Ibadah adalah Pembeda Seseorang dalam Kehidupan

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.”. (QS: Adz-Dzariyat: 56)

 

ERA kehidupan yang terus berkembang sangat dinamis, membutuhkan tuntunan yang mengarahkan dan menyadarkan perilaku manusia untuk lebih dekat dengan kehendak Sang Maha Kuasa. Kehendak itu dalam bentuk ‘ibadah’ mengabdi kepadaNya dalam seluruh aktifitas kehidupan.

Jika tidak, dikhawatirkan semakin berat beban kehidupan yang harus dipikul karena kemaksiatan dan ketidak patuhan yang semakin menggejala. Kehidupan serba bebas, liar dan tanpa kendali merupakan fakta nyata semakin jauhnya kehidupan manusia dari rel yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta.

Akibatnya, kehidupan ini kerap dihantui dengan bencana, musibah, dan malapetaka yang datang silih berganti, sebagai buah dari pengingkaran dan keengganan manusia mengikuti petunjuk dan kehendak Allah Subhanahu Wata’ala. Ayat di atas layak untuk direnungkan bersama sebagai bahan muhasabah secara kolektif atas perilaku kehidupan manusia sehari-hari.

Ayat ini termasuk ayat ‘Iradatullah’, dalam arti kehendak dan ketentuan Allah Subhanahu Wata’ala yang bersifat mengikat; siapapun dari bangsa jin dan manusia. Iradah Allah sudah ada sebelum penciptaan seluruh makhluk, termasuk manusia dan jin. Kedua makhluk ini ditentukan dengan iradah Allah bahwa tujuan penciptaan mereka dalam kehidupan ini adalah semata-mata untuk mengabdi beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Imam Ibnu Katsir menuturkan secara filosofis matlamat penciptaan jin dan manusia dalam ungkapanya:

ما خلقتهم إﻻ ﻵمرهم بعبادتى، ﻻ ﻻحتبةجى إليهم. ”

“Sesungguhnya Aku menciptakan mereka agar Aku perintahkan mereka beribadah kepadaKu. Bukan karena hajatKu kepada mereka’.

Pandangan ini diperjelas dengan ayat setelahnya yang menjadi ciri khas metode Ibnu Katsir:

مَآ أُرِيدُ مِنۡہُم مِّن رِّزۡقٍ۬ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ (٥٧)

Aku tidak menghendaki rizqi dari mereka, dan tidak pula Aku menghendaki agar mereka memberi makan kepadaKu.” (QS: Adz-Dzariyat: 57)

Ayat ini penting untuk dikemukakan secara korelatif. Ketaatan atau ketundukan seseorang umumnya identik dengan dorongan faktor kebutuhan atau kepentingan. Karenanya, Allah Subhanahu Wata’ala menafikan hal tersebut. Bahkan menyatakan sebaliknya, Dialah justru Yang Maha Memberi lagi Maha Kuat:

إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ

“Sesungguhnya Dialah Allah Yang Maha Memberi rizqi, Mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS: Adz-Dzariyat: 58)

Di ayat yang lain, Allah Subhanahu Wata’ala menegaskan sifat ‘faqir’ manusia dalam arti sangat berhajat dan bergantung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam segala hal. Sedang Allah Maha Mencukupi seluruh kebutuhan hambaNya lagi Maha Terpuji.

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلنَّاسُ أَنتُمُ ٱلۡفُقَرَآءُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَٱللَّهُ هُوَ ٱلۡغَنِىُّ ٱلۡحَمِيدُ (١٥)

“Hai sekalian manusia, kalianlah yang sangat faqir (membutuhkan) kepada Allah. Dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS: Fathir: 15)

Waspada! Beribadah tapi Melupakan Allah

Ketiga deklarasi Al-Qur’an di atas merupakan argumentasi yang tak terbantahkan bahwa memang seharusnya manusia hanya tunduk, ta’at, dan mengabdi kepada Allah swt dalam seluruh kehidupannya, sebagai hak dan konsekuensi mendasar dari tujuan utama penciptaan. Jika tidak, berarti manusia sudah keluar dari ketentuan azali yang bersifat mengikat tersebut.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam membahasakan ibadah sebagai hak Allah yang harus dipenuhi oleh seluruh hambaNya. Sebagai timbal baliknya, Allah Subhanahu Wata’ala tidak akan mengazab mereka yang taat beribadah dengan tidak melakukan syirik dalam semua peribadatan mereka.

Gambaran ini disampaikan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam bentuk dialog dengan sahabatnya Mu’adz bin Jabal:

“Hai Mu’adz apakah engkau tahu hak Allah atas hamba-hambaNya?”. Mu’adz menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih tahu”. Rasul bersabda menjelaskan:

“Sesungguhnya hak Allah atas hambaNya adalah mereka beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukan dengan sesuatu apapun. Dan hak hamba atas Allah bahwa Allah tidak mengazab mereka selama mereka menjalankan ibadah kepadaNya dengan tidak mempersekutukanNya.” (HR. Muttafaqun Alaih)

Dalam ruang kehidupan yang luas dan variatif, menunaikan Ibadah kepada Allah dalam maknanya yang komprehensif memiliki tingkat urgensi yang tinggi dalam kehidupan seorang muslim. Pertama, Ibadah adalah identitas keislaman dan keimanan seseorang kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Tanpa ibadah, tidak dapat dibedakan antara mereka yang beriman dengan mereka yang tidak beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Identitas ‘ibadah’ inilah yang akan menjadi pembeda antar seseorang, kelompok masyarakat, maupun umat dalam kehidupan.

Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam beberapa haditsnya membuat identitas pembeda yang dikaitkan dengan pelaksanaan ibadah. Sebagai contoh, sabda beliau tentang shalat yang dijadikan identitas pembeda antara orang beriman dengan yang tidak beriman. Tentang puasa, Rasulullah membuat pembedaan dengan puasa Ahli Kitab yaitu pada makan sahur. Begitulah parameter identitas yang menjadi pembeda dalam pandangan Allah swt.

Ketika seseorang menafikan nilai ‘ibadah’ dalam kehidupannya, berarti ia telah keluar dari garis tujuan penciptaannya. Dan karenanya, tidak berhak menyandang gelar ‘hamba Allah Subhanahu Wata’ala’.

Kedua, Ibadah merupakan simbol dan tanda ketundukan seseorang di hadapan Sang pencipta. Kesalahan iblis yang mendasar adalah keengganan untuk tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk sujud kepada nabi Adam as. Karenanya, iblis layak menerima hukuman yang bersifat permanen; terlaknat dan dijauhkan dari rahmah Allah Subhanahu Wata’ala.

Dalam sebuah riwayat, ketika seorang sahabat Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami meminta berdampingan dengan Rasulullah saw di surga,

” كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ ، فَقَالَ لِي : سَلْ ، فَقُلْتُ : أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ ، قَالَ : أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ ، قُلْتُ : هُوَ ذَاكَ ، قَالَ : فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ “. رواه مسلم في ” صحيحه“(489).

“Aku pernah bermalam bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam, lalu aku menyiapkan air wudhu` dan keperluan beliau. Beliau bersabda kepadaku, ‘Mintalah sesuatu!’ Maka sayapun menjawab, ‘Aku meminta kepadamu agar memberi petunjuk kepadaku tentang sebab-sebab agar aku bisa menemanimu di surga’. Beliau menjawab, ‘Ada lagi selain itu?’. ‘Itu saja cukup ya Rasulullah’, jawabku. Maka Rasulullah bersabda, ‘Jika demikian, bantulah aku atas dirimu (untuk mewujudkan permintaanmu) dengan memperbanyak sujud‘.” (HR. Muslim).

Ketiga, Ibadah merupakan media meraih keberkahan. Kehidupan yang sangat beragam dan luas cakupannya jika tidak dilandasi dengan ibadah, maka tidak bernilai apa pun di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Pekerjaan yang digeluti oleh seseorang, kekayaan yang dimilikinya, keluarga yang dibinanya, masyarakat yang berdampingan dengannya, dan seluruh anugerah Allah kepada dirinya merupakan ujian ‘ubudiyyah’ kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Ketika lulus dari ujian ini, maka kehidupan seluruhnya bernilai keberkahan yang membawa kepada ketenangan dan kebahagiaan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰٓ ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْأَرْضِ وَلٰكِن كَذَّبُوا۟ فَأَخَذْنٰهُم بِمَا كَانُوا يَكْسِبُ٬�نَ

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.*/Dr. H. Atabik Luthfi Ketua Bidang Dakwah, PP IKADI

 

 

sumber:Hidayatullah