Ibadah: Semakin Bermanfaat, Semakin Berpahala

Secara umum amal ibadah dibagi menjadi dua katagori, yaitu amalan ibadah qashir (perorangan) dan muta’addi. Amalan qashir adalah suatu amalan ibadah yang manfaatnya hanya untuk diri pelakunya saja, seperti berzikir, salat, iktikaf, membaca Al-Qur’an, haji, umrah, dan yang lainnya. Sedangkan amalan muta’addi merupakan amalan yang manfaatnya baik di dunia maupun akhirat tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain. Ibadah muta’addi lebih utama dan lebih banyak pahalanya daripada ibadah qashir.

Ibadah mana yang prioritas?

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ , وَأَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى سُرُورٌ تُدْخِلُهُ عَلَى مُسْلِمٍ , أَوْ تَكَشِفُ عَنْهُ كُرْبَةً , أَوْ تَقْضِي عَنْهُ دَيْنًا , أَوْ تَطْرُدُ عَنْهُ جُوعًا , وَلأَنْ أَمْشِيَ مَعَ أَخِ فِي حَاجَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَعْنِي مَسْجِدَ الْمَدِينَةِ شَهْرًا

Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia (lain). Adapun amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah membuat muslim yang lain bahagia, mengangkat kesusahan dari orang lain, membayarkan utangnya, atau menghilangkan rasa laparnya. Sungguh aku berjalan bersama saudaraku yang muslim untuk sebuah keperluan lebih aku cintai daripada beriktikaf di masjid ini, yakni masjid Nabawi selama sebulan penuh. (HR. Thabrani dalam Al-Mujam Al-Kabir no. 13280. Syekh Al-Albani mengatakan bahwa hadis ini hasan sebagaimana disebutkan dalam Shahih Al-Jamino. 176)

Dari hadis tersebut, ibadah yang membawa manfaat bagi orang lain lebih didahulukan (lebih utama) daripada ibadah iktikaf yang hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Hal ini selama kedua amalan tersebut sama-sama ibadah sunah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam dalam banyak hadis juga memberitahukan kepada kita mengenai siapa sebaik-baik manusia dan selalu menggandengkannya dengan kebermanfaatannya bagi orang lain.

Pertama, perihal utang

خَيْرُكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang. (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua, belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)

Ketiga, menjadi suami yang paling baik terhadap keluarganya

خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى.

Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku. (HR. Tirmidzi dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 285)

Kempat, yang paling baik akhlaknya dan menuntut ilmu

خَيْرُكُمْ إِسْلاَماً أَحَاسِنُكُمْ أَخْلاَقاً إِذَا فَقِهُوا

Sebaik-baik Islamnya kalian adalah yang paling baik akhlak jika mereka menuntut ilmu. (HR. Ahmad dan disahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami’ no. 3312)

Kelima, yang memberikan makanan

خَيْرُكُمْ مَنْ أَطْعَمَ الطَّعَامَ

Sebaik-baik kalian adalah yang memberikan makanan.(HR Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shahihul Jami no. 3318)

Keenam, yang paling bermanfaat bagi manusia

خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia. (HR. Ahmad, lihat Shahihul Jami no. 3289).

Umat terbaik: umat yang paling memberi manfaat

Umat Islam disebut oleh Allah Ta’ala sebagai umat yang terbaik karena adanya ibadah amar makruf nahi munkar (saling mengajak kepada kebaikan dan melarang dari perbuatan keburukan).

Allah Ta’ala berfirman,

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah…” (QS. Ali Imran: 110)

Bahkan, selain manusia, para hewan pun juga merasakan manfaat dari amal amar makruf nahi munkar. Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda,

وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ، وَمَنْ فِي الْأَرْضِ، وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ

“Sungguh, para malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridaan kepada penuntut ilmu (alim ulama). Dan sungguh, orang yang berilmu akan dimohonkan ampunan oleh penduduk langit dan bumi, bahkan hingga ikan yang ada di dasar laut. (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Dapat kita pahami dari hadis tersebut bahwa jika semakin banyak orang yang berilmu, maka semakin tersebar pula amar makruf nahi munkar sehingga Allah akan menghindarkan dari azab-Nya. Karena bila azab Allah turun, maka yang terkena dampaknya bukan hanya manusia tetapi juga hewan. Oleh karenanya, hewan memohonkan ampun kepada Allah atas orang-orang yang berilmu.

Sebaik-baik perkataan yang membawa manfaat

Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (berdakwah) kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’” (QS. Fussilat: 33)

Ayat di atas menerangkan bahwa tiada yang lebih baik perkataannya daripada seseorang yang memberikan manfaat dengan mengajak kepada tauhid (mengesakan Allah) dan memurnikan ibadah hanya kepada-Nya semata.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat untuk memaksimalkan pahala ibadah yang kita lakukan.

***

Penulis: Arif Muhammad Nurwijaya, S.Pd.

Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

Disarikan dari faedah kajian bersama Ustadz Dr. Muhammad Rezki Hr, M.Eng. Membahas kitab Tajridul Ittiba’ karya Syekh Ruhaily, 29 Zulkaidah 1444 H/17 Juni 2023 di Masjid Agung Sleman.

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/86060-ibadah-semakin-bermanfaat-semakin-berpahala.html

Enam Alasan Mengapa Kita Beribadah pada Allah

Mengapa kita perlu beribadah kepada Allah? Sejak janin dalam rahim ibu, Allah telah melindungi kita dari gangguan suara, panas dan dingin

APA manfaatnya bagi Allah menciptakan kita? Menciptakan langit, bumi, matahari dan bulan? Apakah hanya untuk main-main saja, mempergilirkan siang dan malam?

Untuk apa Allah perlu menurunkan hujan? Menumbuhkan pepohonan dan mengalirkan sungai-sungai? Tanpa tujuankah Allah mengaruniakan akal pikiran kepada kita?

Sederet pertanyaan yang jawabannya sangat mudah dan tidak membutuhkan pemikiran mendalam sebetulnya. Namun hal ini sering terlewatkan dalam pengamatan kita karena hati kita kerapkali sibuk dengan keinginan-keinginan jiwa kita yang tidak berujung dan melalaikan.

Mata kita sering silau dengan kegermelapan indah dunia, dan karena akal pikiran kita tidak jarang tertutup kabut kegelapan – penyakit hati – yang menyamarkan kebenaran. Padahal kebenaran itu berada depan kita, bahkan, sebagian kita lupa daratan dan menjadi pengingkar hakikat dirinya sendiri.

Satu kata saja, dengan satu tarikan nafas saja untuk mengucapkannya, yang kita butuhkan untuk menjawab sejumlah pertanyaan di atas. Yaitu, untuk tujuan ibadah. Ya, semua itu Allah lakukan agar kita beribadah kepada-Nya.

Hal ini telah dengan tegas dinyatakan Allah dalam Al-Quran;

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS: Adz-Dzariyaat [51]: 56).

Menurut pakar tafsir sahabat Ibnu Abas: Makna liya’buduni – menyembah-KU- artinya liyuwahhiduni (agar jin dan manusia mentauhidkan Aku). Menomorsatukan kepentingan Allah diatas berbagai kepentingan yang lain. Kita pentingkan Dia sedemikian rupa, dan kita siap lahir dan batin didominasi oleh kepentingan tersebut.

Allah pun menyindir kita dengan pertanyaan;

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS: Al Mukminun [23]: 115).

Imam Ibnu Katsir –rahimahullah– berkata, “Firman Allah, “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja)?” “Apakah kalian menyangka bahwa kalian diciptakan tanpa maksud, tujuan dan hikmah ?” “Firman Allah, “bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” “Tidak dikembalikan ke negeri akhirat (darul akhirah) ?” (Tafsir Al Qur`an Al Adzim: 5/500).

Jika muncul dalam benak kita pertanyaan, “lalu, mengapa Allah memerintahkan kita untuk beribadah?”. Beberapa alasan berikut mudah-mudahan semakin dapat meyakinkan kita mengapa kita harus beribadah kepada Sang Pencipta kita, Allah subhaanahu wa ta’aala;

Pertama: Allah adalah Pencipta kita dan semesta, serta pemelihara semuanya

Hal ini sebagaimana pernyataan Allah dalam ayat yang telah lalu penyebutannya (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56, Al Mukminun [23]: 115)

Allah pun berfirman,

اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (QS: Az Zumar [39]: 62).

Oleh karena Allah satu-satunya dzat yang menciptakan kita dan juga menciptakan semesta tempat hidup kita, maka kita harus beribadah kepada-Nya, mengabdi sebagai hamba dan bagian dari makhluk-Nya. Alangkah zalimnya/batilnya jika hak penyembahan dan ketundukan diri kita dialihkan kepada selain-Nya?

Kedua:  Allah menciptakan kita dengan bentuk yang terbaik

Allah tidak menciptakan kita dalam bentuk yang asal-asalan, tapi menciptakan kita dengan bentuk yang terbaik. Perhatikan firman Allah berikut,

لَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS: At Tiin [95]: 4).

Syeikh As-Sa’diy berkata, “Maksudnya adalah diciptakan dengan sempurna, anggota tubuh yang sesuai dan perawakan yang pantas, tidak kurang sesuatu apa pun yang ia butuhkan.” (Tafsir Karim Al-Rahman: 929).

Ketiga:  Allah memuliakan kita dengan akal pikiran

Tidak hanya itu, Allah pun mengistimewakan kita dengan akal pikiran. Allah berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ

“Dan sungguh kami telah memuliakan anak Adam.” (QS: Al Isra [17]: 70)

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa manusia telah dimuliakan dengan akal. Yang tidak diberikan kepada makhluk-Nya yang lain (Lihat Tafsir Al Baghawi: 5/108).

Kita sendiri dapat membayangkan, bagaimanakah perasaan orang-orang terdekat kita apabila karena kondisi tertentu akal kita mengalami disfungsi. Bukankah kebahagiaan mereka akan terkurangi. Itulah musibah yang menimpa, suatu kondisi yang pada umumnya manusia tidak menyukainya?

Keempat: Allah yang mengarunikan kepada kita rezeki untuk menopang kehidupan kita

Setelah diciptakan, diciptakan dengan bentuk terbaik dan dimuliakan dengan akal pikiran, karunia Allah selanjutnya adalah menurunkan beragam rezeki yang dengannya manusia mampu bertahan hidup di bumi ini. Apabila rezeki (pemberian) itu dihitung dengan alat hitung yang paling canggih, maka alat itu akan rusak sebelum nikmat dan karunia-Nya selesai dihitung.

Allah berfirman,

أَمَّنْ هَذَا الَّذِي يَرْزُقُكُمْ إِنْ أَمْسَكَ رِزْقَهُ

“Atau siapakah dia yang memberi kamu rezeki jika Allah menahan rezeki-Nya?” (QS. Al Mulk [67]: 21)

Kelima: kebutuhan asasi/hakiki manusia

Sejarah kehidupan manusia mengajarkan bahwa ternyata manusia dalam mengelola kehidupannya tidak saja memerlukan kebutuhan jasmani, tetapi memerlukan nutrisi ruhani. Jika kehidupan manusia tidak seimbang dan utuh, maka manusia akan merasakan kehampaan kehidupan.

Ia hidup bagaikan mengejar bayangan. Semakin lama ia mengejar kebahagiaan itu, yang dituju semakin menjauh.

Ia baru menyadari bahwa kebahagiaan, ketenangan batin, tidak berbentuk benda yang dapat dicari di tempat tertentu. Ia juga baru terhenyak, bahwa kebahagiaan tidak dapat dibeli dengan kekuasaan, kekayaan, pengaruh, yang dimilikinya.

Kehidupan manusia akan menyakitkan jika ia dengan sengaja ataupun tidak sengaja menyingkirkan dimensi ruhani dalam dirinya. Mereka akan mendapatkan azab dalam kehidupan di dunia dan azab akhirat yang lebih memberatkan (QS. Ar Ra’du (13) : 34).

Ketika lahir, struktur fisik dan ruhani manusia sehat wal afiat. Lahir dalam keadaan fitrah (Islam). Dalam perkembangan berikutnya, karena tidak konsisten dalam memelihara kebersihan dirinya, maka saat itu terjadi penyimpangan yang sangat jauh, akhirnya menjadi Yahudi, Majusi, dan Nasrani.

Itulah kehidupan orang-orang kafir dan sekuler. Ia menceraikan manusia dari ruhnya.

Ia memisahkan makhluk dari Al-Khaliq. Saat itulah tercerabut ruhnya dalam berbagai aspek kehidupannya.

Ia hidup hanya untuk bersenang-senang, makan dan minum. Setelah semua yang diinginkan diperoleh, terbukti membuat pemburunya kecewa.

Orang-orang kafir itu semua amal mereka sia-sia. Semua yang mereka lakukan bagaikan fatamorgana di sebuah lembah.

Orang-orang yang kehausan menyangka bahwa fatamorgana itu adalah air. Ketika ia mendekati tempat itu, mereka tidak menemukan air sedikitpun (QS: An Nur (24) : 39).

Orang-orang kafir ketika di dunia (hanya bertujuan) mendapatkan kesenangan dan makanan sama halnya dengan hewan-hewan ternak (QS. Muhammad (47) : 12).

Keenam: Allah selalu memelihara kita tanpa libur

Perhatikanlah perkembangan diri kita. Sejak berupa janin dalam rahim ibu kita, Allah melindunginya dari gangguan suara, panas dan dingin.

Menginjak usia bayi (shoby), Allah mengajari kita menangis dan ketrampilan yang lain. Pada usia anak-anak (thifl), Allah menyempurnakan perkembangan pisik, panca indra dan perasaan kita.

Pada usia murahiq (remaja), Allah menumbunhkan berbagai potensi di dalam diri kita. Pada usia dewasa (kuhulah), Allah mendewasakan diri kita dengan berbagai pengalaman kehidupan.

Pada usia syaikh (40 th keatas), Allah membuat struktur kepribadian diri kita lebih matang. “Sungguh Kami telah menciptakan Adam dari sari pati tanah. Kemudian Kami jadikan anak keturunan Adam dari pembuahan sel telur oleh sperma. Hasil pembuahan itu tersimpan dalam rahim dengan baik. Kemudian Kami jadikan hasil pembuahan itu segumpal darah. Dan segumpal darah Kami jadikan segumpal daging. Dan segumpal daging Kami jadikan tulang belulang. Lalu Kami selimuti dengan daging. Dan tulang belulang yang selimuti dengan daging itu Kami ciptakan seorang manusia baru.  Allah Maha suci dari segala kekurangan dalam menciptakan manusia dan Tuhan sebaik-baik pencipta.” (QS: Al-Mukminun (23) : 12-14).

Itulah beberapa alasan mengapa kita harus beribadah kepada Dzat yang telah mengaruniakan kepada kita segala hal yang kita miliki saat ini. Jelas sekali, sejelas matahari di siang hari.

Bagi orang-orang yang mau berfikir, bagi orang-orang yang berakal, bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran (ibrah), bagi orang-orang yang mengambil jembatan untuk mendaki ke atas (‘ubur), dan bagi orang-orang yang mau mengikuti fitrah sucinya.

Begitulah Allah sering menyinggung nalar kita untuk berfikir di dalam Al Qur`an. Semoga Allah menuntun, memandu, dan mengarahkan kita kepada petunjuk dan keridhaan-Nya. Wallahu a’lam Bishshawab.*/Sholih Hasyim

HIDAYATULLAH

Sederhana dalam Beribadah yang Diajarkan Rasulullah

Pernahkah kita dengar apa yang dimaksud sederhana dalam beribadah? Sebelum menjawab itu, saya ingin menyampaikan bahwa beribadah adalah pokok utama kehidupan seorang muslim. Bahkan, ulama mengatakan ibadah diperuntukkan bagi kalangan jin dan manusia yang menginginkan kebahgaiaan, dan kemaksiatan diperuntukkan bagi mereka yang ditakdirkan untuk mengemban kesengsaraan. Hal tersebut setidaknya yang disampaikan oleh Al-Baghawy saat menafsirkan ayat berisi perintah ibadah pada surat al-Dzariyat ayat 56.

Imam al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa beribadah berarti merendahkan diri di hadapan sang pencipta. Setiap makhluk tunduk kepada keputusan Allah Swt, pasrah atas segala kehendaknya tanpa punya otoritas untuk keluar dari suratan-Nya. Ulama lain menjelaskan bahwa beribadah berarti mengesakan Allah Swt, orang beriman adalah mereka yang mengesakan Allah baik pada masa susah dan senang, sedangkan kafir adalah mereka yang mengesakan Allah pada masa sulit dan melupakan-Nya pada masa senang.

Ibadah yang kita tunaikan kadang proporsional, namun dalam beberapa hal terkadang berlebihan. Dalam beberapa kasus, seorang muslim bertindak berlebihan dalam beribadah. Hal ini biasanya terjadi lantaran tidak didampingi dengan ilmu pengetahuan. Beribadah harus menggunakan ilmu, agar kuat pijakannya.

Sebagai contoh adalah yang terjadi di Lembah Bamiyan, Afghanistan. Sebagaimana diungkapkan oleh Agustinus Wibowo dalam catatan perjalanannya mengelilingi Afghanistan, ia berkisah dalam bukunya Selimut Debu bahwa di Lembah Bamiyan terdapat segolongan umat Islam yang mempercayai bahwa dengan menceburkan diri ke dalam danau (danau Band e-Amir) di daerah tersebut maka akan disembuhkan penyakitnya dan mendapat banyak rahmat. Padahal, danau yang dimaksud memiliki air yang sangat dingin dan menyiksa badan, bahkan bisa berujung kepada kematian. Namun mereka kerap melakukan hal tersebut. Ritual yang mereka laksanakan semata-mata didasari oleh mitos yang menyebar di kalangan mereka (Agustinus, 2011:431-434)

Contoh lain adalah orang yang berlebihan beribadah adalah ia memaksakan diri demi menunaikan suatu ibadah, dan mengabaikan dispensasi yang berhak baginya. Seperti seorang yang diberikan keleluasaan untuk berbuka puasa dalam perjalanan. Karena ingin mendapatkan keutamaan, ia memaksa untuk berpuasa, padahal dirinya sudah sangat kelelahan. Akhirnya, keesokannya ia sakit dan tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban lain dengan maksimal.

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqolani menjelaskan bahwa Anjuran agar tidak berlebihan dalam beribadah bukan bermaksud mencegah kita untuk memaksimalkan ibadah kita, hal tersebut malah mulia. Yang dimaksud dari larangan  memaksa diri berlebihan dalam beribadah adalah mencegah kita dri hal yang berlebihan sehingga bisa mengantarkan kepada keletihan atau kebosanan

Jamal Ahmed Badi, dalam syarahnya atas kitab Arbain al-Nawawi berjudul Commentary of Forty hadiths Of An-Nawawi, saat menjelaskan makna hadis nomor 3 dalam kitab tersebut  mengatakan bahwa beribadah haruslah dipandu oleh syarat-syarat, rukun-rukun serta adab-adab yang sudah diatur oleh syariat. Hal ini penting karena amalan tanpa dasar syariat akan tertolak.

Rasulullah Saw bersabda,

“Barangsiapa melakukan suatu perkata baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari Muslim)

Perlunya Sederhana dan Proporsional dalam Beribadah

Dalam kitab Riyadh al-Shalihin, Imam al-Nawawi membuat sebuah bab khusus berjudul Al-Iqtishad fi al-Ibadah, sederhana dalam beribadah. Melalui ayat-ayat dan hadis-hadis yang disitirnya, Imam al-Nawawi secara eksplisit menegaskan bahwa dalam beribadah seorang muslim dianjurkan untuk sederhana dan proporsional, bekerja sesuai ritme, sehingga ibadah yang dilaksanakan mampu berlangsung maksimal dan khidmat.

Terdapat 2 ayat dan 11 hadis yang dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam bab tersebut yang diambil dari berbagai kitab induk hadis.

Dua ayat yang dinukil oleh Imam al-Nawawi dalam bab ini adalah surat Thaha ayat 1 dan surat surat al-Baqoroh ayat 185, masing-masing memiliki terjemahan sebagai berikut,

مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ

 “Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.”

يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Melalui dua ayat tersebut, Imam al-Nawawi hendak menegaskan bahwa beragama perlu dilaksanakan dengan maksimal, namun ia tidak mesti menjadikan susah orang yang melaksanakannya.

Melengkapi maksud ayat di atas, dicantumkan berikutnya hadis-hadis yang bersinggungan dengan tema terkait. Di antaranya adalah sabda Rasulullah Saw,

Suatu Ketika datang sekelompok orang menuju rumah isteri-isteri Nabi, mereka menanyakan perihal ibadah Nabi Saw. Tatakla mereka diberitahukan soal ibadah Nabi, mereka menilai hal tersebut sebagai sedikit. Dan seorang dari mereka berkata, “Di mana posisi kita dibanding Nabi Saw? Sedangkan beliau adalah sosok yang telah diampuni dosa yang telah lampau dan yang akan datang!

Kemudian berkata salah seorang dari mereka, “Saya akan shalat sepanjang malam penuh tanpa jeda!” yang lain berkata, “Saya akan puasa selama setahun penuh tanpa berbuka!” yang lain berkata, “Saya akan menjahui perempuan dan tidak akan menikah selamanya!” Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata kepada mereka, “Kalian yang ngomong seperti tadi? Demi Allah Adapun saya adalah orang paling takut di antara kalian kepada Allah Swt dan saya adalah yang paling bertakwa di antara kalian, akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya shalat dan saya tidur, dan saya menikahi perempuan. Barangsiapa yang benci akan sunnahku maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari).

Segenap sahabat yang menginginkan ibadah tanpa henti tersebut ditegur oleh Rasulullah Saw langsung agar tetap stabil dalam beribadah, tidak memaksa diri sehingga melalaikan yang lain. Hal ini tentu merupakan salah satu upaya Nabi menjelaskan bahwa syariat Islam tetap berjalan sesuai dengan koridor yang ditentukan, dan bahwa koridor tersebut telah disesuaikan dengan kadar kemampuan kita sebagai manusia yang memiliki berbagai kesibukan kehidupan, sehingga ia tidak memberatkan. Bayangkan jika Rasulullah membenarkan seseorang tersebut untuk berpuasa selama setahun tanpa berbuka sedangkan badannya perlu diasup makanan, untuk shalat sepanjang malam tanpa tidur sedangkan besoknya ia berkewajiban mencari nafkah, untuk tidak menikah selamanya sedangkan pengadaan keturunan manusia harus terus berlanjut?

Mustafa Said al-Khan dalam Nuzhat al-Muttaqien Syarh Riyadh al-Shalihin memetik pelajaran dari hadis tersebut perihal perlunya moderat dan sederhana dalam beribadah dan agar senantiasa mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Saw dalam memahami hakikat beribadah kepada Allah Swt (1987:167)

Hadis lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu juhayfah Wahb ibn Abdullah radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Saw mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu al-Darda’. Suatu ketika Salman mengunjungi Abu al-Darda’, ia mendapati bahwa Umm al-Darda’ berpakaian ala kadarnya (tidak bersolek). Kemudian ia berkata, “Ada apa denganmu?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu al-Darda’ tidak ada minat terhadap dunia.”

Kemudian datang Abu al-Darda’, membuatkan untuk Salman seporsi makanan, kemudian ia berkata, “Makanlah, wahai Salman, sesungguhnya saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sampai kamu juga ikut makan,” maka kemudian ia ikut makan. Tatkala tiba malam, Abu al-Darda’ bangun (hendak melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata, “Tidurlah” Kemudian ia tidur. Kemudian Abu al-Darda’ hendak bangun lagi (dengan niat yang sama, yakni melaksanakan shalat malam), kemudian Salman berkata padanya, “Tidurlah”

Kemudian, tatkala tiba akhir malam, Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sekarang bangunlah,” maka keduanya menunaikan shalat malam bersama. Kemudian Salman berkata kepada Abu al-Darda’, “Sesungguhnya Tuhanmu memiliki hak atasmu, dirimu memiliku hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, maka tunaikanlah setiap hak tersebut pada tempatnya” Kemudian datang Rasulullah Saw dan ia menceritakan hal tersebut kepada Nabi, Nabi bersabda, “Telah benar Salman.”

Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari di atas menjelaskan posisi Nabi yang membenarkan Salman melarang saudaran Abu al-Darda’ untuk melaksanakan ibadah-ibadah sunnah, jika dengan hal tersebut malah akan memudaratkannya. Hal ini sebagaimana disimpulkan oleh Mustafa Said al-Khan dari hadis tersebut perihal kebolehan pelarangan pelaksanaan ibadah-ibadah mustahabb (yang dianjurkan, sunnah) jika hal tersebut berdampak pada penghilangan hak-hak yang seharusnya ditunaikan.

Ibadah yang kita lakukan seyogyanya dilaksanakan dengan khidmat dan sesuai dengan kadar kondisi dan kemampuan kita. Selain dituntut mengerjakan hal-hal yang wajib, kita juga sangat dianjurkan melakukan ibadah-ibadah sunnah sebagai pelengkap ibadah wajib kita. Kendati demikian, kita tetap perlu menakar diri agar ibadah yang kita lakukan tidak membuat kita bosan, kita perlu menjaga ritme ibadah kita agar senantiasa terasa khidmat, dan kita perlu berhati-hati agar tidak menjadi golongan yang berlebihan dalam beribadah.

Rasulullah Saw bersabda,

“هَلَكَ المُتَنَطِّعُوْنَ

“Celakalah orang-orang yang ekstrim (berlebihan)!” Beliau mengucapkannya tiga kali.” (Hadis Riwayat Muslim)

Sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Nawawi, makna berlebihan dalam hadis di atas adalah melebihkan sesuatu (ibadah) bukan pada tempatnya. Semoga kita semua tergolong sebagai umat Rasulullah Saw yang mampu mengikuti sunnah-sunnahnya dengan khidmat dan maksimal.

BINCANG SYARIAH

Menuju Kesempurnaan Ibadah Shalat (Bag. 1)

Salat merupakan rukun Islam kedua setelah rukun pertama syahadat, dan ini merupakan perkara yang sangat mendasar bagi seorang muslim. Mendirikan ibadah salat adalah kewajiban atas seorang muslim yang telah mencapai usia balig dan berakal, kecuali bagi wanita dalam kondisi tertentu seperti haid dan nifas. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

Sesungguhnya salat itu merupakan kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” (QS. an-Nisa’: 103).

Kewajiban salat atas seorang muslim berlaku di setiap keadaan. Kondisi seperti sakit, dalam perjalanan/safar, dan lainnya tidak menjadi uzur bagi seorang muslim untuk tidak melaksanakan salat. Hanya saja, ada keringanan dalam beberapa hal seperti dalam gerakan dan jumlah rakaat (qashar, jama’, tayamum, dan sebagainya). Oleh karena itu, hal ini menjadikan salat sebagai kewajiban yang istimewa bagi seorang muslim yang harus dia prioritaskan setiap waktu.

Kedudukan salat amat penting dalam perkara ibadah yang diwajibkan atas seorang muslim. Sebab salat merupakan amalan yang pertama kali dihisab (dihitung) pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

أَوّلُ مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.

“Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah salat. Apabila salatnya baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila salatnya buruk, maka seluruh amalnya pun buruk” (HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath 2: 512, no. 1880 dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan salat sebagai wasiat terakhir sekaligus penyejuk mata bagi beliau sebagaimana hadis dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘anha. Beliau mengatakan bahwa wasiat yang terakhir kali disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah salat,

الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ، اتَّقُوا اللَّهَ فِيمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

“(Jagalah) salat, (jagalah) salat. Dan takutlah kalian kepada Allah atas hak-hak hamba sahaya kalian” (HR. Ahmad no. 585, Abu Daud no. 5156, dan Ibnu Majah no. 2698).

Dari sahabat Anas Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ

“Sesungguhnya apa yang aku cintai di antara kesenangan dunia kalian adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan penyejuk mataku terletak di dalam salat” (HR. Ahmad 3: 128, 199).

Artikel sederhana ini mencoba untuk mengambil sebuah inti sari dari kitab Shalatul Mu’min karya Syekh Sa’id ‘Ali bin Wahf al-Qahthani yang insyaallah akan kami sampaikan secara serial.

Adapun topik yang akan disampaikan dalam artikel serial ini nantinya insyaallah dimulai dari pembahasan seputar taharah, najis, sunah-sunah fitrah, adab buang hajat, wudu, mengusap khuff, mandi, tayamum, haid (nifas), hingga pembahasan inti salat yang meliputi aspek, hukum, kedudukan, keistimewaan, syarat, sifat, rukun dan sunah, jenis serta tata cara sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana hadis,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

“Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku (melaksanakan) salat” (HR. Bukhari).

Semoga Allah Ta’ala memudahkan kami dalam menyampaikan dakwah melalui tulisan ini dan Allah Ta’ala memudahkan kita semua dalam memperoleh ilmu-Nya untuk mencapai kesempurnaan ibadah yang kita inginkan bersama.

[Bersambung]

***

Penulis: Fauzan Hidayat, S.STP., MPA

Artikel: Muslim.or.id

Ibadah Perlu Kesabaran!

Dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah swt, kita sangat membutuhkan kesabaran. Karena disaat kita beribadah atau melakukan ketaatan, kita sedang melawan hawa nafsu yang selalu mengajak ke arah sebaliknya.

Menundukkan hawa nafsu bukan perkara yang mudah. Dibutuhkan komitmen dan usaha yang keras untuk menundukkan dan semua itu tidak akan terwujud tanpa kesabaran !

Tanpa kesabaran manusia tidak akan mampu mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena itu kita akan temukan berbagai ayat Al-Qur’an yang menggandengkan antara “sabar” dan “ketaatan”, begitu juga antara “sabar” dan “meninggalkan maksiat”.

Allah swt berfirman,

وَٱسۡتَعِينُواْ بِٱلصَّبۡرِ وَٱلصَّلَوٰةِۚ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى ٱلۡخَٰشِعِينَ

“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.” (QS.Al-Baqarah:45)

Dalam ayat lain Allah swt berfirman,

إِلَّا ٱلَّذِينَ صَبَرُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُم مَّغۡفِرَةٞ وَأَجۡرٞ كَبِيرٞ

“Kecuali orang-orang yang sabar, dan mengerjakan kebajikan, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar.” (QS.Hud:11)

Pada ayat yang pertama Allah mendahulukan sabar sebelum sholat, kemudian di ayat kedua Allah mendahulukan sabar sebelum beramal sholeh. Hal in adalah isyarat bahwa ibadah dan amal sholeh itu sangat bergantung pada kesabaran. Kita tidak mampu beramal sholeh tanpa memiliki kesabaran.

Ada pula ayat-ayat Al-Qur’an yang menggandengkan antara kesabaran dan takwa. Allah swt berfirman :

وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ لَا يَضُرُّكُمۡ كَيۡدُهُمۡ شَيۡـًٔاۗ إِنَّ ٱللَّهَ بِمَا يَعۡمَلُونَ مُحِيط

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, tipu daya mereka tidak akan menyusahkan kamu sedikit pun. Sungguh, Allah Maha Meliputi segala apa yang mereka kerjakan.” (QS.Ali ‘Imran:120)

وَإِن تَصۡبِرُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ذَٰلِكَ مِنۡ عَزۡمِ ٱلۡأُمُورِ

“Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS.Ali ‘Imran:186)

Seakan-akan mustahil seorang meraih ketakwaan tanpa kesabaran. Takwa artinya ketika seseorang melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Dan untuk mencapai ini sangat dibutuhkan kesabaran yang extra.

Bahkan dalam satu ayat Allah swt berfirman :

رَّبُّ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَمَا بَيۡنَهُمَا فَٱعۡبُدۡهُ وَٱصۡطَبِرۡ لِعِبَٰدَتِهِۦۚ هَلۡ تَعۡلَمُ لَهُۥ سَمِيّٗا

“(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS.Maryam:65)

Karena itu jangan pernah kita berkhayal menjadi orang yang taat dengan santai dan mudah. Ketataan memerlukan kesabaran dan pengorbanan. Maka gandakan kesabaranmu !

Semoga bermanfaat.

KHAZANAH ALQUR’AN

Apakah Kita Bersungguh-Sungguh dalam Ibadah?

SEBAGAI Muslim, kita tentu patut meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, yang senantiasa menjalani kehidupan ini dengan serius dan sungguh-sungguh, tanpa pernah bermain-main; terutama dalam urusan ibadah, dakwah, dan jihad.

Dalam urusan ibadah, kita tahu, Nabi Muhammad adalah orang yang paling banyak melakukannya. Rasulullah tidak pernah meninggalkan shalat malam, bahkan hingga kakinya sering bengkak-bengkak karena lamanya berdiri ketika shalat.

Nabi pun orang yang paling banyak berpuasa, bahkan puasa wishal, karena begitu seringnya Beliau tidak menjumpai makanan di rumahnya. Nabi juga adalah orang yang paling banyak bertobat, tidak kurang dari 100 kali dalam sehari. Padahal beliau adalah orang yang ma’shum (terpelihara dari dosa) dan dijamin masuk surga.

Meski tidak sehebat Rasulullah, para Sahabat adalah orang-orang yang paling istimewa ibadahnya setelah beliau, tidak ada yang melebihi mereka. Mereka, misalnya, adalah orang- orang yang paling banyak mengkhatamkan alquran, paling tidak sebulan sekali, bahkan ada yang kurang dari itu.

Menurut Utsman bin Affan, banyak Sahabat yang mengkhatamkan alquran seminggu sekali. Mereka antara lain Abdullah bin Mas ud, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit. Ustman sendiri sering mengkhatamkan alquran hanya dalam waktu semalam. Itu sering ia lakukan dalam shalat malam.

Semua itu menunjukkan bahwa Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang senantiasa serius dan bersungguh-sungguh dalam urusan ibadah; mereka tidak pernah main-main.

Bagaimana dengan dakwah mereka? Jangan ditanya Rasulullah dan para sahabat adalah orang-orang yang telah menjadikan dakwah sebagai jalan hidup sekaligus jalan kematian mereka. Dengan kata lain, mereka hidup dan mati untuk dakwah.

Sebagian besar usia mereka, termasuk harta dan jiwa mereka, diwakafkan di jalan dakwah demi menegakkan kalimat–kalimat Allah ‘Azza wa Jalla.

Bagaimana dengan jihad mereka? Para Sahabat, sebagaimana sering diungkap, adalah orang- orang yang mencintai kematian (di jalan Allah) sebagaimana orang-orang kafir mencintai kehidupan.

Amr bin Jamuh hanyalah salah seorang sahabat, di antara ribuan sahabat, yang mencintai kematian itu. Dikisahkan, ia adalah orang yang sering dihalang-halangi untuk berjihad oleh saudara-saudaranya karena kakinya pincang. Rasul pun telah membolehkannya untuk tidak ikut berjihad karena udzur-nya itu.

Namun, karena keinginan dan kecintaannya yang luar biasa pada syahadah (mati syahid), ia terus mendesak Rasulullah agar mengizinkannya berperang. Akhirnya, Rasul pun mengizinkannya. Dengan penuh kegembiraan, Amr pun segera berlari menuju medan perang, berjibaku dengan gigih melawan musuh, hingga akhirnya terbunuh sebagai syahid.

Itulah secuil fragmen keseriusan dan kesungguhan salafusshalih dalam menjalani kehidupannya. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita serius dan bersungguh-sungguh dalam hidup ini? Ataukah kita masih mengisi hidup ini dengan main-main?

Na udzu billah min dzalik! Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]

INILAH MOZAIK

Antara Ibadah dan Tawakal

Pada akhir Surat Hud kita akan temukan sebuah ayat singkat yang mencakup akidah, syariat dan kabar dari Allah swt.

وَلِلَّهِ غَيۡبُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَإِلَيۡهِ يُرۡجَعُ ٱلۡأَمۡرُ كُلُّهُۥ فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ وَمَا رَبُّكَ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ

“Dan milik Allah meliputi rahasia langit dan bumi dan kepada-Nya segala urusan dikembalikan. Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya. Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS.Hud:123)

Ayat ini ingin memberi kita beberapa pelajaran berharga, yaitu :

1. Segala urusan hanya kembali kepada Allah swt.

Ketika Allah menjelaskan “Segala urusan akan kembali kepada-Nya“, artinya Allah sedang memperingatkan bahwa sekecil apapun perbuatanmu akan mendapat balasan. Maka setiap perbuatan kita hendaknya memiliki tujuan agar bisa menyelamatkan kita kelak di hari pembalasan.

2. Seluruh fasilitas dan kenikmatan yang diberikan kepada kita adalah milik-Nya.

Kapan saja Allah bisa memberikan kenikmatan dan kemampuan untuk menikmatinya. Dan kapanpun Allah mampu untuk mencabut seluruh kenikmatan itu. Karena segala urusan hanya kembali kepada-Nya.

3. Fokuskan ibadahmu hanya kepada Allah dan buang perhatianmu kepada selain-Nya.

Tapi yang menarik ayat ini menggandengkan antara ibadah dan tawakal. “Sembahlah Dia dan bertawakal lah kepada-Nya.”

Ketahuilah bahwa seorang hamba belum mencapai ibadah yang sebenarnya sebelum memiliki rasa tawakal kepada Allah.

Dan seseorang yang memiliki tawakal yang kuat maka ia telah mencapai tingkat ibadah yang tinggi dihadapan-Nya.

Karena hanya orang yang pasrah dan tawakal yang akan meraih semua kemuliaan serta kecukupan dari-Nya.

وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُ

“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.Ath-Thalaq:3)

4. Dan Allah mengakhiri ayat ini dengan “Dan Tuhanmu tidak akan lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.”

Tidak ada satu pun yang terlewat dari pandangan Allah swt.

Semua yang kita lakukan tidak akan pernah lepas dari pantauan-Nya. Jangan pernah kita bersandiwara dalam perbuatan ataupun kata-kata. Karena semua itu tidak akan pernah lepas dari pandangan Allah swt.

Semoga bermanfaat…

KHAZANAH ALQURAN

Ibadah Harus Bagus

SEGALA puji hanyalah milik Allah Swt. Hanya kepada Allah semua makhluk akan kembali. Dan, hanya atas izin Allah setiap kejadian di alam semesta ini terjadi. Sholawat dan salam semoga selalu terlimpah kepada nabi Muhammad Saw, sang penutup para nabi, pembawa risalah Islam, membawa manusia dari kegelapan kepada cahaya.

Saudaraku, Allah Swt berfirman di dalam Al Quran, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzaariyaat [51] : 56)

Jelas sekali dalam ayat tersebut Allah Swt menegaskan bahwa kita diciptakan oleh-Nya adalah untuk melakukan kegiatan, beramal, berbuat dalam rangka ibadah kepada-Nya. Allah Swt menghadirkan kita di dunia ini adalah untuk menjadi hamba-Nya, untuk mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Kita ini ciptaan Allah, kita ini milik Allah, kita tinggal di bumi yang mutlak adalah milik Allah, segala kebutuhan kita hanya datang dari kekuasaan Allah, dan segala keperluan kita hanya akan tercukupi jikalau Allah yang memberi. Dan, tugas kita adalah patuh kepada-Nya.

Allah Swt berfirman, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Thalaaq [56] : 2-3)

Saudaraku, Allah Swt mustahil inkar janji. Bagi hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, Allah akan memberikan memberi jalan keluar bagi setiap persoalan hidupnya. Betapa banyak manusia yang stress, putus asa, seolah hidupnya sebentar lagi berakhir disebabkan persoalan yang ia rasa pelik dan rumit. InsyaaAllah, jika ia bertakwa kepada Allah, mudah saja bagi Allah untuk membukakan jalankeluar yang selama ini tak terlihat oleh matanya.

Allah Swt juga akan memudahkan jalan rezeki bagi setiap hamba-Nya yang bertakwa, yang patuh, yang taat. Jalan-jalan rezeki yang tidak pernah diduga-duga, yang tidak sempat terdeteksi, yang datang begitu saja. Rezeki dari-Nya menggelontor dari berbagai arah, bahkan hingga ada yang tidak disadari kedatangannya.

Dan, barangsiapa yang hatinya betul-betul haqqul yaqin bahwa hanya Allah yang kuasa mencukupi karena segalanya adalah milik Dia, maka Allah akan mencukupi segala keperluan kita.

Oleh karena itu, jikalau kita memiliki keperluan, memiliki keinginan, maka periksalah kadar kepatuhan kita kepada Allah. Carilah ilmu tentang apa saja yang Allah sukai, kemudian lakukanlah. Dan, jagalah niat saat melakukannya. Karena ibadah yang bagus itu syaratnya dua, niat yang ikhlas dan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.

Mohon maaf, mungkin kita bisa mencoba untuk membayangkan jikalau ada seorang majikan memiliki seorang pembantu yang patuh, tidak rewel, akhlaknya baik, tidak banyak keinginan selain menunaikan tugas dengan baik, tentulah majikan itu akan menyukainya. Sang majikan akan menjaganya, mencukupi keperluannya, bahkan memberikan imbalan yang lebih dari yang sudah ditentukan.

Itu baru seorang majikan yang jelas hanyalah makhluk. Apalagi jika Allah Swt. mensikapi hamba-Nya yang taat dan patuh kepada-Nya. Jikalau kita menjadi hamba yang patuh dan taat kepada Allah Swt., maka pasti Allah akan menjaga kita, mencukupi keperluan kita, melimpahkan rezeki, dan memberikan jalan keluar dari setiap persoalan hidup kita. Karena inilah janji Allah dan Allah tidak inkar janji.

Jangan takut terhadap segala persoalan yang terjadi pada hidup kita. Tapi, takutlah kalau kita tidak beribadah dengan baik kepada Allah Swt. Mudah-mudahan kita menjadi orang-orang yang istiqomah dalam ibadah yang bagus.[smstauhiid]

 

 

Oleh : KH Abdullah Gymnastiar

Cara Perbanyak Timbangan Kebaikan

Penentu masuk atau tidaknya seseorang ke dalam pintu surga adalah melalui seberapa berat timbangan amalnya selama di dunia. Ustaz Darhan Abu Furayhan menjelaskan beberapa keterangan Allah SWT dan rasul-Nya telah cukup banyak menjelaskan beberapa amal ibadah yang mampu memperbanyak timbangan kebaikan.

Dalam ceramah berjudul Pemberat Timbangan Amal di Masjid Nur ala Nur, Tambun, Kabupaten Bekasi, Ustaz Farhan menjelaskan, hal yang dapat memperberat amal adalah kunjung-mengunjungi (silaturahim), saling duduk atau berkumpul untuk mengkaji kajian agama, dan saling mengasihi karena Allah SWT.

Rasulullah bersabda, Allah SWT berfirman bahwa wajib cinta-Ku pada mereka, yaitu orang- orang yang saling mencintai karena Aku, orang orang yang saling duduk karena Aku dan orang yang saling mengunjungi karena Aku (HR Tirmidzi).

Ustaz Farhan juga menje-laskan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW bersabda bahwa terdapat tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan Allah SWT pada hari kiamat.Salah satunya orang yang saling mencintai karena Allah SWT, berkumpul karena Allah SWT, dan berpisah karena Allah SWT pula.

Selain itu, orang yang dijamin masuk surga dan tentu berat amal timbangannya adalah orang yang senantiasa menjaga tali silaturahim. Ada sebuah kisah yang diceritakan Rasulullah SAW kepada sahabatnya, Abu Hurairah RA bahwa ada seorang pemuda yang menempuh sebuah per- jalanan panjang untuk mengunjungi saudaranya.

Dalam perjalanan, turunlah seorang malaikat yang bertanya padanya Wahai fulan, hendak ke mana engkau? Lalu fulan menjawab, Aku hendak mengunjungi saudaraku di daerah ini. Lalu malaikat kembali bertanya, Apa kah kunjunganmu ini karena keuntungan duniawi yang engkau harapkan darinya (sauda ramu)? Fulan menjawab, Sama sekali tidak, saya ingin menemuinya semata-mata karena aku mencintainya karena Allah. Maka, malaikat tersebut menjawab, Sesungguhnya Allah telah cinta padamu karena engkau telah cinta pada hamba-Nya karena- Nya (HR Muslim).

Seluruh hubungan yang terjalin di dunia ini yang tidak berasas takwa atau bukan karena Allah akan sirna dan berujung pada permusuhan. Yang tersisa dan kekal hanya hubungan yang dibangun di atas takwa, kata Ustaz Farhan kepada para jamaah, belum lama ini.

Dia mengatakan, dalam Alquran tertulis, orang-orang yang saling mengasihi di dunia akan saling bermusuhan pada hari kiamat, kecuali mereka yang bertakwa kepada Allah. Menurut dia, ayat ini ditafsirkan bahwa segala hubungan yang tidak berasas pada keridhaan Allah akan sirna dan berujung pada permusuhan kecuali mereka yang berhubungan karena ketakwaan.

Dalam hadis yang disampaikan Abu Hurairah RA, Rasulullah bersabda bahwa orang yang saling mencintai pada hari kiamat akan dipanggil oleh Allah SWT. Mereka akan dinaungi oleh naungan Allah dan mereka berada di atas mimbar mimbar yang terbuat dari cahaya (HR Muslim).

Selain mempererat tali silaturahim, perbuatan yang dapat memberatkan timbangan amal adalah menuntut ilmu. Sebuah kisah diceritakan oleh sahabat Rasulullah SAW, Abu Darda RA.

Ada seorang pemuda yang datang padanya, lalu Abu Darda menanyakan alasan kedatangan pemuda tersebut.Pemuda itu pun menjawab, Sesungguhnya aku datang untuk mendengar sabda Rasulullah yang telah engkau dengar langsung darinya.

Mendengar alasan pemuda tersebut, Abu Darda langsung berkata, Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda bahwa barang siapa yang telah menempuh sebuah perjalanan untuk menuntut ilmu agama maka akan dibentangkan padanya jalan menuju surga dan malaikat akan meletakkan sayap- sayap mereka untuk para penuntut ilmu, (HR Tirmidzi).

Ustaz Farhan juga menjelaskan bahwa keutamaan orang yang berilmu (alim) dibandingkan orang yang rajin beribadah (abid) bagikan bulan purnama dan ribuan bintang. Menurut dia, satu alim lebih baik dibandingkan ratusan abid, sama halnya seperti ratusan bintang yang tidak dapat menyaingi terangnya bulan purnama.

Misalnya, ada ribuan abid yang gemar berpuasa, gemar beribadah dan lainnya, tapi jumlah mereka tidak akan bermanfaat dibandingkan seorang alim karena mereka membawa perubahan, kata Ustaz Farhan.

Dia menjelaskan, kebaikan ilmu yang dimiliki seolah alim akan menyebar kepada orang lain dan terus mengalirkan pahala bagi nya sehingga timbangan kebaik annya pun akan terus bertambah. Berbeda dengan seorang abid yang hanya mengandalkan dirinya sendiri untuk menambah timbangan kebaikannya.

Oleh karena itu, banyak ulama yang menyatakan bahwa satu alim itu lebih dahsyat pengaruh- nya bagi setan dibandingkan seribu abid karena seorang alim akan membawa perubahan dengan ilmu yang dimilikinya. Sedangkan, abid tidak dapat mengajarkan ilmu-ilmu bermanfaat kepada umat karena dia hanya dapat beribadah dan bermanfaat bagi dirinya sendiri.

REPUBLIKA

Sudahkah Anda Merasakan Lezatnya Ibadah?

MENGAPA para ulama dan salafus saleh di zaman dulu mampu melakukan amal ibadah yang membuat kita saat ini berdecak kagum? Salah satunya, karena mereka telah merasakan kenikmatan ibadah.

Di bawah ini beberapa hal yang berhubungan dengan kelezatan ibadah

1. Kelezatan ibadah adalah nikmat Allah dan sekaligus balasan amal ibadah di dunia.

Berkata Ibnu Taimiyah, “Apabila kamu belum mendapatkan balasan amal berupa kenikmatan dalam hatimu, kelapangan dalam dadamu maka curigailah amalnya, maka sesungguhnya Allah Maha Syukur, yaitu Dia harus memberi balasan orang yang beramal atas amalnya di dunia berupa kenikmatan dalam hatinya. Juga kekuatan, lapang dada, dan kesenangan. Maka jika dia belum mendapatkannya, maka amalnya pasti rusak.”

Dalam Tahdzib Madarijus Salikin hal: 312, beliau juga berkata: “Sesungguhnya di dunia ada jannah, barangsiapa yang belum memasukinya niscaya dia tidak akan memasuki jannah di akhirat.” Demikian pula dalam Al Wabil ash Shoyib Minal Kalim ath Thoyib, hal: 81

2. Sebab-sebab mendapatkan kelezatan ibadah

a. Mujahadatun nafs di atas ketaatan kepada Allah sehingga dia terbiasa taat, kadang kala jiwa maunya lari dari mulai menjalani mujahadah.

Berkata seorang salaf: “Aku senantiasa menuntun jiwaku kepada Allah, sedangkan dia dalam keadaan menangis hingga aku selalu menuntunnya sedangkan dia keadaan tertawa.”

b. Jauh dari dosa, dosa kecil maupun besar. Maka sesungguhnya maksiat adalah penghalang yang mencegah dari merasakan kelezatan ibadah karena ia akan mewariskan kerasnya hati, kasar dan kebengisan.

Berkata seorang salaf: “Tidaklah Allah menimpakan kepada hamba siksa yang lebih besar melainkan kerasnya hati.”

b. Meninggalkan berlebih-lebihan dalam makan, minum, ngobrol dan mengumbar pandangan.

Berkata seorang salaf: “Kesenangan hati dalam sedikit dosa, kesenangan perut dalam sedikit makan, kesenangan lisan dengan sedikit bicara.”

c. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah yang dilakukan dalam rangka taat untuk Allah dan hanya mencari rida-Nya, dan bahwa ibadah ini dicintai Allah, diridai dan bisa mendekatkan dirinya kepada-Nya.

d. Hendaklah hamba menghadirkan hati bahwa ibadah ini tidak sia-sia dan hilang begitu saja seperti harta. Dia sangat membutuhkannya, akan mendapatkan buahnya di dunia dan di akhirat. Maka barangsiapa yang menghadirkannya, dia tidak mempermasalahkan apa yang tidak didapat di dunia. Dia menyenangi ibadah dan mendapatkan kenikmatannya.

3. Perbaiki ibadah Anda segera. Hal itu bisa dilakukan dengan berusaha:

-agar kita salat dengan khusyuk’

-agar kita baca Alquran dengan tadabur (memikirkan dan memahami)

-agar hati kita tidak lalai dalam zikir dan doa

-agar kita bisa menikmati jalan dakwah dan jihad. []

Sumber: Kiriman pengasuh Pondok Pesantren Al Ihsan, Desa Mojorejo, Kecamatan Kebonsari, Madiun.