Ini Syarat Jika Muslim Menikahi Nasrani

PARA fuqaha dari berbagai mazhabdi antaranya adalah mazhab yang empat, yaitu mazhab Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii, dan Ahmadtelah sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab (kitabiyyah), yaitu perempuan beragama Yahudi dan Nasrani, sesuai firman Allah SWT:

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5). (Al Mausuah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 7/143; Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Ala Al Madzahib Al Arbaah, 4/73;Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, 1/369; Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).

Hanya saja, meskipun Imam Syafiirahimahullahtermasuk yang membolehkan seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, beliau membuat syarat (taqyiid), yaitu perempuan Ahli Kitab tersebut haruslah perempuan Bani Israil. Jika dia bukan perempuan Bani Israil, misalnya perempuan Arab tapi menganut Yahudi atau Nasrani, maka dia tidak termasuk Ahli Kitab sehingga haram hukumnya bagi laki-laki muslim untuk menikahinya. (Imam Al Baihaqi,Ahkamul Qur`an, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah).

Pendapat Imam Syafii tersebut dalam nash (teks) yang asli dari Imam Syafii, sebagaimana dikutip oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra (7/173) adalah sebagai berikut:

“Dan Ahli Kitab yang halal menikahi wanita-wanita merdekanya, adalah Ahli [Pemilik] Dua Kitab yang masyhur, yaitu Taurat dan Injil. Mereka adalah orang-orang Yahudi dan Nashrani dari Bani Israil, bukan orang Majusi.” (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an Lil Imam Al Syafii, 1/187, Beirut : Darul Kutub Al Ilmiyyah, 1975).

Imam Syafii menjelaskan dalil pendapatnya tersebut dalam kitabnya Al Umm (3/7) dengan bersandar pada beberapa khabar (hadis) yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir (w. 310 H), di antaranya khabar dari Atha` yang berkata:

“Orang-orang Nasrani Arab bukanlah Ahli Kitab. [Karena] Ahli Kitab itu hanyalah orang-orang Bani Israil yang datang kepada mereka kitab Taurat dan Injil. Adapun siapa saja yang masuk ke dalam mereka [menjadi penganut Yahudi dan Nasrani] dari kalangan manusia [bukan Bani Israil], maka mereka itu tidaklah termasuk golongan mereka [Ahli Kitab].” (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 79; Riyadh : Maktabah Ar Rusyd, 2007).

Berdasarkan riwayat seperti itulah, Imam Syafii berpendapat bahwa siapa saja orang non Bani Israil yang beragama dengan agama Ahli Kitab yang kepada mereka diturunkan Taurat dan Injil, maka mereka itu Ahli Kitab sekadar nama, bukanlah Ahli Kitab yang hakiki. (Imam Al Baihaqi, Ahkamul Qur`an, 2/57)

Pendapat Imam Syafii tersebut kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh para ulama mazhab Syafii seperti Imam Al Khathib Al Syarbaini pengarang kitab Mughni Al Muhtaj (3/187) dan Imam Nawawi pengarang kitab Al Majmu (2/44). Dikatakan, bahwa menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Bani Israil dihalalkan, karena berarti perempuan itu adalah keturunan orang Yahudi atau Nashrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nashrani, kitabnya masih asli dan belum mengalami perubahan (tahrif).

Sedang perempuan Ahli Kitab yang bukan keturunan Bani Israil, haram dinikahi karena mereka adalah keturunan orang Yahudi atau Nasrani yang ketika pertama kali masuk agama Yahudi atau Nasrani, kitabnya sudah tidak asli lagi atau sudah mengalami perubahan (tahrif), kecuali jika mereka menjauhi apa-apa yang sudah diubah dari kitab mereka. (Lihat Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil.

Adapun yang merajihkan pendapat jumhur, adalah 3 (tiga) dalil sebagai berikut:

Pertama, karena dalil-dalil yang ada dalam masalah ini adalah dalil yang mutlak, tanpa ada taqyiid (pembatasan/pensyaratan) dengan suatu syarat tertentu. Perhatikan dalil yang membolehkan laki-laki menikahi Kitabiyyah (perempuan Ahli Kitab), yang tidak menyebutkan bahwa mereka harus dari kalangan Bani Israil. Firman Allah SWT:

“(Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita merdeka [al muhshanat] di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu.” (QS Al Maa`idah [5] : 5).

Ayat di atas mutlak, yaitu membolehkan menikahi perempuan muhshanat yang diberi Al Kitab sebelum umat Islam, tanpa menyinggung sama sekali bahwa mereka itu harus dari keturunan Bani Israil. Dalam hal ini berlakulah kaidah ushuliyah yang menyebutkan:

“Al muthlaqu yajriy alaa ithlaaqihi maa lam yarid daliilun yadullu ala at taqyiid.” (dalil yang mutlak tetap dalam kemutlakannya, selama tidak terdapat dalil yang menunjukkan adanya pembatasan). (Wahbah Zuhaili, Ushul Al Fiqh Al Islami, 1/208).

Kemutlakan dalil inilah yang menjadikan Syaikh Wahbah Zuhaili menguatkan pendapat jumhur ulama atas pendapat Imam Syafii. Syaikh Wahbah Zuhaili berkata:

“Pendapat yang rajih bagi saya adalah pendapat jumhur, berdasarkan kemutlakan dalil-dalil yang memutuskan bolehnya wanita-wanita Ahli Kitab, tanpa ada taqyiid (pembatasan) dengan sesuatu (syarat).” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/147).

Dengan ini jelaslah bahwa Ahli Kitab itu tidak hanya dari keturunan Bani Israil saja, melainkan siapa saja yang beragama Yahudi dan Nashrani baik dia keturunan Bani Israil maupun bukan keturunan Bani Israil.

Kedua, karena tindakan Rasulullah SAW (afaal rasulullah) dalam memperlakukan Ahli Kitab seperti menerapkan kewajiban membayar jizyah atas mereka, menunjukkan bahwa yang menjadi kriteria seseorang digolongkan Ahli Kitab adalah agamanya, bukan nenek moyangnya, yaitu apakah nenek moyang mereka itu ketika pertama kali masuk Yahudi/Nashrani kitabnya masih asli ataukah sudah mengalami perubahan (tahrif) dan pergantian (tabdiil).

Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyyah telah menjelaskan hal itu dalam kitabnya Zadul Maad (3/158) dengan perkataannya :

“Orang Arab adalah suatu umat yang pada asalnya tidak ada sebuah kitab di tengah mereka. Setiap kelompok dari mereka beragama dengan agama umat-umat yang berdekatan dengan mereka Maka Rasulullah SAW memberlakukan hukum-hukum jizyah, dan beliau tidak mempertimbangkan nenek moyang mereka juga tidak [mempertimbangkan] orang-orang yang masuk ke dalam agama Ahli Kitab : apakah dulu masuknya mereka itu sebelum terjadinya penghapusan (nasakh) [dengan turunnya Alquran] dan penggantian (tabdiil) [tahrif terhadap Taurat dan Injil] ataukah sesudahnya.” (Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Zadul Maad, 3/158; Lihat Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Al Qur`an Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).

Atas dasar itu, orang yang tergolong Ahli Kitab itu tidak dilihat lagi nenek moyangnya, apakah ketika mereka masuk Yahudi atau Nashrani kitab mereka masih asli, ataukah sudah mengalami perubahan, ataukah ketika sudah diturunkan Alquran. Maka, orang masa sekarang, yaitu setelah diturunkannya Alquran, jika menganut Yahudi atau Nashrani, juga digolongkan Ahli Kitab.

Ketiga, ayat-ayat Alquran yang turun untuk pertama kalinya dan berbicara kepada orang Yahudi dan Nashrani pada zaman Nabi SAW, sudah menggunakan panggilan atau sebutan “Ahli Kitab” untuk mereka. Padahal mereka pada saat itu sudah menyimpang dari agama asli mereka, bukan orang-orang yang masih menjalankan kitabnya yang murni/asli. Misalnya firman Allah SWT :

“Katakanlah [Muhammad],Wahai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Alquran yang diturunkan kepadamu [Muhammad] dari Tuhanmu.” (QS Al Maa`idah [5] : 68).

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa orang Yahudi dan Nasrani pada zaman Nabi SAW tidaklah menjalankan ajaran-ajaran Taurat dan Injil yang diturunkan Allah kepada mereka. Meski demikian, mereka tetap disebut “Ahli Kitab” di dalam Alquran. Dan ayat-ayat semacam ini dalam Alquran banyak. (Nuruddin Adil, Mujadalah Ahlil Kitab fi Alquran Al Karim wa As Sunnah An Nabawiyyah, hlm. 80).

Dengan demikian, istilah “Ahli Kitab” sejak awal memang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani yang sudah menyimpang dan tidak lagi menjalankan ajaran Taurat dan Injil. Istilah “Ahli Kitab” bukan ditujukan kepada orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya atau masih lurus menjalankan agamanya. Jadi tidak benar anggapan bahwa saat ini sudah tak lagi Ahli Kitab dengan alasan istilah “Ahli Kitab” ditujukan untuk orang Yahudi dan Nashrani yang masih asli kitabnya. Pendapat ini tidak benar.

Berdasarkan tiga dalil di atas, jelaslah bahwa pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab secara mutlak, baik perempuan itu dari Bani Israil maupun bukan Bani Israil. Baik nenek moyang mereka masuk agama Yahudi dan Nasrani ketika kitabnya masih asli maupun ketika kitabnya sudah mengalami perubahan (tahrif). Baik sebelum diturunkannya Alquran maupun sesudah diturunkannya Alquran.

Namun yang perlu kami tegaskan, sesuatu yang mubah itu jelas bukan sesuatu yang dianjurkan (sunah), atau yang diharuskan (wajib). Bahkan perkara yang hukumnya mubah, pada kasus-kasus tertentu dapat diharamkan secara syari jika menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), meski hukum pokoknya yang mubah tetap ada dan tidak hilang. Hal ini sesuai kaidah fikih yang dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin An Nabhanirahimahullahsebagai berikut:

“Setiap kasus dari kasus-kasus perkara yang mubah, jika terbukti berbahaya atau membawa kepada bahaya, maka kasus itu diharamkan, sedangkan perkara pokoknya tetap mubah.” (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 3/456).

Berdasarkan kaidah fiqih tersebut, pada kasus tertentu, haram hukumnya seorang laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab, jika terbukti berbahaya atau dapat membawa kepada bahaya bagi laki-laki itu secara khusus. Misalnya, laki-laki muslimnya lemah dalam beragama, sedang perempuan Ahli Kitabnya seorang misionaris Kristen atau Katolik yang sangat kuat beragama dan kuat pula pengaruhnya kepada orang lain. Maka dalam kondisi seperti ini, haram hukumnya laki-laki muslim tersebut menikahi perempuan Ahli Kitab ini, karena diduga kuat laki-laki muslim itu akan dapat terseret menjadi murtad dan mengikuti agama istrinya, atau diduga kuat perempuan itu akan dapat mempengaruhi agama anak-anaknya sehingga mereka menjadi pengikut Nasrani. Nauzhu billahi min dzalik.

Namun pada saat yang sama, hukum bolehnya laki-laki muslim menikahi perempuan Ahli Kitab tetaplah ada, dan tidak lenyap. Hukum ini dapat diberlakukan misalnya untuk laki-laki muslim yang sangat kuat beragama, misalnya ulama atau mujtahid atau mujahid, yang menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan rakyat negara Khilafah.

Seperti halnya dahulu, ketika sebagian sahabat Nabi SAW menikahi perempuan Ahli Kitab dari kalangan Ahludz Dzimmah. Misalnya Utsman bin Affan radhiyallahu anhu yang menikahi seorang perempuan Nashrani bernama Na`ilah, yang kemudian masuk Islam di bawah bimbingan Utsman. Hudzaifah bin Al Yaman RA pernah menikahi seorang perempuan Yahudi dari penduduk Al Mada`in. Jabir bin Abdillah RA pernah ditanya mengenai laki-laki muslim yang menikah dengan perempuan Yahudi atau Nashrani. Maka Jabir menjawab,”Dahulu kami dan Saad bin Abi Waqqash pernah menikahi mereka pada saat penaklukan Kufah.” (Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 9/145).

Kesimpulannya, seorang laki-laki muslim hukum asalnya mubah menikahi perempuan Ahli Kitab. Namun dalam kasus tertentu, hukumnya menjadi haram jika pernikahan itu dapat menimbulkan bahaya (mudharat/mafsadat), sedang hukum asalnya tetap mubah. Wallahu alam.[]

 

INILAH MOZAIK