Hukum Mengucapkan Minal Aidin wal Faizin di Hari Lebaran

Ucapan “minal aidin wal faizin“ ghalib kita dengar saat lebaran. Ucapan ini diucapkan seseorang saat bertemu keluarga, teman, sahabat, dan saudara muslim lainnya. Sejatinya, ungkapan ini tradisi yang sudah mengakar sejak dahulu bagi masyarakat Indonesia.

Saban Lebaran ucapan ini akan selalu ternyiang di telinga kita. Nah dalam Islam bagaimana hukum mengucapkan minal aidin wal faizin di Hari Lebaran? Apakah ini sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam? Atau perbuatan bid’ah?

Ucapan minal aidin wal faizin— maksudnya; termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang—merupakan ungkapan tahniah. Para ulama menjelaskan pengertian tahniah adalah ungkapan atau harapan semoga seseorang selalu dalam kebaikan.

Syekh Ibnu Taimiyah dalam kitab al Majmu’ al Fatawa, pernah ditanya persoalan yang sama persis dengan pertanyaan di atas (baca: Ucapan minal aidin wal faizin) pada saat Idul Fitri.

Dalam kitab al Majmu’ al Fatawa, Jilid XXIVseseorang bertanya pada Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah terkait ucapan yang jamak diungkan saat Idul Fitri, misalnya, Ied Mubarok, atau perkataan yang menyerupainya (sepanjang tahun, semoga kamu beruntung dll). Si penanya melanjutkan, apakah ucapan tersebut ada dasarnya dalam syariat Islam?

Ibnu Taimiyah lantas menerangkan definisi tahniah terlebih dahulu. Ia menjelaskan bahwa tahniah adalah ungkapan yang diucapkan seseorang bagi orang lain setelah shalat Idul Fitri atau Adha. Ucapan tahniah itu misalnya; taqabbalollohu minna wa minkum, atau ahallaohu alaika.

Menurut Ibnu Taimiyah, ada riwayat yang menceritakan bahwa sekelompok sahabat yang mempraktikkan tahniah saat Hari Raya. Dan meriwayatkannya pelbagai ahli Hadis seperti Imam Ahmad dan beberapa ahli hadis selainnya.

Namun penting menjadi catatan, bahwa Imam Ahmad melanjutkan keterangannya, bahwa ia apabila berjumpa dengan seseorang saat Idul fitri tidak memulai mengucapkan tahniah tersebut. Ia tidak memulai mengucapkan tahniah pada seseorang ketika berjumpa sahabat, keluarga, atau koleganya.  Akan tetapi bila bila ada orang yang mengucapkan tahniah pada Imam Ahmad, maka ia akan menjawabnya.

Berangkat dari itu, maka Ibnu Taimiyah mengatakan menjawab tahniah tersebut hukumnya wajib. Ada pun memulai mengucapkan tahniah bukanlah sesuatu yang disunatkan padanya, dan bukan pula sesuatu yang dilarang mengucapkannnya (baca; tahniah). Maka barang siapa yang memperbuatnya, maka baginya telah memperbuat teladan, dan sebaliknya, siapa yang meninggalkan tahniat, maka ia juga telah mempraktikkan teladan.

Berikut kutipan teks al Majmu al FatawaJilid XXIV,halaman 253 karya Ibnu Taimiyah;

 وسئل شيخ الإسلام ابن تيمية : هل التهنئة في العيد ما يجري على ألسنة الناس : عيدك مبارك ، وما أشبهه ، هل له أصل في الشريعة أم لا ؟ وإذا كان له أصل في الشريعة ، فما الذي يقال ، أفتونا مأجورين ؟

فأجاب : أما التهنئة يوم العيد يقول بعضهم لبعض إذا لقيه بعد صلاة العيد : تقبل الله منا ومنكم ، وأحاله الله عليك ، ونحو ذلك فهذا قد روي عن طائفة من الصحابة أنهم كانوا يفعلونه ، ورخص فيه الأئمة كأحمد وغيره ، لكن قال أحمد : أنا لا ابتدئ أحداً ، فإن ابتدرني أحد اجبته ، وذلك ؛ لأنه جواب التحية واجب ، وأما الابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمور بها ، ولا هو أيضاً مما نُهي عنه ، فمن فعله فله قدوة ، ومن تركه فله قدوة ، والله أعلم . اهـ .

 Artinya; di tanya Ibnu Taimiyah, aapakah tahniah pada saat Idul Fitri yang biasa dilaksanakan manusia, seperti mengucapkan “Ied Mubarok” atau seumpamanya, apakah tahniah tersebut ada asal perintahnya dalam syariat atau tidak? Apabila ada dasarnya dalam syariat, maka apa yang akan kami katakan?

Maka aku (Ibnu Taimiyah) menjawab, adapun tahniah pada Idul Fitri atau Adha, adalah ucapan sebagian orang bagi yang lain, apabila mereka berjumpa setelah shalat Ied ; “ taqabbalollohu minna wa minkun” atau “ahallalohu alaika” dan ucapan semisal itu.

Maka persoalan ini, ada sekelompok sahabat yang meriwayatkan bahwa mereka mengamalkan tahniah setelah shalat Ied. Dan Imam Ahmad dan selainnya meringankan mereka akan riwayat ini. Akan tetapi Imam Ahmad mengultimatum, bahwa Ia tidak memulai tahniah apabila berjumpa seseorang pada Idul Fitri. Tetapi apabila seseorang mengucapkan tahniah padanya, maka ia akan menjawabnya.

Berangkat dari itu, maka menjawab tahniah itu wajib, sedangkan mengucapkan tahniah hukumnya boleh—bukan sunah memperbuatnya, tak dilarang juga melakukannya. Barang siapa orang yang memperbuat tahniah,, maka ia memperbuat teladan. Pun sebaliknya, maka siapa yang meninggalkanya, maka ia juga memperbuat teladan.

Sementara itu, dalam kitab al Mausuah Fiqhiyah al Kuwaitiah—enslikopedia Fiqh terbitan pemerintah Kuwait—, mengatakan tahniah pada saat Idul Fitri merupakan perbuatan yang disyariatkan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas ulama fiqih.

Berikut penjelasan ulama fiqih yang terdapat dalam teks kitab al Mausuah Fiqhiyah al Kuwaitiah, jilid XIV, halaman 99;

ذهب جمهورُ الفقهاء إلى مشروعية التهنئة بالعيد من حيث الجملة

Artinya; mayoritas ulama fiqih sepakat bahwa tahniah, merupakan perkara yang disyariatkan, ini bila ditilik dari segi jumlah.

Demikian penjelasan terkait hukum mengucapkan minal aidin wal faizin di hari lebaran. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAHcom