‘Implikasi besar’ Dipindahnya Kedutaan AS ke Baitul Maqdis

MENGAKUI Yerusalem (Baitul Maqdis) sebagai ibukota Israel mungkin hanya simbolis, namun menurut para analist hal tersebut  akan sangat berpengaruh bagi warga Palestina,  orang Arab dan umat Islam.

Presiden Institut Arab Amerika, James Zogby mengatakan bahwa memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem (Baitul Maqdis) tidak akan mengakhiri proses perdamaian karena pada dasarnya tidak ada upaya perdamaian.

“Saya juga tidak akan mengatakan bahwa hal tersebut mendiskreditkan Amerika Serikat karena AS telah didiskreditkan sehubungan dengan konflik Israel-Palestina,” Zogby menambahkan.

“Yang ingin saya katakan adalah bahwa ini merupakan tindakan yang bodoh dan berisiko karena akan menyulut amarah dan membahayakan jiwa manusia.”

Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan berpindahnya kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem (Baitul Maqdis) sekaligus mengakui kota suci tersebut sebagai ibu kota Israel.

Meski keputusan tersebut dapat memperkuat bias Washington-pro-Israel, para analis mengatakan, simbolisme tersebut tidak hanya menghina orang-orang Palestina, tapi juga orang Arab dan Muslim di seluruh dunia.

Yerusalem telah menjadi simbol rasa sakit dan pengkhianatan sejarah yang ditimpakan pada orang-orang Arab, kata Zogby.

“Ini sebuah luka yang tak terobati, dan hal tersebut hanya akan memperkeruh suasana,” katanya kepada Middle East Eye.

Graeme Bannerman, seorang mantan analis di Departemen Luar Negeri AS sekaligus seorang sarjana di Middle East Institute, menitikberatkan permasalahan simbolisme Baitul Maqdistersebut.

Ketika ditanya apakah langkah tersebut akan berarti bagi proses perdamaian, Bannerman berkata: “Proses perdamaian apa?”

Amerika Serikat mendukung negosiasi antara Israel dan Palestina untuk menemukan penyelesaian konflik dalam kerangka solusi dua negara yang tidak mengalami perubahan sejak tahun 2014, sementara Israel telah memperluas permukiman ilegal di Tepi Barat.

Selama kampanye pemilihan umum AS tahun 2016, Trump berjanji untuk menjamin “kesepakatan akhir” guna mengakhiri konflik.

Presiden AS tersebut, yang bangga atas kemampuan dirinya dalam bernegosiasi, telah menugaskan menantunya Jared Kushner dengan menghidupkan kembali perundingan damai antara pemerintah Israel dan Otoritas Palestina.

Mengakui Baitul Maqdis sebagai Ibu Kota Israel akan membahayakan usaha Trump untuk menyelesaikan konflik tersebut, kata Bannerman.

“Proses tersebut benar-benar belum tercapai, dan hal ini tentu saja tidak akan membantu untuk bisa mencapainya,” katanya kepada MEE.

‘Implikasi besar’

Menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh AAI yang dirilis pada hari Selasa, 33 persen dari pendukung partai Republik sepakat memindahkan kedutaan ke Baitul Maqdis dan 19 persen menginginkan tetap di Tel Aviv, sementara 48 persen tidak yakin atau abstain. Secara keseluruhan, hanya 20 persen responden yang menyetujui kedutaan pindah.

Bannerman mengatakan bahwa mengakui Baitul Maqdis sebagai ibu kota Israel adalah bentuk politik dalam negeri sebagai upaya untuk memenuhi janji kampanye. Hal tersebut memiliki “implikasi besar” bagi kedudukan Amerika di Timur Tengah, yang menyatakan bahwa status terakhir Baitul Maqdis seharusnya ditentukan oleh kesepakatan antara Israel dan Palestina.

“Ini adalah perubahan mendasar dalam posisi negosiasi Amerika,” katanya.

Namun AS tetap berada dalam posisi yang khusus untuk menekan kedua belah pihak, terutama Israel, guna melakukan kompromi.

“Hal ini memunculkan pertanyaan terkait  objektivitas Amerika Serikat sebagai negosiator Timur Tengah, tapi sejujurnya selama 25 tahun terakhir Amerika Serikat menjadi negosiator yang berat sebelah,” kata Bannerman.

Menyatakan bahwa Baitul Maqdis adalah ibu kota negara Yahudi pada dasarnya mengesampingkan penentuan nasib sendiri Palestina, mengabaikan hak kami untuk sebuah negara merdeka.* (BERSAMBUNG)

Oleh: Ali Harb

 

HIDAYATULAH.com