Kenapa Besaran Rezeki Kita Berbeda?

Oleh Nashih Nashrullah

Rezeki yang diterima oleh manusia, tak pernah sama. Ada yang seharian memeras keringat, rupiah yang diperoleh tak setimpal, bahkan nihil. Sementara di sisi lain, sebagian anak Adam begitu mendapat rezeki begitu mudah, hingga melimpah ruah. Kenapa perbedaan itu terjadi?

Syekh Mutawalli as-Sya’rawi mengungkapkan rahasia di balik perbedaan pembagian rezeki tersebut melalui kitabnya yang berjudulTilka Hiya al-Arzaq.
Risalah sederhana Menteri Urusan Wakaf dan Al-Azhar Republik Arab  Mesir pada 1976-1978 itu berusaha menguak hikmah di balik sejumlah fenomena menarik soal pencarian rezeki.

Tokoh kelahiran Daqadus, sebuah desa di Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir, mengatakan perbedaan tersebut dimaksudkan agar rezeki dapat mengalir ke individu dengan cara yang berbeda-beda. Jika terjadi perbedaan rezeki, Allah akan memberikan haknya dalam bentuk yang lain. Hal ini karena—sekali lagi—rezeki bukan hanya uang semata, tetapi rezeki adalah segala sesuatu yang dirasakan manfaatnya oleh manusia.

Karenanya, bentuk rezeki yang diberikan Allah tidak terbatas. “Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS al-Baqarah [2]: 212). Dalam ketentuan dan hitungan matematis besaran output akan ditentukan oleh besaran input.

Tetapi, tidak dalam konteks rezeki yang Allah berikan, Allah tidak memberikan batas. Bahkan, tak jarang Allah memberikan rezeki di luar batas usaha yang telah ditempuh oleh seorang hamba, apa yang diperoleh bisa lebih banyak dari yang dikira dan telah diusahakan.

Sebagian Muslim lalu bersikap sinis dan terheran dengan rezeki lebih yang diterima oleh orang kafir. Tetapi, mengapa kaum Muslim itu tidak mencoba menghitung betapa besarnya nilai kebajikan yang Allah berikan kepada mereka.

Belum lagi rezeki berupa rasa nyaman yang dirasakan oleh hati. Terlebih jika mereka mengetahui bahwa hari pembalasan pasti akan tiba. Allah akan memberikan balasan sesuai dengan keyakinan dan amal yang telah diperbuat selama di dunia (QS an-Nahl [16]: 96-97).

Menurut Syekh, di sinilah umat Islam perlu bersikap qanaah, menerima bagian yang telah diterima. Hidup akan tambah bermakna dengan sikap qanaah terhadap rezeki yang halal. “Hendaknya menjaga etika jika melihat orang lain telah diberikan rezeki lebih.”

Tidak ada yang tahu apa hikmah di balik pemberian yang berlimpah itu. Tetapi, kata dia, perlu diperhatikan bahwa rezeki adalah ujian. Rezeki yang dianugerahkan tak boleh digunakan sebagai sarana untuk saling menyanjung ataupun menghina satu sama lain. Kemuliaan bukan terdapat pada bertambahnya rezeki. “Kemuliaan itu terletak pada sejauh manakah ia mampu memanfaatkan sebaik-baiknya dalam pendayagunaan rezeki itu,”ujar Syekh Sya’rawi.

Minimnya rezeki yang diperoleh bukan berarti rendah dan hina. “Maka, tenanglah wahai mereka kaum miskin dhuafa. Allah tak akan menelantarkan hamba-Nya tanpa rezeki sedikit pun. Dan, bersikaplah mawas bagi mereka yang berkecukupan dan lebih rezekinya. Apa yang mereka peroleh adalah ajang ujian untuk mereka,” tuturnya mengingatkan.

Simaklah surah al-Fajr [89]: 14-15. “Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Dia akan berkata: ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Adapun bila Tuhannya Mengujinya lalu membatasi rezekinya, dia berkata: ‘Tuhanku menghinakanku.”

 

sumber: Republika Online