Islam dan Peradaban: Mengenang Kembali Kejayaan Islam yang Terbuka dan Toleran

Dalam catatan sejarah bahwa agama Islam pernah mengalami masa kejayaan. Pada saat itu, peradaban Islam begitu mapan. Demikian pula dengan orang-orang muslim, mereka telah banyak menorehkan tinta emas dengan melukiskan kesuksesan dalam membangun dan mengembangkan peradaban yang amat berharga tidak hanya bagi kaum muslimin saja, tetapi juga signifikansinya juga dirasakan oleh seluruh dunia.

Dalam catatan TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal yang mengutip catatan Raghib Sirjani menyampaikan bahwa kontribusi umat Islam seperti diabadikan dalam sejarah begitu banyak. Seperti adanya bukti beberapa karya tulis ilmiah beserta beberapa temuan menarik lainnya: semisal ilmu kedokteran, arsitektur, matematika dan ilmu-ilmu lainnya.

Konsistensi umat Islam untuk terus berkiprah dalam memberikan yang terbaik terhadap kebangkitan Islam itu sendiri harusnya terus dikembangkan agar kejayaan peradaban Islam yang pernah dimilikinya tersebut terus dikontekstualisasikan dalam kehidupan kekinian.

Namun demikian, kejaayaan peradaban Islam kini hanya menyisakan cerita. Agama Islam yang seharusnya sebagai agama yang memuat berbagai informasi penting, di samping itu juga ajaran-ajaran ideal tentang keyakinan dan moral dalam Islam seakan-akan dirubah fungsinya sebagai agama politik atau agama dibuat kepentingan politik tertentu. Ini yang mengakibatkan kemunduran agama Islam itu sendiri.

Menurut Gus Dur, penyebab dari kemunduran peradaban Islam itu adalah salah satunya dapat dipicu oleh watak (umum) pemahaman umat yang terlalu “mengidealkan” bentuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga susah untuk bisa berpijak dari kenyataan.

Berbeda halnya dengan orang Islam dulu yang memiliki cara serta fokus kajian yang berbeda dalam memandang Islam sesuai dengan kecenderungan masing-masing, kaum muslimin saat ini lebih sibuk dengan formalisme agama dari pada memikirkan bagaimana cara membenahi dan memperbaiki kembali kesalahan-kesalahan di internal kaum muslimin. Perubahan orientasi ini tentunya menjadi sebuah fenomena Islam kontemporer dan kecenderungan Islam masa kini.


Sementara kecenderungan melakukan pemaknaan teks agama yang otoriter tersebut adalah bagian dari sikap kesewenang-wenangan dalam memperlakukan teks-teks yang berwenang. Akibatnya pemaknaan Islam menjadi sempit. Sikap otoritarianisme ini dalam pandangan Khaled M. Abou El Fadl (2003) tidak bisa ditafsirkan lain sebagai salah satu bentuk pemerkosaan terhadap kesucian teks absolut. Sebagai konsekwensinya, manusia tidak lagi mampu menjaga amanah yang dititipkan Tuhan Yang Maha Pengasih agar melabuhkan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan. Lantaran kecenderungan formalisme tersebut agama terpisah dari nilai-nilai Ketuhanan.

Kehidupan manusia pada abad pertengahan (sekitar abad ke 15) masih terlihat baik. Yang mana, manusia hidup dalam komunitas-komunitas kecil dan erat, yang didasarkan pada prinsip hidup bersama tanpa adanya perbedaan status sosial atau kelompok. Itu menunjukkan peradaban manusia masih aman-aman saja. Dalam artian bahwa ilmu abad pertengahan masih mencerminkan kemajuan.

Keilmuan di abad pertengahan tersebut digunakan atas dasar penalaran dan keimanan dan tujuan utamanya adalah memahami makna dan signifikansi segala sesuatu, dan bukan untuk tujuan peramalan dan pengendalian. Karena itu, Para ilmuwan abad pertengahan yang mencari-cari tujuan dasar yang mendasari berbagai fenomena, menganggap pertanyaan yang berhubungan dengan Tuhan, roh, manusia, dan etika sebagai pertanyaan-pertanyaan yang memiliki signifikansi tertinggi.

Akan tetapi manusia mulai menghadapi kemunduran akibat cara berfikir yang keliru karena mereka tidak lagi mampu menyeimbangkan nilai positif dan negatif baik dalam konteks populasi maupun konsumsi. Cara berfikir keliru ini dimulai sejak abad ke-16 dan ke-17 di mana terjadi revolusi ilmiah yang ditandai dengan pola pikir yang sangat menekankan rasionalitas semata tanpa memadukan antara yang disebut dengan rasionalitas, empiris, dan spiritualitas secara integratif. (TGS. Prof. Dr. K. H. Saidurrahman dan Dr. Azhari Akmal, 2019: 126-129).


Akibatnya kehidupan umat manusia menghadapi suatu tantangan yang dinamakan dengan krisis global. Hal itu dikarenakan adanya sebuah anggapan bahwa manusia adalah pusat segala sesuatu. Manusia dapat menentukan nasibnya sendiri, bukan Tuhan. Manusia bahkan dianggap sebagai penentu kebenaran.

Padahal dalam konsepsi Islam manusia adalah khalifah Allah di atas bumi-Nya, yang sangat dimuliakan oleh Allah bahkan oleh seluruh malaikat-Nya. Itu sebabnya, peradaban Barat cenderung otoriter dan tak manusiawi. Berbeda halnya dengan peradaban Islam yang begitu humanis dan memanusiakan manusia. Karena itu, seperti telah dijelaskan dalam (QS. Ali Imran [3]: 19, 85) bahwa agama Islam adalah satu-satunya agama yang benar, karena itulah ia sebaik-baiknya agama dan peradabannya.

BINCANG SYARIAH