Kesaksian Putra Syeikh Jibrin dalam Musibah di Mina 2015[2]

Ada seorang mahasiswa yang kujumpai menjelaskan, para jamaah haji terjebak dalam keadaan saling desak tersebut yang membuat ia dan kawannya ikut terdorong

APA boleh buat, rupanya aku ketahuan juga akhirnya. Petugas itu langsung mengusirku. Terlanjur basah, aku tetap ngotot tidak mau keluar. Aku bahkan nekat memasuki ruang utama (idarah) kemah itu. Di sana aku sempat mengatur nafas sejenak sambil berbaring lelah di samping pintu. Rupanya ada dua orang ibu tua asal Tunisia yang lebih dahulu masuk ke dalam tenda mendahuluiku. Dari wajahnya, tampak kelelahan yang sangat. Persis seperti yang kurasakan saat itu.

Udai keadaanku mulai membaik, aku mendatangi kepala kemah, Ir. Adib Khauj (kira-kira namanya seperti itu). Sedang di luar tenda, para petugas tetap menghalau orang-orang yang hendak memasuki kemah.

Aku menyampaikan kepadanya tentang kondisi yang sangat parah di luar dan Adib merespon dengan baik (semoga Allah memberi balasan yang lebih baik kepadanya). Aku melihat Adib dan petugas lainnya benar-benar telah membantu meringankan penderitaan jamaah haji saat itu.

Entah kenapa, sontak ruang kantor dan koridor utama di dalam kemah sudah dipenuhi jamaah haji. Kondisi ramai dalam tenda itu berlangsung selama satu jam lebih. Tepat jam 09.30 aku meninggalkan Adib dan kemahnya, tak lupa aku berterima kasih kepada mereka semua.

Tiba di luar kembali, sungguh aku tak sanggup menahan diriku, aku menangis dalam diam, sesenggukan. Aku hanya melantunkan syukur kepada Allah Subhanahu Wata’ala atas karunia keselamatan.

Namun masalahnya, tepat di hadapanku terhampar sebuah pemandangan menyayat hati, ratusan jemaah haji tergeletak memenuhi sepanjang jalan-jalan di Mina.

Mobil-mobil petugas tak henti lalu-lalang menolong jamaah haji yang menjadi korban.

Aku terus berjalan menuju lokasi Jamarat, sepanjang jalan hatiku disesaki oleh pemandangan mayat yang menumpuk yang benar-benar meluruhkan jiwa.

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala menerima amal kebaikan jamaah haji yang meninggal sebagaimana semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberi kesembuhan kepada korban yang terluka dan seluruh keluarga mereka diberi kesabaran oleh Allah.

Aku melihat kehadiran pasukan pertahanan negara dan mobil ambulans serta pertugas pengamanan cukup banyak, meski sepertinya agak terlambat. Sedang di saat bersamaan, ada kepala keamanan Said al-Umri sejak awal sudah berteriak meminta pertolongan. Ia bahkan sudah mengerahkan seluruh anggota yang dipunyai (sejumlah mahasiswa pembantu keamanan) yang kebetulan berada di dekat lokasi kejadian.

Satu hal yang (menurutku) patut disayangkan, tak banyak tenda-tenda yang berdekatan dengan lokasi kejadian yang menyikapi kejadian dengan sigap.

Yang kumaksud adalah terbatasnya jalan keluar alternatif yang sepatutnya ada dalam kondisi-kondisi darurat dan genting seperti ini. Seharusnya ada jalan alternatif yang dekat yang bisa mudah dijangkau, berjarak setiap lima puluh meter, misalnya.

Selanjutnya juga faktor kursi roda. Hal ini bagian yang tak bisa lepas dari persoalan di atas.

Kebanyakan pengguna kursi roda adalah orang-orang yang sangat butuh dengan pertolongan. Seharusnya ada rute alternatif sebagai jalan keluar yang cepat atau semacam jalur khusus untuk mereka. Boleh jadi keadaan bisa menjadi lebih ringan dengan fasiltas atau sistem tersebut.

Ada seorang mahasiswa yang kujumpai menjelaskan, para jamaah haji terjebak dalam keadaan saling desak tersebut yang membuat ia dan kawannya ikut terdorong. Sebagian jamaah haji itu lalu memindahkan pagar-pagar pembatas dan mendobrak masuk dengan kuat. Aku berpikir, andai saja ada pintu-pintu pembatas yang bisa mengunci jalan-jalan secara otomatis, boleh jadi orang-orang akan lebih tenang dan hal-hal yang tidak diinginkan dapat dihindari.Lallahu a’lam.*/Masykur Abu Jaulah

 

sumber: Hidayatullah