Ketika Ia Lelah Mengejar Dunia

DARI luar, ia terlihat bahagia dan sejahtera. Usahanya, lancar jaya. Keuntungannya, mengalir sederasnya. Memang demikianlah, orang-orang melihat tampilan zahir orang lain. Apa yang nampak di depan, itulah yang menjadi penilaian. Tapi nyatanya, hatinya gersang, jiwanya kerontang, rohaninya kosong.

Benar saja. Rupanya, ia merasa, rohaninya kosong dan gersang. Lama tak disiram, ia merasa jiwanya kering. Ia butuh hujan yang lebat agar hatinya kembali tumbuh berkembang.

Telah lampau zaman berlalu, ketika masih nyantri di Makassar, saya punya seorang kawan. Dari sekian banyak kawan sekelas, dia termasuk kawan dekat saya. Entah apa yang membuat kami menjadi kawan dekat. Saya agak lupa.

Yang saya ingat, dia lumayan borjuis, dan saya terhitung agak cerdas. Dia kurang suka belajar, dan saya suka berbagi tugas belajar. Klop-lah sudah. Dia suka nraktir saya, bahkan kadang ngajak saya ke Sentral, dan saya suka beri dia contekan PR saya, bahkan jawaban ujian saya. Kami saling butuh satu sama lain; dia butuh nilai pelajaran, saya butuh makan.

Tidak hanya soal makan dan nilai, kami juga berbagi lemari. Lemarinya yang agak besar dan lebar, menjadi tempat transit beberapa buku dan pakaian saya. Lemari saya yang kecil dan bekas peninggalan seorang kakak kelas,  tetap saya gunakan.

Selepas lulus, rupanya kami tak lagi bisa bersama. Dia menetap di Kota Daeng melanjutkan kuliah dan mengejar asa menjadi pengusaha, sedang saya bertolak ke Kota Minyak meneruskan jejak Aba saya, setelah sebelumnya hampir lulus dengan gelar S.AP di UNHAS.

Kami berpisah, tidak saja soal peruntungan. Juga berkaitan dengan soal idealisme. Dia, sejak lulus sekolah, memilih keluar dari pondok yang telah memberinya banyak pengalaman dan pelajaran tentang hidup. Sesekali, ia tetap datang berkunjung. Hingga akhirnya, seiring kesuksesan usaha dan kesibukan belajar, ia semakin jarang menjenguk pondok. Dan sejak itu, ia semakin jauh dari cahaya.

Sebakda lulus itu, otomatis kami juga tidak pernah bertemu. Kami tak pernah lagi bertatap muka. Kami hanya bertemu di dunia maya. Itupun saya hanya ala kadarnya saja, sebab aturan kuliah saya membatasi hubungan dengan dunia maya. Praktis, hubungan kami menjadi semakin berjarak.

Bertahun-tahun, saya dan dia hanya tukar kabar melalui Facebook saja. Di phonebook saya, nomornya, seingat saya tidak ada. Jika saya berkunjung ke Makassar, terasa bahwa jarak kami masih sangat jauh. Ia selalu tak ada waktu untuk datang ke pondok pesantren.

Lepas kuliah, lalu tugas di Kota Apel, tetap saja hubungan saya dengan dia demikian. Saya mengetahui kabarnya hanya lewat wall Facebook. Saya tak tertarik untuk memberi komentar di status-statusnya. Dia sukses menjadi pebisnis dan pengusaha. Satu saja yang kurang, dia belum sukses mencari istri. Sedang saya sudah beranak-pinak; dua lelaki.

Hingga hari itu, tepatnya kemarin, saya mendapat telpon dari seseorang. Nomor baru. Saya pikir, wali santri yang ingin mendengar kabar putranya. Ternyata, saya salah.

“Assalamualaykum,” sapanya membuka dialog.

Suaranya, mengingatkan saya seseorang. Tapi, saya ragu. Sebab, sudah agak berubah.

“Wa alaykum salam warahmatullahi,” saya jawab lebih panjang. Dalam Islam, kita memang diperintah membalas salam lebih baik dari salam yang diberikan.

“Siapa, ya?” saya tanya lebih lanjut.

“Masak sudah lupa?” dia tanya balik mencoba memancing ingatan saya.

“Ihsan, ya?” saya menebak agak ragu sambil menyebut namanya. Nama Ihsan ini adalah samaran, bukan nama sebenarnya.

“Iya. Siapa lagi. Masak, sih, udah lupa dengan teman sendiri,” jawabnya cepat sambil mencoba membuka lembaran-lembaran kisah kami berdua dulu.

Akhirnya, kami ngobrol lepas sambil bertanya kabar dan banyak hal lain. Saya lebih banyak diam dan hanya menanggapi seperlunya. Ada rasa yang berbeda saat ini. Tentu saja, pikir saya. Kami sudah berpisah berbilang tahun lamanya.

Dia banyak berbicara soal keadaannya. Wajar saja. Tidak ada angin membawa asap, tiba-tiba ada api menyala membara, orang tentu heran dan bertanya-tanya. Lama tak ada kabar, lama tak bersua, tiba-tiba menelpon berbicara keadaan diri, tentu ada sesuatu dalam hati.

Benar saja. Rupanya, ia merasa, rohaninya kosong dan gersang. Lama tak disiram, ia merasa jiwanya kering. Ia butuh hujan yang lebat agar hatinya kembali tumbuh berkembang. Jiwanya butuh asupan gizi agar kembali bisa kenyang.

Dalam cerita panjangnya, ia sangat berharap dapat berjumpa saya di Malang. Ia berjanji, ia akan bercerita lebih panjang dan lebih lebar tentang apa yang terjadi.

Sesaat sebelum menutup telpon, ia bertanya hati-hati, “Bolehkah saya kembali ke pondok pesantran lagi?”

Kira-kira, begitulah tanya yang masih menyisakan jawab tersebut terlontar dari lisannya. Sebuah isyarat, ia rindu suasana pondok yang penuh cahaya.*/Ibnu Basyier, Ahad, 3 April 2016

 

sumber: Hidayatullah