Kisah Umayyah bin Khalaf yang Tergila-gila Harta

Harta adalah segala-galanya bagi  Umayyah bin Khalaf. Sejak kecil, dia telah dikenalkan bahwa uang adalah Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu dan tidak dapat dikalahkan oleh apa pun. Ayahnya, Wahab bin Hudzafah, adalah seorang pedagang Quraisy yang paling kaya dan paling beruntung dalam perdagangan di Jazirah Arabia.

Dia adalah Umayyah bin Khalaf bin Safwan, seorang pemimpin Quraisy dan ketua Bani Jumah yang terkemuka. Umayyah belajar banyak dari sang ayah. Tak heran bila kemudian dia besar menjadi pedagang yang kikir dan senang menumpuk kekayaan.

Dia pun dapat menguasai harta kekayaan yang banyak hingga merasa kuat dan berpandangan bahwa harta adalah nilai tertinggi dalam kehi dupan. Sementara, nilai manusia dan kebenaran dipandang rendah.

Salah satu bisnisnya adalah membodohi rombongan penyembah berhala di Ka’bah. Pada masa itu, ribuan orang dari seluruh Jazirah Arab rela menyeberangi gurun pasir untuk datang secara berkala ke Makkah guna menemui berhala dan arca.

Mereka akan datang sambil membawa buah-buahan dan barang berharga guna menyenangkan para juru kunci Ka’bah, salah satunya Umayyah. Umayyah merasakan betapa tingginya nilai berhala tersebut.

Dari berhala itulah rezeki datang kepadanya. Dia dapat meraih harta kekayaan tanpa kesulitan dan keletihan. Bagi Umayyah, berhala adalah gudang harta yang tidak pernah surut, sumber rezeki yang tidak pernah habis, dan sumber kekayaan yang harus dipelihara walaupun harus mengorbankan raga dan nyawa.

 

Hal itu terus berlangsung hingga Nabi Muhammad datang membawa ajaran yang menyapu se gala bentuk politeisme dan khu ra fat di Tanah Arab. Rasulullah mengajak penduduk bumi untuk menghamba kepada ketauhidan yang murni dan meminta mereka agar menyingkirkan berhala dan arca sebab benda-benda mati tersebut tidak dapat mendengar, memahami, dan memberi mamfaat.

Tentu saja ajaran Rasulullah itu menjadi ancaman bagi penghidupan Umayyah, mata air kekayaannya. Pada saat itulah Umayyah dan para juru kunci Ka’bah lainnya seperti merasakan bahwa bumi mulai bergoncang di bawah kaki mereka. Bahwa, kekuasaannya mendekati kepunahan serta menuju kehancuran.

Maka, dengan sekuat tenaga mereka menentang dakwah baru itu dengan segala cara, termasuk dengan menuduh isi dakwahnya sebagai sihir, perbuatan gila, dan kadang-kadang menuduhnya sebagai praktik perdukunan. Anak- anak Umayyah pun mengikuti jejak ayahnya.

Umayyah kemudian pergi menemui Nabi Muhammad untuk membuat sebuah kesepakatan. Muhammad marilah menuju ke sepakatan, kami akan menyem bah apa yang kamu sembah dan kamu juga menyembah apa yang kami sembah sehingga kita sama-sama dalam satu perkara. Jika yang kamu sembah itu lebih baik daripada yang kami sembah, berarti kami telah meraih bagian kami dari kebaikan itu. Jika apa yang kami sembah itu lebih baik daripada yang kamu sembah, berarti kami telah meraih bagian dari kebaikan itu, ujarnya.

Negosiasi tersebut gagal karena Rasulullah tak sedikit pun terpengaruh oleh apa yang dika takannya. Seiring gagalnya upaya tersebut, Umayyah pun memutar otak dan mencari jalan lain untuk menghentikan dakwah yang dijalankan Rasulullah.

Mencegat Rasulullah Dia dan orang Quraisy lainnya akan tidur di seputar rumah Rasulullah agar beliau tidak bisa keluar rumah dan menyebarkan ajarannya. Namun, muslihat dan tipu dayanya gagal. Rasulullah tetap bisa keluar rumah dengan mudah. Dikisahkan, Rasulullah mengambil segenggam pasir lalu menebarkannya kepada mereka sambil berdoa.

Rasulullah pun berlalu sedang mereka terlelap tidur. Akhirnya, salah seorang di antara penduduk Makkah memeriksa me reka. Siapa yang kalian tunggu? ujar nya. Muhammad, jawab mereka. Orang itu kemudian berkata, Merugilah dan gagallah kalian! Demi Allah, dia telah pergi dengan melewati kalian.

“Dia menaburkan pasir kepada kalian,” ujarnya dengan kesal.

Tak henti di situ saja, Umayyah senantiasa berada di balik kekacauan yang ditebarkan oleh kaum Quraisy untuk menimbulkan keraguan terhadap Rasulullah dan risalahnya. Sejumlah propaganda diembuskannya. Dia pernah berkata, Apakah wahyu itu diturukan kepadanya di antara kita? Sebenarnya dia adalah seorang pendusta lagi sombong.

Lain waktu Umayyah beretorika, Mengapa Alquran itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat dan kalau kami turunkan seorang malaikat tentu selesailah semua urusan itu kemudian mereka tidak diberikan sedikit pun.

Rasulullah bersabar dan memikul cacian mereka serta mengambil pelajaran dari para rasul terdahulu.

Beliau percaya betul bahwa orang- orang yang memperolok tersebut akan menerima balasannya pada waktu yang dekat dari Allah. Dan, sungguh telah diperolok-olokan beberapa orang rasul sebelum kamu.

Maka, turunlah kepada orang yang mencemoohkan rasul-rasul itu azab yang selalu mereka perolok- olokkan, demikian bunyi ayat ke- 41 dari surah al-Anbiyaa.

Kepongahan Umayyah mencapai puncaknya pada beberapa hari sebelum Perang Badar. Saat itu, seorang temannya, Sa’ad bin Muadz, singgah di rumah Umayyah dalam perjalananya umrah dari Madinah ke Makkah. Menjelang tengah hari, Sa’ad mengatakan kepada Umayyah untuk melakukan tawaf. Namun, Umayyah menghalanginya. Dia tidak membiarkan Sa’ad untuk melaksanakan ibadahnya dan bersikap tidak sopan pada pemimpin Quraisy ketika itu, Abu Jahal.

Sa’ad terbakar amarah. Biarkan kami, wahai Umayyah! Sesung guhnya aku telah mendengar Rasulullah mengatakan bahwa mereka (umat Islam–Red) akan membunuhmu! Umayyah membalas dengan berkata, Di Kota Makkah? Sa’ad berkata, Aku tidak tahu. Maka, Umayyah sangat ketakutan karena hal tersebut. Dia bahkan tidak berani untuk keluar dari Kota Makkah.

Namun, ketika akan terjadi Perang Badar, Abu Jahal memaksanya untuk ikut berperang. Umayyah tidak punya pilihan selain ikut berperang. Dalam peperangan itu lah, Umayyah terbunuh. Kisah Umayyah yang tergila-gila harta hingga berupaya untuk menghancurkan Islam ini direkam Allah dalam surah al-Humazah ayat 1-9.

Kecelakaanlah bagi setiap pe ngumpat lagi pencela. Yang mengumpulkan harta dan berulang- ulang menghitung kekayaannya. Ia menyangka bahawa hartanya itu dapat mengekalkannya (dalam dunia ini)! Tidak! Sesungguhnya, dia akan dicampakkan ke dalam al-Hutamah. Dan, apakah eng kau mengetahui apakah itu al-Hu tamah?(al-Hutamah) ialah api yang dinyalakan. Yang naik menjulang ke hati. Sesungguhnya, api neraka itu ditutup rapat atas mereka; (mereka terikat di situ) pada batang-batang palang yang melintang panjang.

 

Menjual Bilal Terlalu ‘Murah’

Umayyah bin Khalaf tidak hanya mengganggu upaya dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saja, dia juga menghalang-halangi mereka yang terbuka hatinya untuk menerima kebenaran yang disampaikan oleh Rasulullah.

Umayyah pernah menyiksa seorang budak yang memeluk Islam, yaitu Bilal bin Rabah. Umayyah pernah membaringkan Bilal di atas padang pasir yang panas membakar ketika matahari sedang terik sambil menindih batu besar di atas dadanya.

Sehingga, Bilal tidak dapat menggerakan badannya sedikit pun.

Pada malam harinya, Bilal diikat dengan rantai, kemudian dicambuk terus menerus hingga badannya luka-luka. Pada siang harinya, dia dibaringkan kembali di atas padang pasir yang panas.

“Apakah kamu bersedia mati dalam keadaan seperti ini? Ataukah kamu mau terus hidup, dengan syarat kamu tinggalkan agama Islam? ujar Umayyah. Walaupun Bilal disiksa seperti itu, ia berkata, Ahad!!! Ahad!!! sebagai wujud pengakuan atas keesaan Tuhan.

Umayyah memaksa Bilal agar memuji Latta dan Uzza yang patungnya memenuhi pelataran Ka’bah. Tapi, Bilal justru memuji nama Allah dan Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya dan Bilal menjawab, Lidahku tidak bisa mengatakannya. Jawaban ini membuat siksaan yang diterimanya semakin hebat dan keras. Apabila merasa lelah dan bosan menyiksa, Umayyah akan mengikat leher Bilal dengan tali yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang jalanan Makkah.

Penderitaan Bilal berakhir ketika Abu Bakar mengajukan penawaran kepada Umayyah untuk membeli Bilal. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan sembilan uqyah emas, dengan nilai sekarang sekitar Rp 150 juta.

Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, Sebenarnya, kalau engkau menawar sampai satu uqyah pun maka aku tidak akan ragu untuk menjualnya. Abu Bakar membalas, Seandainya engkau memberi tawaran sampai seratus uqyah pun aku tidak akan ragu membelinya.