Keliru Paham Tentang Nahi Mungkar

Keliru Paham Tentang Nahi Mungkar

Amar Makruf nahi mungkar, mengajak kepada kebaikan mencegah kemungkaran, tidak bisa dipahami semua kemungkaran harus dicegah. Ada batas dan klasifikasi kemungkaran yang harus dihilangkan. Wilayah ini yang menjadi medan dakwah untuk para dai/mubaligh dan umat Islam secara umum. Nahi mungkar pun ada petunjuk teknisnya, bukan pencegahan sembarangan.

Petunjuk teknis dalam berdakwah adalah titah Tuhan ini. “Mengajak lah kepada jalan Tuhanmu dengan bijak dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia paling tahu tentang orang-orang yang mendapat hidayah”. (Al Nahl: 125).

Dakwah dan agama Islam merupakan dua hal yang tak terpisahkan, keduanya berjalan dalam satu tarikan nafas yang sama. Ini, karena finalisasi kebenaran agama Islam harus selalu didenyutkan dalam nadi setiap manusia. Namun demikian, akhlak sebagai ruh agama Islam harus dikedepankan dalam berdakwah. Karenanya, agama Islam sendiri membuat kalsifikasi dan batas tentang “nahi mungkar”. Dengan kata lain, tidak semua kemungkaran harus diingkari.

Satu kaidah fikih, “Perbedaan pendapat bukan kemungkaran, kemungkaran yang harus diingkari adalah apa yang telah disepakati oleh ulama”.

Demikian, tidak boleh ada tuduhan amaliah seseorang yang didalilkan kepada pendapat satu madhab sebagai kesesatan yang harus dimusnahkan. Sikap seperti ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Perbedaan cara pandang atau penafsiran terhadap teks Islam harus dihormati karena juga memungkinkan menyimpan kebenaran.

Pemahaman seperti ini yang sering tidak dipahami oleh dai/mubaligh. Terutama mereka yang pemula dan hanya menguasai retorika dan popularitas namun kering pengetahuan agama. Demikian pula, terhadap kemungkaran yang telah disepakati oleh ulama sebagai suatu kemungkaran yang harus dicegah/dihilangkan harus dilakukan secara bajik dan bijak seperti dalam titah Tuhan (al Nahl: 125).

Sebagai penutup, sebaiknya memperhatikan perkataan Imam Nawawi dalam Syarah Sullam Taufik ini. “Seseorang yang akalnya sedikit (dangkal tentang agama) tidak layak menjadi dai/mubaligh, karena kemudharatan/kerusakan yang ditimbulkan lebih besar dari kebaikan dakwahnya”.

‘Ala kulli hal, setiap kita yang berada dalam ruang ejawantah yang dangkal tentang ilmu agama, sebaiknya menahan diri untuk berdakwah. Kalau hanya pribadi kita yang sesat masih ada peluang ampunan dari Tuhan, tapi manakala telah menyesatkan orang lain kita telah berinvestasi saham dosa jariyah yang dosa-dosa itu terus dialirkan sekalipun kita telah meninggal dunia.

ISLAM KAFFAH