Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 2)

Baca pembahasan sebelumnya Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 1)

Haram Adopsi Anak Ala Jahiliyyah

Dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا، وَلَا عَدْلًا

“Siapa saja yang mengaku sebagai anak kepada selain bapaknya atau menisbatkan dirinya kepada yang bukan walinya, maka baginya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan menerima darinya ibadah yang wajib maupun yang sunnah.” (HR Muslim no. 3314 dan 3373)

Diriwayatkan dari sahabat Sa’ad bin Abu Waqqash, beliau berkata, “Kedua telingaku mendengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

مَنِ ادَّعَى أَبًا فِي الْإِسْلَامِ غَيْرَ أَبِيهِ، يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ، فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

“Barangsiapa dalam Islam mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal dia bukan bapaknya, dan dia juga mengetahui bahwa dia bukan bapaknya, maka surga menjadi haram baginya.” (HR. Bukhari no. 6766 dan Muslim no. 63. Lafadz hadits ini milik Muslim.)

Juga terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا ليْسَ لَهُ فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya, padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia telah kafir. Barangsiapa mengaku sesuatu yang bukan miliknya, maka ia bukan dari golongan kami, dan hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka.” (HR. Muslim no. 61)

Berkaitan dengan lafadz hadits di atas “maka dia telah kafir”, maka terdapat dua penjelasan ulama berkaitan dengan masalah ini. Hal ini mengingat bahwa mengklaim orang lain sebagai bapaknya adalah perbuatan maksiat, bukan perbuatan kekafiran. 

Penjelasan pertama, maksud dari “dia telah kafir” adalah benar-benar kafir, namun ini khusus bagi mereka yang menganggap halal perbuatan tersebut. Kaidah umum dalam masalah ini adalah perbuatan maksiat, akan tetap bernilai maksiat, selama pelakunya meyakini bahwa itu maksiat atau perbuatan dosa. Hal itu ditandai dengan adanya perasaan bersalah dari diri pelakunya. Adapun jika seseorang menganggap bahwa sah-sah saja melakukan perbuatan maksiat, atau meyakini bahwa itu adalah bagian dari hak asasi manusia (sehingga boleh-boleh saja melakukannya), maksiat tersebut berubah menjadi perbuatan kekafiran.

Penjelasan ke dua, yang dimaksud “dia telah kafir” adalah kufur nikmat, bukan kafir yang mengeluarkan pelakunya dari Islam. Hal ini karena dia telah menutupi jasa dan kebaikan ayah kandungnya sendiri yang memiliki peran lahirnya dia ke dunia, bukan ayah angkatnya tersebut. Karena anak tersebut tidak mengakui ayahnya sendiri. 

Kalau kita memaknai hadits di atas dengan penjelasan ke dua (yaitu kufur nikmat), maka ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para perempuan. 

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَأُرِيتُ النَّارَ، فَلَمْ أَرَ مَنْظَرًا كَاليَوْمِ قَطُّ أَفْظَعَ، وَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ

“Diperlihatkan kepadaku neraka, dan aku tidaklah melihat pemandangan yang lebih mengerikan pada hari itu. Aku melihat mayoritas penghuninya adalah para wanita.”

Para sahabat mengatakan, “Wahai Rasulullah, apa sebabnya?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,

بِكُفْرِهِنَّ

“Dengan sebab kekafirannya.”

Para sahabat bertanya lagi, “Karena kekafiran mereka terhadap Allah?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ كُلَّهُ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

“Karena mereka mengingkari (kebaikan) suami, mereka mengingkari kebaikan (orang lain). Jika Engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka bertahun-tahun lamanya, kemudian mereka melihat darimu sesuatu (satu kesalahan), maka mereka mengatakan, ‘Tidaklah aku melihat satu kebaikan pun darimu sama sekali.’” (HR. Bukhari no. 1052 dan Muslim no. 907)

Dalam hadits di atas, maksud dari perempuan melakukan kekafiran adalah karena mengingkari atau menutupi kebaikan suaminya.

Baca Juga:

Menisbatkan pada Kakek atau Buyutnya

Diperbolehkan bagi seseorang untuk menisbatkan diri kepada kakek atau buyutnya tanpa ada maksud mengingkari ayah kandungnya. 

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah mengatakan,

“Jika seseorang menasabkan dirinya kepada kakeknya, buyutnya, dan seterusnya ke atas yang terkenal, tanpa mengingkari ayah kandungnya sendiri, maka hal ini tidak mengapa. Hal ini sebagaimana perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أنا ابن عبد المطلب أنا النبي ولا كذب

“Aku adalah anak ‘Abdul Muththalib, aku adalah seorang nabi, dan itu bukan suatu kedustaan.” [1]

Padahal nama beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Abdil-Muththalib. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini pada perang Hunain, karena kakeknya (yaitu ‘Abdul Muththalib, pen.) lebih dikenal oleh kaum Quraisy dan lebih berpengaruh di hadapan mereka daripada ayahnya (yaitu ‘Abdullah, pen.).” (Syarh Riyadhus Shalihin, 1: 2173)

Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulan, hadits-hadits di atas menunjukkan haramnya adopsi anak, bahkan adopsi anak termasuk perbuatan dosa besar. Karena anak yang diadopsi, dan dia tahu bahwa ayahnya itu sekedar ayah angkat, namun dia berkeyakinan bahwa dia betul-betul sebagai ayahnya, karena diperkuat pengadilan manusia (baca: akte lahir) bahwa anak ini adalah anaknya dan orang itu adalah ayahnya, maka anak tersebut telah terjerumus ke dalam maksiat. Demikian pula bagi sang ayah angkat.

Oleh karena itu, kami nasihatkan kepada diri sendiri dan juga kepada para pembaca untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam masalah ini. Bisa jadi, ketika Allah Ta’ala tidak mengkaruniakan anak kepada sebagian kita, hal itu karena Allah Ta’ala hendak menjauhkan kita dari keburukan. Di sisi lain, Allah Ta’ala hendak menguji kita untuk tetap menerima takdir dan hikmah Allah Ta’ala. 

Namun, perlu dicatat bahwa haramnya adopsi bukan berarti kita bersikap acuh dan cuek dengan anak-anak yatim atau anak terlantar. Kewajiban kita dan juga pemerintah kaum muslimin adalah memelihara, mendidik, dan mengurusi mereka agar tidak terlantar, sehingga pada akhirnya akan mendorong anak-anak tersebut untuk berbuat tidak baik atau bahkan berbuat kriminal. Juga mendidik anak-anak yatim dan terlantar tersebut dengan pendidikan Islam yang benar, sehingga mereka mengenal agamanya. Bahkan, amal ini adalah amal yang mulia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَنَا وَكَافِلُ اليَتِيمِ فِي الجَنَّةِ هَكَذَا وَقَالَ بِإِصْبَعَيْهِ السَّبَّابَةِ وَالوُسْطَى

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini.” Beliau mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah.” (HR. Bukhari no. 6005)

Akan tetapi, hal itu (mengurus anak yatim) tidak boleh sampai melampaui batas sehingga terjatuh dalam hal-hal yang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan. 

[Selesai]

***

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52465-hukum-adopsi-anak-dalam-islam-bag-2.html