Hukum Fiqh Seputar Shalat Tahiyyatul Masjid (Bag. 2)

Melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu larangan

Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimanakah status hukum melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarangnya shalat. Misalnya, seseorang masuk masjid setelah shalat subuh atau setelah shalat ashar. Terdapat dua pendapat ulama dalam masalah ini.

Pertama, tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarang. Inilah pendapat dalam madzhab Syafi’iyyah, salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali, dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim rahimahumallah.

Ke dua, tidak disyariatkan melaksanakannya di waktu terlarangnya shalat. Inilah yang dipilih oleh madzhab Hanafiyyah, Malikiyyah, dan salah satu riwayat dalam madzhab Hanbali.

Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah karena pertentangan antara dua makna umum yang terdapat dalam hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini.

Abu Qatadah As-Sulami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ

“Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka’at sebelum duduk.” (HR. Bukhari no. 444 dan Muslim no. 714)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat tahiyyatul masjid setiap kali memasuki masjid, tanpa ada rincian. Sehingga dipahami secara umum, yaitu baik memasuki masjid di waktu terlarangnya shalat, ataukah tidak.

Makna umum dalam hadits di atas, tampaknya bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yangd diriwayatkan dari sahabat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu,

لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

“Tidak ada shalat setelah subuh hingga matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah ‘ashar hingga matahari menghilang.” (HR. Bukhari no. 586 dan Muslim no. 827)

Hadits ke dua di atas juga mengandung makna umum, yaitu larangan untuk melaksanakan shalat apa saja, termasuk di dalamnya yaitu shalat tahiyyatul masjid, di dua waktu terlarangnya shalat tersebut (setelah subuh dan setelah ‘ashar).

Ulama yang berpendapat bahwa shalat tahiyyatul masjid tetap disyariatkan, mereka mengatakan bahwa shalat tahiyyatul masjid itu dikecualikan dari makna umum larangan hadits ke dua di atas. Oleh karena itu, jika seseorang masuk masjid setelah subuh atau ‘ashar, tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid.

Pendapat pertama di atas didukung oleh dalil-dalil lain yang menunjukkan bahwa hadits ke dua di atas juga banyak mendapatkan pengecualian.

Pengecualian pertama, yaitu melaksanakan shalat qadha’ di waktu terlarang. Misalnya, seseorang lupa shalat dzuhur, dan baru ingat setelah ‘ashar. Maka tetap disyariatkan untuk meng-qadha’ shalat dzuhur yang terlewat tersebut setelah shalat ‘ashar. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ {وَأَقِمِ الصَّلاَةَ لِذِكْرِي}

“Barangsiapa lupa suatu shalat, maka hendaklah dia melaksanakannya ketika dia ingat. Karena tidak ada tebusannya kecuali itu. Allah berfirman, “(Dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku).” (QS. Thaahaa: 14)” (HR. Bukhari no. 597 dan Muslim no. 684)

Pengecualian ke dua, yaitu mengulangi shalat jama’ah di waktu terlarang. Diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku shalat subuh bersamanya di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melakasanakan shalat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut shalat berjamaah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda,

عَلَيَّ بِهِمَا

“Bawalah dua orang itu kemari!”

Maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi sedang urat mereka bergetar. Beliau bersabda,

مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا

“Apa yang menghalangi kalian untuk shalat bersama kami?”

Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami telah shalat (subuh) di tempat kami.”

Beliau bersabda,

فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Janganlah kalian lakukan. Jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan shalat berjamaah, maka shalatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala sunnah bagi kalian berdua.” (HR. Abu Dawud no. 575, Tirmidzi no. 219, dan lain-lain, hadits shahih)

Hadits ini tegas menunjukkan bolehnya mengulang jamaah bagi orang-orang yang datang ke masjid setelah mendirikan shalat subuh dan mendapati di masjid tersebut sedang dilaksanakan shalat jamaah subuh. Padahal, pada asalnya, waktu tersebut adalah waktu terlarangnya shalat untuk orang tersebut (karena sebelumnya sudah shalat subuh).

Pengecualian ke tiga, yaitu shalat dua raka’at setelah thawaf. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jubair bin Muth’im radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ، لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ

“Wahai Bani Abdi Manaf, janganlah kalian mencegah seorang pun yang thawaf di ka’bah ini, dan siapa pun yang shalat kapan pun waktunya, baik waktu siang dan malam yang dia kehendaki.” (HR. Tirmidzi no. 868, An-Nasa’i no. 585, hadits shahih)

Hadits-hadits di atas memberikan pengecualian bagi hadits larangan shalat di waktu-waktu tertentu, sebagaimana dalam riwayat Abu Sa’id Al-Khudhri radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat tahiyyatul masjid bagi siapa pun yang masuk masjid di waktu kapan pun, tidak mendapatkan pengecualian. Dan kaidah dalam ilmu ushul fiqh pun mengatakan bahwa hadits (dalil) umum yang tidak mendapatkan pengecualian itu lebih didahulukan daripada hadits atau dalil umum yang telah mendapatkan pengecualian.

Sehingga larangan shalat di waktu-waktu tertentu tersebut dimaknai sebagai larangan untuk mendirikan shalat sunnah mutlak. Yang dimaksud dengan shalat sunnah mutlak adalah seseorang melaksanakan shalat sunnah tanpa sebab tertentu, semata-mata ingin shalat. Adapun shalat sunnah karena sebab tertentu (disebut shalat dzawaatul asbaab), seperti shalat tahiyyatul masjid (disebabkan karena masuk masjid), shalat sunnah thawaf (disebabkan karena selesai thawaf), maka tidak termasuk dalam larangan di atas.

Sebagai kesimpulan, pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, yaitu tetap disyariatkan melaksanakan shalat tahiyyatul masjid di waktu terlarang. Wallahu Ta’ala a’lam. [1]

[Bersambung]

***

Penulis: M. Saifudin Hakim

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/50992-hukum-fiqh-seputar-shalat-tahiyyatul-masjid-bag-2.html