Ini Akibat Bila tak Laksanakan Nazar

Ada seorang jemaah bercerita: Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata, “Aku bernazar, kalau lalai melaksanakan salat, maka aku harus menghapal surat pendek Alquran.”

Ternyata dia beberapa kali lalai salat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Alquran yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Dia bertanya,” (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Alquran lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?

Ustaz Muhammad Shiddiq Al-Jawi menjawab, kata-kata muslim di atas jelas merupakan nazar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nazarnya untuk menghapal surat-surat pendek Alquran.

Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernazar tapi tidak mampu melaksanakan nazarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nazar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda: “Kaffarah nazar adalah kaffarah sumpah.” (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda: “Barangsiapa bernazar sesuatu nazar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah.” (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).

Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nazar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89: “maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (QS Al-Ma`idah [5] : 89)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata: “Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Taala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).

Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu: (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafii masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).

Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap sedekah yang hukumnya sunah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.

Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nazar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nazar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnyaNailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut: “Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,”Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya.” Maka Rasulullah SAW berkata,Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya.” (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).

Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari an muwarritsihi fi jamiii al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nazar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nazarnya. Wallahu alam.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2340905/ini-akibat-bila-tak-laksanakan-nazar#sthash.mcuHFzQR.dpuf