabda nabi yang mengatakan bahwa siapa yang menganggap aku sebagai maulah (pemimpinnya-versi Syiah-), maka Imam Ali adalah pemimpinnya.

Kepemimpinan Imam Ali sepeninggal nabi dan keturunannnya menurut Syiah tidak boleh diingkari dan menjadi hak utama. Di dalam Abhal Madad Fi Syarah Ulama Baghdad:116 disebutkan wajibnya hak-hak tersebut ditunaikan dan menjadi akidah umat Islam.

Pemahaman Sunni Pada Tafsir Ayat dan Hadits

Haris Suhaimi di dalam Tautsiq Sunnah Baina Syiah wa Ahli Sunnah menyebutkan bahwa pengakuan bahwa kedua ayat tersebut tersebut turun di Ghadir sangat bertentangan dengan konteks ayat tersebut secara keseluruhan. Dalam pemahaman ahli tafsir Terutama pada surat Al Maidah:67 dimana melihat kenyataan bahwa ayat sebelumnya semua ditujukan untuk mencela ahlul kitab dan menjelaskan keingkaran mereka. Al Thabariy mengatakan bahwa ayat ini turun untuk memerintahkan nabi mendakwahi ahlul kitab yang disebutkan oleh ayat sebelumnya (Jami’ Al Bayan 6/307 ).

Sedangkan ayat “Al yauma akmaltu lakum…” itu turun di Arafah, ini juga diakui oleh seorang yang dianggap muhaddits dalam kalangan Syiah, Syaikh Kulaini di dalam Ushul Kafy. Demikian juga dikuatkan oleh Thabary yang mengatakan ayat ini turun hari Jumat pada hari Arafah, tepatnya ketika haji Wada’. Walaupun demikian, ada beberapa Ahli Tafsir mencoba menggabung beberapa periwayatan asbab nuzul hadits ini, diantaranya Al Alusy di dalam Ruhul Ma’any.

Kembali ke hadits Ghadir Khum. Kata “maulah” yang terkandung di dalam hadits tersebut tidak kurang mengandung 23 makna menurut Ibnu Mandhur di dalam Lisanul Arab. Dan kita harus melihat konteks hadits tersebut untuk memastikan makna mana yang dimaksud .Setelah diteliti oleh ulama Sunni, makna yang paling tepat adalah makna mahabbah (kecintaan). Karena setelah kata kata فعلىي مولاه disambung dengan sabda nabi اللهم وال من والاه و عاد من عاداه (Sanyangilah orang yang menyayanginya dan bencilah orang yang yang membencinya).

Ini jika kita teliti melihat konteks hadits tersebut. Apabila kita maknakan secara makna khalifah atau pemimpin, maka penggalan hadits ini setelahnya akan sangat paradoks dan tidak berdasar.

Haidar Ali dalam Tahqiq Haula Nushsush Imamah menjelaskan kelemahan makna pemimpin dalam maksud hadits akibat hadits tersebut tidak diikat dengan kata kata بعدى (setelahku). Katakanlah jika yang dimaksud di sini mungkin benar bermakna pemimpin, maka ketika itu akan terdapat dua kepemimpinan, yaitu kepemimpinan Nabi dan Imam Ali, dan tentu kita tidak ada yang sepakat dalam hal ini.

Di dalam I’tiqad Ala Madzhab Ahlus Sunnah wa Al Jama’ah: 205 Imam Baihaqi menuturkan sebuah riwayat. Ketika Hasan bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib ditanyakan kepadanya, Bukankan Nabi Muhammad telah mengatakan من كنت مولاه فعلي مولاه, lantas Imam Hasan menjawab, sekiranya yang dimaksud oleh Nabi adalah pemimpin, maka Nabi akan menjelaskannya secara lebih terperinci, sebagaimana dijelaskannya perkara wajibnya shalat, puasa dan zakat.

Salah satu bukti nyata bahwa hadits Ghadir ini tidak mengandung makna khalifah adalah ketika terjadi Musyawarah Bani Tsaqifah yang pada akhirnya membaiat Abu Bakar sebagai Khulafaur Rasyidin pertama, tidak ada seorang pun sahabat yang menggunakan dalil ini untuk mengangkat Imam Ali. Padahal peristiwa Ghadir Khum dan wafatnya Nabi hanya sekitar 70 hari saja dalam catatan sejarah. Padahal, sahabat ini sangat memahami hadits ini dengan baik, lagipun mereka tak akan bersepakat di dalam kesesatan.

Efek Perbedaan Tafsir

Perbedaan tafsir dan pemaknaan baik dari Ayat maupun hadits membawa efek besar dalam akidah di kemudian hari. Inilah sebabnya perpecahan itu terkadang tidak dapat disatukan. Lazimnya perkataan Syaikh Ali Al Shabuni yang berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu.

Mulanya dalam hemat penulis, pandangan Syiah melaknat bahkan mengkafirkan sahabat hanyalah klaim sepihak dari anti-Syiah saja.Akan tetapi setelah adanya referensi dan telaah yang sedikit mendalam, akhirnya kita temukan bahwa fenomena tersebut tidak hanya asal tuduh, namun dibuktikan di dalam kitab-kitab karya ulama Syiah sendiri.

Al Bahrany di dalam Syihabun Tsaqib:172 yang dianggap muhadits Syiah bahkan menganggap bahwa khalifah sebelum Imam Ali adalah pencuri. Lebih jauh, Nurullah Tustury di dalam Shawarim Al Muhriqah:5 menyebut khalifah yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Usman) sebagai orang yang melahirkan permusuhan dan kedhaliman.

Di dalam sebuah kitab yang amat terkenal, Syarah Ushul Kafy karya Maula Muhammad Shalih 5/112 disebutkan bahwa “khalifah adalah hak ahlul bait, kemudian datang sekelompok pencuri yang akal dan daging mereka berkembang dalam menyembah patung.” Dalil -dalil penghinaan terhadap sahabat oleh Syiah juga dapat kita temukan di banyak referensi Syiah, seperti Tanzih Anbiya oleh Syarih Murtadha, Syafi, Al Arba’in, karya Muhammad Thahir Al Qamy yang menyebut propaganda Bani Tsaqifah untuk merebut hak Imam Ali. Bahkan Muhammad Baqir Al Majlisi di dalam Haqqul Yaqin:367 menyebut Abu Bakar dan Umar layaknya Fir’un dan Hamman. Na’udzubillah.

Lebih jauh, Jamil Hamud di dalam Fawaid Bahiyah Fi Syarh Akidah Imamiah menyebut bahwa Imamiah adalah bagian dari ushuluddin, serta wajibnya menyerahkan kekhalifahan kepada Imam Ali dan Ahl Bait jika ingin keselamatan iman.

Kita, tidak menolak hadits Ghadir Khum, sebagaimana kita tidak menolak untuk mencintai ahlul bait. Tetapi sebagai ummat Islam, kita harus menolak segala penyimpangan dan distorsi sejarah yang berkembang.Wallahu A’lam.
*Alumni Dayah Bustanul Ulum Langsa, Santri Al Azhar Kairo

 

 

sumber: Hidayatulah