Apa Itu Nazar? Bagaimana Pengertian Nazar dalam Islam?

Apa itu nazar? Berikut pengertian nazar dan ketentuanya dalam syariat Islam. Pasalnya, banyak orang yang bertanya terkait pengertian apa itu nazar dan penjelasan lengkap menurut ulama Islam. (Baca: Bernazar Puasa Senin-Kamis Seumur Hidup, Apakah Boleh? )

Pengertian Nazar

Pengertian nazar adalah sebuah kesepakatan seorang hamba dengan tuhanya atas capaian yang diberikan kepadanya. Nazar secara etimologi berarti janji sedangkan secara terminologi adalah menyanggupi melakukan ibadah semata-mata karena qurbah (mendekatkan diri kepada Allah Swt.)

Para ulama berbeda pendapat soal hukum nazar. Di dalam kitab Fathul Mu’in, Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy menerangkan bahwa nazar sendiri adalah ibadah, sehingga sebagian ulama mengatakan bahwa nazar hukumnya sunnah.

Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa nazar hukumnya makruh, karena ada dalil yang melarangnya. Kebanyakan ulama menghubungkan pelarangan tersebut kepada nazar lajaj. Nazar lajaj memberi pengertian bahwa melakukan ibadah karena suatu perbuatan atau ditinggalkannya.

Perbedaan tersebut didorong adanya suatu pemikiran oleh para ulama bahwa nazar bisa saja menjadi dorongan hamba untuk mendekatkan diri kepada tuhan nya, sehingga seorang hamba bisa menyanggupi akan melakukan ibadah tanpa menggantungkan dengan sesuatu yang diharapkan dan mengandung kata kepastian. Misalnya “Saya bernazar akan bersedekah satu juta apabila diterima PNS”.

Apabila seorang tadi keterima PNS wajib baginya bersedekah sesuai nominal yang ditetapkan sebelumnya. Jika tidak, maka wajib baginya membayar kafarat (denda). Ini yang dalam kajian fikih dinamakan nazar tabarrur.

Disisi lain nazar dibuat untuk penggantungan pelaksanaan ibadah, baik itu dilakukanya maupun tidak, dan tidak mengandung kata kepastian. Misalnya ”Jika saya masuk rumah atau tidak keluar rumah maka akan kukerjakan puasa atau sedekah karena Allah”.

Dengan demikian nadzir (penadzar) bisa memilih menunaikan nazar atau tidak sebab kesepakatnya masih abstrak. Nazar semacam ini adalah nazar yang belum sah menurut syariat Islam. Dan nazar tersebut dalam kajian fiqih dinamakan nazar lajaj. (Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy, Fathul Mu’in, penerbit menara kudus, Juz 2 hal. 145) 

Seperti halnya ibadah yang lain nazar juga memiliki ketentuan yang sudah disyariatkan dalam Islam. Dari keterangan diatas sedikit mengambarkan bahwa ada nazar yang memang sah menurut syariat dan tidak sah menurutt syariat. Tulisan sederhana ini akan membahas soal definisi nazar dan ketentuan nazar mana yang sah dan tidaknya menurut syariat.

Definisi dan Syarat Utama Nazar

Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Al-Malibiriy mendefinisikan nazar sebagai berikut:

اَلنَّذْرُ اِلْتِزَامُ مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ رَشِيْدٍ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ نَفْلًا كَانَتْ اَوْ فَرْضَ كِفَايَةٍ

Artinya: Nazar ialah penetapan pelaksanaan ibadah (bukan fardu ain) baik sunnah atau fardu kifayah oleh orang muslim, mukallaf yang rasyid (pandai berbuat).

Dari definisi diatas memberi pengertian bahwa syarat utama nazar adalah nadzir (penazar) harus beragama Islam, mukallaf dan rasyid. Selanjutnya sesuatu yang dinazarkan tidak tergolong fardu ain seperti shalat lima waktu, puasa, zakat, haji dll.

Nazar Sah Menurut Syariat Islam 

Para ulama sepakat bahwa keabsahan nazar apabila sudah memenuhi syarat diatas dan sesuatu yang dinazarkan tergolong sunnah atau fardu kifayah. Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy memberi contoh dalam kasus ini semisal nazar pelanggengan shalat witir, menjenguk orang sakit, menikah jika telah sampai hukum sunnah dalam dirinya dll.

Lebih lanjut Syaikh Zainuddin Al-Malibiriy menerangkan nazar bisa sah untuk orang mukallaf apabila dengan lafadz munjaz (lestari), yaitu menetapkan pelaksanaan ibadah tanpa dengan menggantungkan pada suatu kejadian.

Misalnya “kami wajib melakukan ini karena Allah”. Artinya bukan semata-mata karena ia tercapai sesuatu yang ia nazarkan, akan tetapi lebih ke sesuatu kewajiban ia atas tuhanya untuk mendekatkan diri kepada tuhanya. Ini yang tadi diatas dinamakan nazar tabarrur.

Nazar juga dikatakan sah apabila menggunakan lafadz muallaq (tergantung pelaksanaannya pada suatu kejadian). Yaitu menetapkan ibadah sebagai imbalan terjadinya suatu kenikmatan yang digemari atau tersingkirnya suatu bencana.

Misalnya ”jika Allah menyembuhkan penyakit kami ini atau menyelamatkan diri kami maka kami wajib begini, atau akan melakukan begini”. Nazar dalam kasus ini dinamakan nazar Mujazah.

Selanjutnya diterangkan dalam kitab Muhadzab bahwa:

وَلَايَصِحُّ النَذْرُ اِلَّا بِالْقَوْلِ

Artinya: Nazar tidak sah kecuali dengan sebuah ucapan (Abu Ishaq as-Syairazi, Al-Muhadzab, Juz 1 hal. 443).

Dari pernyataan diatas dapat diberi pengertian bahwa keabsahan nazar tidak cukup dengan niat dalam hati. Akan tetapi harus dibarengi ucapan yang dianggap sah menurut syariat. Nazar oleh syaikh Zainuddin Al-Malibary diibaratkan seperti akad dalam jual beli, artinya harus jelas dan ada kepastianya.

Nazar Tidak Sah Menurut Syariat Islam

Nazar yang tidak sah menurut syariat Islam apabila bernazar dengan perbuatan maksiat misalnya berpuasa pada hari tasyriq, shalat tanpa ada sebab pada waktu-waktu makruh dan tentu tindakan maksiat lainya.

Termasuk (dalam kutip tindakan maksiat) adalah perbuatan makruh misalnya shalat diatas makam atau nazar pemberian khusus kepada salah satu ayah ibu atau anak-anaknya (ditakutkan terjadinya kecemburuan sosial).

Begitu juga tidak sah apabila bernazar dengan sesuatu yang mubah. Misalnya “Saya nazar makan dan minum karena Allah”. Sekalipun ia berniat agar kuat atau semangat melakukan ibadah. Menurut pendapat yang paling sahih menazarkan perbuatan jaiz tidak sah menurut syariat. (Fathul Muin, Menara Kudus, Juz 2 hal. 147).

Selain itu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib yang tergolong fardhu ain seperti shalat lima waktu. Sebab shalat lima waktu meskipun tidak dinazarkan sudah menjadi kewajiban seorang muslim. (Sayyid Ahmad bin Umar As-Syatiri, al-Yaqu an-Nafis fi Madzhabi Ibni Idris, hal. 227). 

Kesimpulan 

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa nazar adalah sebuah janji seorang hamba kepada Tuhan. Maka kewajiban seorang hamba untuk melaksanakan atas dasar kewajiban, bukan untuk penggantungan ibadah karena capaiannya sebuah harapan.

Keabsahan nazar hanya diperuntukkan perbuatan yang sunnah dan fardhu kifayah, diniatkan dengan hati serta diucapkan lewat lisan oleh orang Islam yang mukallaf dan rasyid (pandai berbuat).  Keabsahan nazar juga harus mengandung lafadz kepastian untuk menyanggupi melakukan suatu yang dinazarkan.

Efek dari sebuah nazar adalah perkara yang asalnya sunnah atau fadhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya. Nazir (penazar) wajib melakukan apa yang ditetapkan oleh nazarnya seketika itu juga, jika tidak maka kewajibannya untuk membayar Kafarat (denda).

Adapun denda bagi pelanggar nazar adalah bisa memilih antara tiga hal (1) memerdekakan budak (2) memberi makan sepuluh orang miskin (0,6 kilogram / tiga per empat liter beras) (3) memberi 10 pakaian orang miskin. Jika tidak mampu atas tiga hal tadi maka wajib baginya puasa selama tiga hari. Wallahuaalam.

BINCANG SYARIAH

Bernazar Puasa Senin-Kamis Seumur Hidup, Apakah Boleh?

Nazar biasanya dilakukan oleh seseorang dengan niat agar harapannya tercapai, dan ada juga dengan niat agar dirinya diberi kesembuhan dari penyakit yang diderita, dan tujuan dan niat lainnya. Bahkan ada sebagian orang yang melakukan nazar ingin berpuasa Senin-Kamis seumur hidup jika dirinya diberi kesembuhan dari penyakit yang dideritanya. Sebenarnya, bagaimana hukum bernazar puasa Senin-Kamis seumur hidup ini, apakah boleh?

Melakukan nazar puasa Senin-Kamis seumur hidup hukumnya adalah boleh. Tidak masalah melakukan nazar puasa Senin-Kamis seumur hidup, baik nazar itu dikaikatkan dengan kesembuhan dari penyakit dan lainnya, maupun tidak dikaitkan dengan apapun. Jika dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, misalnya, maka puasa nazar Senin-Kamis itu menjadi wajib dilakukan jika penyakitnya sudah sembuh.

Terkait puasa nazar Senin-Kamis ini, meskipun pada dasarnya adalah sunnah, namun jika diniatkan sebagai nazar, maka hukumnya menjadi wajib. Artinya, jika dilakukan akan mendapatkan pahala sebagaimana perbuatan wajib, dan jika ditinggalkan akan mendapatkan dosa dan harus membayar fidyah dengan ukuran satu mud beras dalam satu hari puasa yang ditinggalkan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

السؤال: نذرت أن أصوم كل إثنين وخميس والأيام البيض ما دمت حية، ما حكم نذري؟

الجواب: النذر قربة من القربات أمر الله تعالى بالوفاء به، قال تعالى: وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وقد مدح الله تعالى الذين يوفون بنذرهم بقوله تعالى: يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا، ونذر صوم أيام الإثنين والخميس والأيام البيض يجعل صوم هذه الأيام واجباً وأجر صيامها أجر فعل الواجب لا أجر النفل؛ لذا عليك الوفاء بنذرك ما استطعت إلى ذلك سبيلاً؛ لأنه بالنذر أصبح واجباً عليك، ويبقي النذر في ذمتك ما دام أنك تستطيعين الصوم

Pertanyaan; Aku bernazar berpuasa Senin-Kamis dan ayyamul bidh selama saya hidup, bagaimana hukum nazarku?

Jawaban; Nazar termasuk perbuatan ibadah yang diperitahkan oleh untuk ditepati. Allah berfirman; Hendaklah mereka menepati nazar-nazar mereka. Allah juga memuji orang-orang yang menepati melalui firman-Nya; Mereka menepati nazar mereka, dan mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.

Adapun bernazar puasa Senin-Kamis dan ayyamul bidh menyebabkan puasa di hari-hari tersebut menjadi wajib dan pahalanya sama seperti melakukan puasa wajib, bukan puasa sunnah. Karena itu, wajib bagimu menepati nazarmu selama kamu melakukannya. Karena puasa itu menjadi wajib dengan nazar, dan nazar tetap menjadi tanggunganmu selama kamu melakukan puasa.

BINCANG SYARIAH

Ketika Punya Hajat, Sebaiknya Bernazar Atau Berdoa?

Terdapat sebagian orang yang sering melakukan nazar ketimbang minta didoakan ketika dia punya hajat tertentu. Misalnya, ketika dia punya hajat agar bisa diterima menjadi PNS, dia bilang pada seseorang, ‘Jika aku diterima menjadi PNS, aku akan membelikanmu baju.’ Nazar ini dia lakukan dengan harapan agar melalui nazar tersebut hajatnya bisa tercapai. Sebenarnya, ketika punya hajat, sebaiknya bernazar atau memperbanyak berdoa kepada Allah?

Menurut para ulama, ketika kita punya hajat tertentu, baik hajat yang bersifat duniawi maupun ukhrawi, kita dianjurkan untuk memperbanyak berdoa kepada Allah agar hajat tersebut bisa tercapai ketimbang kita melakukan nazar. Meski nazar dalam Islam diperbolehkan, namun hal itu tidak dianjurkan untuk kita lakukan. Bahkan Islam cenderung melarang nazar karena nazar tidak bisa menjadi sebab apapun untuk tercapainya sebuah hajat.

Ini sebagaimana hadis riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim, dari Ibnu Umar, dia berkata;

نَهَى النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم عَنِ النَّذْرِ قَالَ: إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Nabi Saw melarang untuk bernazar, beliau bersabda; Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.

Juga hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Nabi Saw bersabda;

لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ

Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.

Ini berbeda dengan doa. Dalam Islam, berdoa sangat dianjurkan dalam setiap waktu dan keadaan, terutama ketika kita punya hajat tertentu. Selain itu, doa bisa merubah ketetapan Allah. Sehingga jika kita punya hajat tertentu, maka kita sebaiknya memperbanyak berdoa ketimbang nazar. Karena doa itulah yang bisa menjadi sebab hajat kita cepat tercapai dan dikabulkan oleh Allah.

Ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa berikut;

ليس النذر سببا لحصول مطلوبه كالدعاء فإن الدعاء من أعظم الأسباب وكذلك الصدقة وغيرها من العبادات جعلها الله تعالى أسبابا لحصول الخير ودفع الشر إذا فعلها العبد ابتداء

Nazar bukanlah sebab untuk mendapatkan apa yang diinginkan, sebagaimana doa. Sesungguhnya doa termasuk sebab terbesar untuk mendapatkan yang diinginkan, demikian pula sedekah dan ibadah lainnya, yang Allah jadikan sebagai sebab untuk mendapatkan kebaikan dan menghindari keburukan, ketika dilakukan seorang hamba tanpa nazar.

BINCANG SYARIAH

3 Jenis Nazar yang tidak Boleh Diucapkan Muslim

Tidak semua nazar diperbolehkan dalam syariat

Nazar berarti mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT. 

Nazar telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum masa Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat Ali Imran ayat 35: 

إِذْ قَالَتِ امْرَأَتُ عِمْرَانَ رَبِّ إِنِّي نَذَرْتُ لَكَ مَا فِي بَطْنِي مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلْ مِنِّي ۖ إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku bernazar kepada-Mu, apa (janin) yang dalam kandunganku (kelak) menjadi hamba yang mengabdi (kepada-Mu), maka terimalah (nazar itu) dariku. Sungguh, Engkaulah Yang Mahamendengar, Mahamengetahui.” 

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Mahapengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam 26)   

Namun ada beberapa ketentuan yang harus dilakukan seseorang ketika bernazar, di antaranya adalah larangan-larangan dalam bernazar yaitu sebagai berikut.:  

Pertama, dilarang bernazar untuk menolak takdir.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَنْهَانَا عَنْ النَّذْرِ وَيَقُولُ إِنَّهُ لَا يَرُدُّ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الشَّحِيحِ

Abdullah bin Umar RA, dia berkata, “Suatu hari Rasulullah SAW melarang kami bernadzar, beliau bersabda: “Sesungguhnya (nazar) tidak dapat menolak sesuatu, hanya saja ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang yang pelit (tidak mau beramal).” (HR Muslim)

Kedua, dilarang bernazar untuk mengubah takdir. Karena nazar tidak akan mempercepat terkabulnya keinginan atau memperlambat datangnya sesuatu. 

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ النَّذْرُ لَا يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلَا يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنْ الْبَخِيلِ

Dari Ibnu Umar RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda, “Nazar itu tidak dapat mempercepat datangnya sesuatu dan tidak pula melambatkannya, akan tetapi ia untuk mengeluarkan sesuatu dari orang bakhil.” (HR Muslim).

Ketiga, dilarang bernazar untuk maksiat kepada Allah SWT.

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ كَانَتْ ثَقِيفُ حُلَفَاءَ لِبَنِى عُقَيْلٍ فَأَسَرَتْ ثَقِيفُ رَجُلَيْنِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَسَرَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ بَنِي عُقَيْلٍ وَأَصَابُوا مَعَهُ الْعَضْبَاءَ فَأَتَى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْوَثَاقِ قَالَ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ فَقَالَ بِمَ أَخَذْتَنِي وَبِمَ أَخَذْتَ سَابِقَةَ الْحَاجِّ فَقَالَ إِعْظَامًا لِذَلِكَ أَخَذْتُكَ بِجَرِيرَةِ حُلَفَائِكَ ثَقِيفَ ثُمَّ انْصَرَفَ عَنْهُ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِيمًا رَقِيقًا فَرَجَعَ إِلَيْهِ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي مُسْلِمٌ قَالَ لَوْ قُلْتَهَا وَأَنْتَ تَمْلِكُ أَمْرَكَ أَفْلَحْتَ كُلَّ الْفَلَاحِ ثُمَّ انْصَرَفَ فَنَادَاهُ فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ يَا مُحَمَّدُ فَأَتَاهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكَ قَالَ إِنِّي جَائِعٌ فَأَطْعِمْنِي وَظَمْآنُ فَأَسْقِنِي قَالَ هَذِهِ حَاجَتُكَ فَفُدِيَ بِالرَّجُلَيْنِ قَالَ وَأُسِرَتْ امْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ وَأُصِيبَتْ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتْ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَيْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنْ الْوَثَاقِ فَأَتَتْ الْإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنْ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ قَالَ وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتْ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ الْعَبْدُ وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ حُجْرٍ لَا نَذْرَ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ

Dari ‘Imran bin Hushain dia berkata, bahwa Tsaqif adalah pelayan Bani ‘Uqail, lalu bani Tsaqif menawan dua sahabat Nabi SAW, sementara sahabat Rasulullah menawan seseorang dari Bani ‘Uqail bersama dengan seekor untanya. 

Rasulullah SAW kemudian mendatanginya sementara ia dalam keadaan terikat, laki-laki tawanan itu berkata, “Wahai Muhammad!” Beliau menimpalinya, “Ada apa denganmu?” laki-laki itu berkata, “Apa alasanmu menawanku, dan apa alasanmu menawan unta pacuanku yang larinya cepat?” beliau menjawab: “Itu aku lakukan sebagai pembalasan karena dosa sekutumu, Tsaqif!” Kemudian beliau beranjak pergi. 

Laki-laki itu kembali menyeru beliau seraya mengatakan, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad! 

Rasulullah adalah sosok yang pengasih lagi santun lalu beliau kembali menemuinya dan bersabda, “Apa keperluanmu?” laki-laki itu menjawab, “Sekarang saya Muslim.” 

Beliau bersabda, “Sekiranya yang kamu katakan benar, sedangkan kamu dapat mengendalikan urusanmu, sungguh kamu akan mendapatkan segala keberuntungan.”  

Kemudian beliau beranjak pergi, namun laki-laki itu menyerunya sambil berkata, “Wahai Muhammad, wahai Muhammad.” Beliau lalu menemuinya sambil bersabda, “Apa keperluanmu?” Laki-laki itu berkata, “Aku lapar maka berilah makan kepadaku, dan aku juga haus maka berilah aku minum!” Beliau bersabda, “Ini kebutuhanmu.” 

Dikemudian hari, laki-laki itu ditebus dengan dua orang (sahabat Nabi).” Imran berkata, “Lalu seorang wanita Anshar tertawan (musuh) bersama dengan unta beliau yang biasa disebut dengan Adlba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga dia temui ‘adlba’.  

Jadilah dia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu dia menghardiknya hingga berlari kencang. Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.  

Wanita itu sempat bernazar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta ‘adlba’ itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, “Ini adalah adlba’, unta Rasulullah!” 

Wanita itu berkata (dengan redaksi), “Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya.” Lalu orang-orang menemui Rasulullah SAW dan memberitahukan kepada beliau tentang nazarnya.

Maka Rasulullah berkomentar, “Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan dia kepadanya, ia bernazar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka dia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nazar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki seorang hamba.” Dalam riwayat Ibnu Hujr, disebutkan, “Tidak ada nazar dalam bermaksiat kepada Allah.”  

KHAZANAH REPUBLIKA

Bernazar Tapi Tidak Dijalankan, Apa Hukumnya?

Apa hukumnya bila tidak menjalankan sesuatu yang telah dinazarkan?Pertanyaan ini banyak diajukan setiap Muslim.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta Mesir, Syekh Mahmud Syalaby, menjelaskan jika seseorang telah bernazar tetapi dia tidak sanggup memenuhi janjinya, maka yang bersangkutan harus menebus dosa tersebut.

Penebusannya yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin masing-masing senilai 10 pound Mesir (1 pound Mesir sekitar Rp 900). Setelah dosa ini ditebus, maka tidak ada nazar.

Anggota Fatwa Dar Al Ifta yang lain, Syekh Uwaidah Utsman juga menyampaikan hal senada. Jika seorang Muslim yang telah bernazar lalu tidak mampu menjalankan nazar tersebut, maka ia harus menebusnya karena telah melanggar nazar tersebut.

Syekh Utsman mengatakan, Rasulullah SAW telah bersabda, “Melanggar nazar adalah (sama saja dengan) melanggar sumpah.” Cara menebusnya adalah dengan memberi makan 10 orang miskin. Allah SWT berfirman:

“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS Al Maidah ayat 89)

Syekh Utsman juga mengingatkan, seorang Muslim yang telah bersumpah sesuatu kepada Allah SWT harus memenuhi sumpah itu. Sumpah maupun nazar ini wajib dipenuhi. “Memenuhi nazar adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang berjanji untuk melakukan sesuatu demi Allah SWT selama dia mampu,” tutur Syekh Utsman.

Selain itu Allah SWT pun memuji orang-orang yang memenuhi nazarnya dalam ketaatan kepada-Nya. Allah berfirman, “Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS Al-Insan ayat 7)

IHRAM

Cara Membatalkan Nazar Mutlak

Cara Membatalkan Nazar Mutlak

Bagaimana cara membatalkan nazar mutlaq?

Dari Chandra via Tanya Ustadz for Android

Jawab:

Alhamdulillah, shalawat dan salam atas Nabi Muhammad. Amma Ba’du:

Nazar Muthlaq yaitu mewajibkan atas diri sendiri melakukan suatu amalan kebaikan yang tidak wajib atasnya tanpa mengharapkan balasan tertentu, seperti seorang mengatakan: Saya bernadzar untuk berpuasa secara bersambung tanpa putus selama sebulan penuh.

Dan dia tidak menyebutkan kalau saya lulus ujian atau mendapatkan kesembuhan dari penyakit yang diderita atau serupa dengannya, maka saya melakukan amal tersebut. Artinya dia bernazar tanpa mengharapkan balasan tertentu.

Apabila seseorang bernazar maka wajib baginya untuk melaksanakan nazar tersebut. Akan tetapi jika keadaan tidak memungkinkan baginya untuk melaksanakan nazarnya, maka dia boleh membatalkan nazar tersebut dengan membayar kaffarat yang sama dengan kaffarat seorang yang melanggar sumpahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ

Kaffarat orang yang melanggar nadzarnya adalah sebagaimana kaffarat orang yang melanggar sumpahnya. (HR. Muslim No.1265)

Allah Ta’ala menjelaskan kaffarat orang yang melanggar sumpah dengan firmanNya:

فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ ۖ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ۚ ذَٰلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ ۚ

Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka (orang miskin) atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (Al Maidah:89)

Jadi, jika seseorang bernazar dengan nazar muthlaq, maka pada asalnya wajib bagi dia untuk memenuhi nadzarnya tersebut; dan jika dia tidak melakukannya maka wajib atasnya membayar kaffarat. Kaffarat nazar adalah sama dengan kaffarat sumpah yaitu dengan memilih satu dari tiga pilihan: memberi makan atau pakaian sepuluh orang miskin, atau membebaskan seorang budak, atau berpuasa sebanyak tiga hari.

Wallahu’alam.

***

Dijawab oleh Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf , Lc. MA. (Dosen Ilmu Hadist STDI Jember)

Read more https://konsultasisyariah.com/35551-cara-membatalkan-nazar-mutlak.html

Ini Akibat Bila tak Laksanakan Nazar

Ada seorang jemaah bercerita: Ada seorang muslim dalam keterbatasan ilmu pernah berkata, “Aku bernazar, kalau lalai melaksanakan salat, maka aku harus menghapal surat pendek Alquran.”

Ternyata dia beberapa kali lalai salat sehingga dia sudah tidak ingat berapa banyak surat Alquran yang harus dihapal. Dia sudah berusaha menghapal, tapi terbatas dalam kemampuan daya ingatnya. Dia bertanya,” (1). Apakah kata-kata muslim tersebut termasuk sumpah dan harus bayar kaffarah?; (2) Apakah memberi beras 100 kg kepada panti asuhan bisa sebagai pembayaran kaffarah dan dia tidak harus menghapal Alquran lagi?; (3) Bisakah wali muslim tersebut, membantu menghapal?

Ustaz Muhammad Shiddiq Al-Jawi menjawab, kata-kata muslim di atas jelas merupakan nazar, bukan sumpah. Yang menjadi masalah adalah muslim tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan nazarnya untuk menghapal surat-surat pendek Alquran.

Solusi untuk masalah tersebut adalah sebuah hukum syara yang digali dari nash-nash hadis, yaitu bahwa barangsiapa yang bernazar tapi tidak mampu melaksanakan nazarnya, wajib atasnya untuk membayar kaffarah (tebusan) nazar, yang sama dengan kaffarah untuk sumpah (yamin) yang tidak terlaksana. Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA bahwa Rasululah SAW bersabda: “Kaffarah nazar adalah kaffarah sumpah.” (HR Muslim, no. 1645, At-Tirmidzi, no. 1528; An-Nasa`i, no. 3832; Abu Dawud, no. 3323, lafazh hadits adalah lafazh Muslim).

Dari Ibnu Abbas RA bahwa bahwa Rasululah SAW bersabda: “Barangsiapa bernazar sesuatu nazar yang tidak mampu dilaksanakannya, maka kaffarahnya adalah kaffarah sumpah.” (HR Abu Dawud, no. 3322, dan Ibnu Majah, no. 2128).

Berdasarkan dalil-dalil ini, maka jelaslah bahwa kaffarah untuk orang yang tidak mampu melaksanakan nazar adalah dengan membayar kaffarah sumpah, yaitu sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Al-Maidah ayat 89: “maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar).” (QS Al-Ma`idah [5] : 89)

Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya berkata: “Ini adalah tiga macam kaffarah sumpah, mana saja yang dikerjakan oleh pelanggar sumpah, akan mencukupinya menurut ijma ulama. Tiga macam kaffarah tersebut dimulai dari yang paling ringan dan seterusnya, sebab memberi makan lebih ringan daripada memberi pakaian, sebagaimana memberi pakaian lebih ringan daripada membebaskan budak. Jadi kaffarah ini meningkat dari yang rendah kepada yang lebih tinggi. Jika mukallaf tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga macam kaffarah ini, maka dia menebus sumpahnya dengan berpuasa selama tiga hari, sebagaimana firman Allah Taala: Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”(Tafsir Ibnu Katsir, 3/176).

Jadi, ayat di atas menjelaskan ada tiga macam kaffarah sumpah yang boleh dipilih mana saja salah satunya oleh pelanggar sumpah, yaitu: (1) memberi makan untuk sepuluh orang miskin, dari makanan yang biasanya diberikan seseorang kepada keluarganya, yang menurut Imam Syafii masing-masing diberi satu mud; atau (2) memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, misalnya masing-masing diberi satu baju gamis, atau satu celana panjang, atau satu sarung, dan sebagainya, atau (3) membebaskan seorang budak, yaitu budak mukmin. Jika dia tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga kaffarah ini, maka dia berpuasa selama tiga hari (tidak disyaratkan berturut-turut). (Lihat Imam Jalaluddin As-Suyuthi & Jalaludin Al-Mahalli, Tafsir Al-Jalalain, 2/257, Maktabah Syamilah).

Jika penanya ingin membayar kaffarah dengan beras, maka yang wajib diberikan adalah memberi beras kepada sepuluh orang miskin, masing-masing satu mud (544 gram) untuk satu orang miskin (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60). Inilah yang diwajibkan dan mencukupi untuk membayar kaffarah. Selebihnya dari itu adalah tidak wajib, yaitu sunnah karena dapat dianggap sedekah yang hukumnya sunah. Memberi 100 kg untuk panti asuhan menurut kami masih tidak jelas, karena tidak jelas berapa orang yang menjadi penerima beras 100 kg itu, juga tidak jelas berapa kilogram bagian bagi masing-masing penerima. Sebaiknya diperjelas seperti yang telah kami uraikan.

Mengenai apakah wali muslim tersebut dapat membantu menghapal, menurut kami tidak boleh, selama pelaku nazar masih hidup. Sebab yang dibolehkan adalah menunaikan nazar dari seseorang yang sudah meninggal, bukan yang masih hidup. Imam Syaukani dalam kitabnyaNailul Authar hal. 1773 pada bab Qadha`u Kulli Al-Mandzuuraat an Al-Mayyit (Menunaikan Semua yang Dinadzarkan oleh Orang yang Meninggal) mengetengahkan hadits berikut: “Dari Ibnu Abbas bahwa Saad bin Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah SAW, dia berkata,”Sesungguhnya ibuku telah meninggal sedangkan dia masih berkewajiban melaksanakan nadzar yang belum ditunaikannya.” Maka Rasulullah SAW berkata,Tunaikanlah nadzar itu olehmu untuknya.” (HR Abu Dawud no. 2876, dan An-Nasa`i, no. 3603).

Imam Syaukani menukilkan pendapat Imam Ibnu Hazm dalam masalah ini, bahwa ahli waris berkewajiban melaksanakan nadzar dari orang yang diwarisinya dalam semua keadaan (anna al-waarits yulzimuhu qadhaa`u an-nadzari an muwarritsihi fi jamiii al-haalaat). (Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 1773).

Dengan demikian, jelaslah, bahwa ahli waris dapat melaksanakan nazar dari orang yang diwarisinya yang sudah meninggal. Berarti jika orang yang bernadzar itu masih hidup dan belum meninggal, nadzar itu wajib dilaksanakan oleh dia sendiri dan tidak boleh ada orang lain yang melaksanakan nazarnya. Wallahu alam.

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2340905/ini-akibat-bila-tak-laksanakan-nazar#sthash.mcuHFzQR.dpuf