Imam Bukhari dan Imam Nawawi di Depan ‘Pintu Istana’

IMAM Bukhari (256 H) juga pernah mendapat perlakuan kejam dari penguasa. Dalam Hadyu As Sari (226) disebutkan, ketika beliau memasuki Bukhara, semua mata manusia tertuju kepadanya, termasuk penguasa negeri itu, Khalid bin Ahmad bin Khalfah bin Thahir.

Akhirnya ia meminta Imam Bukhari datang ke istana dan mengajarkan Kitab Shahih dan Tarikh Al Bukhari. Tentu Imam Bukhari menolak.

Bukan hendak menutup pintu ilmu bagi mereka, akan tetapi beliau tidak mau mengajar kaum bangsawan, dengan meninggalkan para pencari ilmu dari kalangan rakyat jelata.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa Imam Bukhari mengatakan, kepada utusan Sultan, ”Katakan kepadanya, saya tidak akan merendahkan ilmu, dan membawanya ke pintu-pintu Istana, jika ia membutuhkan suatu darinya (ilmu) maka datanglah ke masjid atau rumahku.”

Sikap Imam Bukhari ini membuat penguasa marah dan mengusir ulama hadits ini dari Bukhara. Di sebuah desa kecil di wilayah Samarkand beliau memutuskan untuk tinggal. Di desa itu pula, sebulan kemudian beliau wafat.

Keberanian Imam An Nawawi (676 H) dalam menolak kebijakan penguasa, juga terlalu penting untuk dilewatkan. Saat Dhahir Bebres usai menghadapi Pasukan Tatar di Syam, ia meminta fatwa para ulama wilayah itu tentang bolehnya mengambil pajak dari rakyat guna membantu peperangan. Para fuqaha Syam pun membolehkan.

“Masih tersisa ada ulama lain?” Tanya Dhahir.

“Iya, tinggal Syeikh Muhyiddin An Nawawi” Jawab salah satu dari mereka.

Akhirnya Imam Nawawi diminta datang. Setelah itu, Dhahir meminta agar beliau ikut menulis fatwa yang isinya sama seperti ulama yang lain. Tapi apa yang terjadi? Ternyata Imam Nawawi menolak.

Beliau malah mengingatkan Dhahir, bahwa ia memiliki seribu budak, tiap budak membawa emas serta dua ratus budak perempuan, masing-masing mengenakan gelang emas.

“Jika engkau telah gunakan itu semua, dan tinggal para budak laki-laki dan budak perempuan yang masih lengkap dengan pakaian tanpa gelang. Maka saya baru akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat.” tutur An Nawawi.

Setelah mendengar jawaban Imam Nawawi, Dhahir marah, ”Keluar dari negeriku!” Perintahnya kepada Imam Nawani.

“Saya mendengar dan mentaati.” Jawab ulama besar ini. Kemudian, penulis ktab Al Adzkar ini keluar dari kota Damaskus menuju desa Nawa.

Setelah peristiwa itu, para ulama merasa kehilangan, mereka menyatakan kepada Dhahir,”Nawawi termasuk orang shalih dan ulama besar kami, yang kami jadikan tauladan, kembalikan dia ke Damaskus.”

Kemudian, Imam Nawawi diminta kembali, tapi beliau enggan dan menjawab,”Saya tidak akan masuk Damaskus, selama Dhahir masih di sana.” Setelah itu, satu bulan kemudian, Imam Nawawi wafat.*

HIDAYATULLAH