Jangan Remehkan Makna Berjabat Tangan

Bagi masyarakat yang telah mengenal tradisi berjabat tangan, biasanya mereka melakukannya dengan maksud atau beberapa motivasi. Pertama, berjabat tangan untuk meminta maaf atas kesalahannya.

Kedua, berjabat tangan untuk tanda persahabatan. Ketiga, berjabat tangan karena kedua belah pihak telah lama tak berjumpa. Dan, keempat, berjabat tangan untuk mempererat silaturahim.

Sejalan dengan motivasi di atas, dalam praktik keseharian, tradisi berjabat tangan begitu mengakar kuat dilakukan oleh anak kepada orang tua, murid kepada guru, bawahan kepada atasan, dan oleh masing-masing sahabat terdekat.

Tradisi berjabat tangan dalam kondisi demikian sangat dianjurkan oleh agama. Bahkan, ada satu hadis yang menjelaskan tentang terampuninya dosa seseorang yang senantiasa memelihara tradisi berjabat tangan. 

“Bila dua orang Muslim saling berjumpa, lalu keduanya berjabatan tangan,” kata Nabi SAW, “Maka, kedua orang itu akan diampuni dosanya sebelum keduanya berpisah.”

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa berjabat tangan dalam ajaran agama tak hanya menjadi tradisi. Lebih dari itu, ia telah dilegitimasi oleh nilai agama yang sarat dengan muatan sakral (ibadah). 

Bagi yang berjabat tangan, tidak hanya meraih rasa syahdu atau keasyikan yang diluapi kegembiraan, tetapi ia akan memperoleh pahala sekaligus terhapus dosanya.

Pada Lebaran Idul Fitri, kita merasakan betapa semaraknya kegiatan berjabat tangan di tengah masyarakat. Di antara mereka, memang ada yang dengan tulus dan ikhlas melakukan tradisi berjabat tangan  ini. 

Mereka tanpa pandang bulu berbaur berjabat tangan, baik dengan anak-anak, orang tua jompo, miskin, dan kaya, dengan harapan dapat saling memaafkan, memperkuat dan membangun kembali tali ukhuwah serta persahabatan.

Di sela-sela kegembiraan dan keikhlasan umat Islam menjalankan tradisi bersalaman, ternyata masih banyak di antara kita yang menyalahgunakan tradisi tersebut. 

Berjabat tangan yang semula bernilai sakral diubah bentuk sehingga kehilangan maknanya. Ia tidak lagi menjadi media ibadah yang dapat mempererat tali silaturahim, tetapi menjadi alat kepentingan kelompok tertentu untuk mengembangkan relasi yang menarik margin keuntungan. 

Tak elak lagi, tradisi berjabat tangan menjadi sarat muatan materi secara pandang bulu dan menjadi elite. Tradisi berjabat tangan dilakukan oleh kelompok ini dengan cara membawa parsel atau bingkisan yang berharga mahal, yang diberikan kepada orang yang sebenarnya tidak layak disantuni.

Tradisi berjabat tangan yang demikian jelas bertentangan dengan misi silaturahim dan merusak sendi-sendi kebersamaan. Karena, sikap ini cenderung berpihak kepada kelompok kuat, sementara kaum lemah dilecehkan.

Dalam negara kita, yang masih terdapat umat yang mendambakan bantuan sosial dan sentuhan kasih, hendaknya tradisi berjabat tangan tidak berjalan memihak yang menyebabkan kaum kuat semakin besar karismanya, sementara kaum kecil semakin terkucil.

Pada era reformasi yang bermisi menciptakan pemerintahan bersih dan rakyat sejahtera, larangan yang dikeluarkan Menpan Yuddy Chrisnandi untuk tidak membawa/mengirim parsel kepada para pejabat dalam tradisi berjabat tangan di hari Lebaran, patut diapresiasi dengan tulus. Dengan demikian, segala bentuk santunan akan berpindah dan mengalir kepada kaum pinggiran yang kehidupannya masih amat mengenaskan. Semoga! 

Oleh: Fauzul Iman

sumber: Republika Online