Hukum Adopsi Anak dalam Islam (Bag. 1)

Sebagian pasangan suami istri, terutama ketika tidak memiliki keturunan, mereka akan mengambil anak untuk diadopsi. Anak tersebut akan diakui (diklaim) sebagai anaknya, dan sebaliknya, sang anak pun akan mengakui pasangan suami istri tersebut sebagai ayah atau ibunya. Lebih jauh dari itu, bisa jadi suami istri tersebut kemudian membuatkan akta kelahiran bagi sang anak hasil adopsi, dan dicatatkan bahwa anak hasil adopsi tersebut adalah anak kandungnya. Kemudian anak adopsi tersebut dianggap setara dengan anak kandung dari sisi mahram [1] ataupun hak mendapatkan warisan.

Adopsi Anak Budaya Jahiliyyah?

Adopsi anak termasuk di antara adat atau tradisi jahiliyah. Orang-orang jahiliyah dahulu biasa mengadopsi anak, kemudian anak angkat tersebut dianggap sebagaimana anak kandung. Anak angkat tersebut dinasabkan (di-“bin”-kan) kepada bapak angkatnya, tidak dinasabkan kepada bapak kandungnya. Juga dianggap sebagai mahramnya. Misalnya, istri dari anak angkatnya itu tidak boleh dinikahi oleh ayah angkatnya. Dalam masalah warisan, anak angkat juga berhak mendapatkan warisan. 

Inilah di antara tradisi jahiliyah. Ketika mereka melihat ada seorang anak yang secara fisik membuat mereka tertarik, mereka pun mengklaimnya sebagai anak dan dinasabkan kepada mereka (bapak angkat). Tradisi ini pun pernah dijalani oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak angkatnya setelah beliau  shallallahu ‘alaihi wa sallam memerdekakannya dari perbudakan. Setelah diangkat sebagai anak, Zaid pun menyebut dirinya dengan “Zaid bin Muhammad”.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

لقد كانوا -أيها الإخوة- يدعون الإنسان لمن تبناه، فيأتي إنسان يتبنى شخصاً له أب معروف، فيلغي اسم أبيه، وينسبه إلى نفسه، أو له أب غير معروف فيعطيه اسماً يضيفه إليه، وينسبه إلى نفسه

“Wahai saudaraku, sungguh mereka dahulu memanggil seseorang dengan nama ayah angkatnya. Ada seseorang yang mengangkat orang lain sebagai anak angkatnya, anak itu memiliki ayah kandung yang sudah dikenal. Kemudian (setelah dijadikan sebagai anak angkat), dia tutupi (hilangkan) nama ayah kandungnya, dan dia nasabkan kepada dirinya sendiri. Atau anak itu tidak diketahui siapa ayah kandungnya, kemudian dia beri nama yang dia sandarkan kepada dirinya dan dia nasabkan kepada dirinya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

Islam Berlepas Diri dari Tradisi Jahiliyyah

Tradisi jahiliyah itu pun kemudian dihapus dalam syariat Islam. Berikut penjelasan dari Al Qur’an dan Sunnah:

Menasabkan Anak Angkat pada Bapak Angkat

Allah Ta’ala dengan menurunkan ayat,

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ؛ ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا 

“Dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah. Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu (hamba sahayamu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab [33]: 4-5)

Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala melarang seorang anak angkat dipanggil (dinasabkan) kepada ayah angkat mereka. Dan sungguh karena keimanan Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan setelah turunnya ayat ini, “Saya (bernama) Zaid bin Haritsah.” Beliau radhiyallahu ‘anhu tidak lagi menyebut dirinya dengan Zaid bin Muhammad. Hal ini menunjukkan tingginya iman para sahabat, sehingga mudah bagi mereka untuk bersegera melaksanakan perintah Allah Ta’ala.

‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ زَيْدَ بْنَ حَارِثَةَ، مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا كُنَّا نَدْعُوهُ إِلَّا زَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ حَتَّى نَزَلَ القُرْآنُ، {ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ}

“Sesungguhnya Zaid bin Haritsah, budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dulu, tidaklah kami memanggilnya kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad, sampai turun Al-Qur’an (yang artinya), “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil pada sisi Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 5).” (HR. Bukhari no. 4782)

Menikahi Mantan Istri dari Anak Angkat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, setelah diceraikan oleh Zaid bin Haritsah

Menegaskan dihapusnya tradisi jahiliyah tersebut, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahi Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha. Zainab adalah mantan istri Zaid bin Haritsah. Di masa jahiliyah, menikahi mantan istri anak angkat adalah hal yang tabu (terlarang), karena sekali lagi, anak angkat dianggap sebagai anak kandung sendiri. 

Kisah menikahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Zainab ini tercantum dalam firman Allah Ta’ala,

فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا لِكَيْ لَا يَكُونَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ حَرَجٌ فِي أَزْوَاجِ أَدْعِيَائِهِمْ إِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًا وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ مَفْعُولًا

“Maka tatkala Zaid [2] telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia (Zainab), supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) istri-istri dari anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (QS. Al-Ahzab [33]: 37) [3]

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid berkata,

وتزوج النبي صلى الله عليه وسلم زينب زوجة زيد ، وكان من أكبر العيوب في الجاهلية، أن يتزوج الإنسان زوجة ابنه بالتبني، فكان تحطيمها بتزويج زينب للنبي عليه الصلاة والسلام، لإزالة تلك العادة الجاهلية، ونسخ ذلك

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Zainab, (mantan) istri Zaid (bin Haritsah). Pernikahan semacam itu termasuk aib besar dalam tradisi jahiliyyah, yaitu seseorang menikahi istri dari anak angkatnya. Beliau menghapus tradisi itu dengan menikahi Zainab, untuk menghilangkan adat kebiasaan jahiliyah tersebut dan menghapusnya.” (Duruus li Syaikh Muhammad Al-Munajjid, 3: 184 [Maktabah Syamilah])

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/52453-hukum-adopsi-anak-dalam-islam-bag-1.html