Menggagas kurikulum wisata muslim

Kasus Abu Tours, First Travel, Solusi Balad Lumampah, dan Hannien Tour ibarat fenomena gunung es. Sebab, bisa jadi kasus tipu-tipu dan penggelapan uang nasabah umrah masih banyak yang belum terungkap. Dan sewaktu-waktu akan kembali mencuat kasus lainnya, ketika para korbannya berani bersuara.

Pegiat wisata muslim, Priyadi Abadi mengaku, sangat prihatin terhadap kasus penipuan jemaah umrah yang berulang terjadi. Padahal, ada sebagian masyarakat yang susah panyah mengumpulkan dana supaya bisa berangkat umrah. “Tapi masih ada saja masyarakat yang mudah tergoda dengan iming-iming biaya umrah. Ini salah satunya  karena kurangnya edukasi soal penyelenggaraan umrah oleh jasa travel,” katanya saat berbincang dengan KONTAN, pekan ini.

Di sisi lain, pengawasan dari pihak otoritas terkait juga belum maksimal karena luasnya wilayah pemantauan. Akibatnya, tidak bisa mengantisipasi modus-modus penyimpangan oleh perusahaan travel yang berujung pada calon jemaah tidak bisa diberangkatkan. Faktor lainnya, Pribadi menyebutkan, pengelola jasa travel seperti First Travel atau Abu Tours tidak amanah dengan uang jemaah. Buktinya, dana yang dikumpulkan dari calon jemaah digunakan untuk kepentingan pribadi, bermewah-mewahan seperti membeli kendaraan mahal, dipakai untuk pelesiran ke luar negeri hingga membangun rumah megah. “Penyimpangan dana jemaah juga akibat buruknya administrasi keuangan yang dijalankan,” ungkap Pendiri Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IICTF) ini.

Agar masyarakat tidak terjebak dengan tawaran atau promosi umrah murah, pihak-pihak terkait harus senantiasa memberikan edukasi secara berkesinambungan. Dengan demikian, masyarakat mengerti bagaimana sebenarnya penyelenggaraan umrah.

Terlepas dari intrik tipu-menipu dalam bisnis umrah, Priyadi tidak menampik jika potensi industri halal atau wisata muslim sangat besar. Sejatinya, dalam indusri ini tidak hanya yang mindstream yakni haji dan umrah tapi menyangkut potensi wisatanya. Dalam hal ini inbound tourist, yakni turis muslim dari mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, maupun outbound tourist atau turis muslim dari Indonesia berwisata ke mancanegara.

Kini, wisata muslim berkembang pesat di dunia. Bisnis ini tidak hanya dikembangkan oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, namun juga negara-negara yang sebagian penduduknya beragama non-Islam. Sayang, industri wisata halal di Indonesia belum berkembang secara optimal. Ya, masih kalah dari negara Thailand atau Jepang. Maklum, belum banyak biro perjalanan di tanah air yang menggarap wisata muslim.

Priyadi khawatir, kalau potensi pasar yang besar ini tidak diseriusi oleh travel muslim, maka akan diambil alih oleh travel umum. Nah, salah satu upaya untuk mempopulerkan potensi wisata muslim adalah lewat jalur pendidikan. Saat ini, IICTF sedang berupaya memperjuangkan wisata muslim masuk menjadi matakuliah atau kurikulum di perguruan tinggi, terutama yang membuka jurusan pariwisata dan Sekolah Tinggi Pariwisata (STP). “Sampai saat ini belum ada matakuliah khusus tentang haji, umrah dan wisata muslim,” sebutnya.

Dengan masuk menjadi kurikulum di pendidikan tinggi, mahasiswa bisa secara dini memahami tentang wisata muslim tentang potensi, prospek plus tantangannya. Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim semestinya lebih maju ketimbang negara lain dalam mengembanglam wisata muslim. Jadi tidak sebatas haji dan umrah, yang dilirik. “Selama ini, travel muslim hanya menggarap paket haji dan umrah. Kalau pun ada sebatas wisata ke negara-negara Timur Tengah, dengan paket umrah plus tour ke Turki atau Mesir dan lainnya,” ungkap Priyadi.

Atas dasar itu, IITCF yang merupakan pusat pelatihan terus memfasilitasi perusahaan travel muslim mengembangkan paket-paket wisata muslim baik mancanegara maupun domestik. Dengan demikian, kebutuhan muslim untuk berwisat terakomodasi, pasar yang potensial di industri ini perlahan akan maju.

 

KONTAN