Hukum Menanyakan Ibadah Orang Lain Menurut Al-Ghazali

Sebagai makhluk sosial, melakukan interaksi sosial antar sesama manusia adalah hal yang wajar. Mulai dari sekedar mengobrol dan berdialog ringan sampai terjadinya akad atau transaksi dagang semisal. Hal tersebut adalah bentuk keseharian kehidupan manusia. Tapi bagaimana hukum menanyakan ibadah orang lain?

Sangat sedikit sekali atau bahkan tidak ada, manusia yang tidak berinteraksi dengan manusia lain, walau hanya sekedar membeli kebutuhan pokok. Itupun musti terjadi dialog atau obrolan. Mengobrol adalah kebutuhan tak tertulis bagi kehidupan manusia.

Namun, jika ditelisik, obrolan-obrolan yang terjadi tersebut  justru terkadang menyentuh hal-hal yang sifatnya fundamental, pokok bagi kehidupan orang lain. Sesuatu yang seharusnya tidak ditanyakan. Menanyakan perihal ibadah orang lain, semisal. Hal ini, saya yakin banyak terjadi di kalangan umat Islam. Sesuatu yang harusnya hanya menjadi rahasia bagi seorang hamba dan Tuhannya.

Misal hari itu adalah hari senin. Karena dilihatnya temannya tidak makan ketika yang lain makan ia berkata: “Apakah kamu berpuasa?”. Pertanyaan yang kelihatan sepele sekilas. Namun jika diteliti dampaknya kurang baik bagi orang yang ditanya.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulum Ad-Din dalam bagian “Rubu’ Al-Muhlikat”, (hal-hal yang menghancurkan; red) dalam bab dampak negatif lisan mengatakan demikian:

Diantara bagian dari hal yang membuang-buang waktu ialah ketika engkau menanyakan kepada temanmu sesuatu yang tidak berfaidah sama sekali. Karena engkau dengan pertanya’an tersebut telah membuang-buang waktumu. Dan engkau juga membuat temanmu membuang-buang waktunya. Hal inipun terjadi jika sesuatu yang ditanyakan itu tidak memiliki dampak negatif. Permasalahannya kebanyakan pertanyaan menyimpan dampak negatif di dalamnya.” (Ihya Ulum Ad-Din Jilid 5 Cet Daar Al-Minhaj, Jeddah, 2011, Rubu’ Al-Muhlikat, hal 408)

Ada 4 kemungkinan yang terjadi jika seseorang menanyakan ibadah orang lain menurut Al-Ghazali:

Pertama, jika pertanyaan tersebut dijawab dengan jujur. Semisal engkau bertanya pada temanmu: “Apakah engkau tengah berpuasa?”. Pertanyaan tersebut, jika ia menjawabnya dengan: “iya, saya sedang berpuasa”, maka ia telah menampakkan ibadahnya. Dan konsekuensinya riya akan masuk ke dalam dirinya. Dan jikapun tidak, maka ibadahnya telah keluar dari ruang lingkup “rahasia”, sedang ibadah yang dilakukan secara rahasia itu lebih baik dari ibadah yang dilakukan secara terang-terangan atau diketahui oleh orang lain.

Kedua, jika pertanyaan tersebut dijawab dengan “tidak”, maka otomatis ia telah melakukan kebohongan karena pertanyaan tersebut. Dan engkau sebagai penanya membuatnya melakukan kebohongan.

Ketiga, jika hanya diam dan tidak menjawabnya, maka ia akan mengira ia telah menghinakan dan menyakiti orang yang bertanya kepadanya.

Keempat, jika membuat “hilah”, reka daya dengan mengalihkan pembicaraan, semisal. Jika pun bisa maka untuk melakukannya ia akan kesulitan mencari dan apalagi melakukannya.

Pertanyaan-pertanyaan perihal ibadah seseorang tersebut secara tidak langsung menempatkannya pada situasi sulit di mana ia tidak bisa mengelak dari 4 keadaan di atas: riya, berbohong, menghina ataupun kepayahan dengan melakukan hilah, reka daya.

Hal ini juga berlaku bagi pertanya’an-pertanya’an tidak berfaidah lainnya. Selain membuang-buang waktu kedua belah pihak, kebanyakan pertanyaan tersebut justru tidak baik untuk ditanyakan.

Wallahu a’lam

BINCANG SYARIAH