Karya Besar Al-Jazari yang Mengguncang Dunia

Sebagai seorang insinyur Muslim, Al-Jazari juga tak pernah menyembunyikan pengetahuan yang dikuasai dari orang lain. Namun, tak seperti karya-karya ciptaannya yang begitu gamblang, jejak kehidupan pribadi sang insinyur tak begitu banyak dikupas.

Satu-satunya sumber yang mengupas otobiografinya ada di dalam pengantar buku yang ditulisnya. Sehingga, kita tak bisa mengetahui hari dan tanggal kelahiran Al-Jazari. Dia diperkirakan lahir pada 1136 M.

Dalam pembukaan risalah penemuan yang ditulisnya, Al-Jazari menyebut secara lengkap identitas dirinya sebagai ‘al-Shaykh Ra’is al-A`mal Badi`al-Zaman Abu al-`Izz ibn Isma`il ibn al-Razzaz al-Jazari.’

Gelar Ra’is Al-A`mal yang melekat pada namanya menunjukkan bahwa Al-Jazari adalah seorang pemimpin para insinyur kala itu. Sedangkan titel Badi`al-Zaman dan Al-Shaykh yang disandangnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang ilmuwan yang unik, tak tertandingi kehebatannya, menguasai ilmu yang tinggi, serta bermartabat.

Sedangkan, kata `Al-Jazari’ yang melekat pada nama lengkapnya itu menunjukkan amsalnya. Keluarga Al-Jazari berasal dari Jazirah Ibnu Umar di Diyar Bakr, Turki. Namun, hipotesis lainnya menyebutkan bahwa Al-Jazari terlahir di Al-Jazira, sebuah kawasan yang terletak di sebelah utara Mesopotamia — yakni kawasan di utara Irak dan timur laut Syiria. Tepatnya antara Tigris dan Eufrat.

Di sanalah Al-Jazari mencurahkan hidupnya sebagai seorang insinyur dengan menciptakan berbagai mesin. Para penjelajah dan pelancong yang tandang ke wilayah itu pada abad ke-12 M mengagumi kemakmuran yang diraih Dinasti Artukid. Pada saat itu pula, kedamaian dan stabilitas politik dan keamanan begitu terkendali.

Seperti halnya sang ayah, Al-Jazari mengabdikan dirinya pada raja-raja dari Dinasti Urtuq atau Artuqid di Diyar Bakir dari 1174 sampai 1200 sebagai ahli teknik. Semasa hidupnya, Al-Jazari mengalami tiga kali suksesi kepemimpinan di Dinasti Artukid, yakni; Nur al-Din Muhammad ibn Arslan (570 H – 581 H/ 1174 M – 1185 M); Qutb al-Din Sukman ibn Muhammad (681 H – 697 H/ 1185 M – 1200 M); dan Nasir al-Din Mahmud ibn Muhammad (597 H – 619 H/ 1200 M – 1222 M).

Atas permintaan Nasir al-Din Mahmud, Al-Jazari menuliskan seluruh penemuannya dalam sebuah risalah yang fenomenal. Dalam pengantar risalahnya, Al-Jazari mengungkapkan bahwa dirinya mulai mengabdi pada Dinasti Artuqid pada tahun 570 H/1174 M. Ia risalah penemuannya, setelah 25 tahun bersama menjadi ahli teknik di bawah kepemimpinan tiga raja Dinasti Artuqid.

Berdasarkan informasi itu, kita dapat menyimpulkan, kemungkinan Al-Jazari menulis risalahnya pada tahun 595 H/1198 M, atau dua tahun sebelum Nasir Al-Din didaulat menjadi raja. Menurut naskah Oxford, Al-Jazari merampumgkam risalahnya yang mengguncang dunia teknik modern pada 16 Januari 1206 M.

Karya besar Al-jazari itu disempurnakan oleh Muhammad ibn Yusuf ibn `Uthman al-Haskafiat pada akhir Sya’ban 602 H/ 10 April 1206. Dari catatan Haskapi, pada saat itu Al-Jazari sudah tiada. Dari catatan itulah, Al-Jazari diperkirakan wafat pada tahun 602 H/1206 M – beberapa bulan setelah dia menyelesaikan karyanya.

Berkat karya-karyanya yang begitu gemilang, Al-Jazari telah turut mengangkat sejarah peradaban Islam pada kejayaannya di abad ke-12 M. Saat itu, dunia Islam mampu mencapai peradaban paling tinggi.

IHRAM

Kopi Warisan Umat Islam di Era Keemasan

Menyeruput kopi telah menjadi gaya hidup masyarakat dunia modern. Tak heran, bila kemudian kedai kopi dari kelas bawah hingga kelas atas tumbuh dan menjamur. Minuman hitam yang nikmat itu ternyata juga ternyata warisan masyarakat Muslim di era keemasan.

Kali pertama, minuman kopi ditemukan masyarakat Muslim di Yaman pada abad ke-10 M. Di Yaman, kopi diracik sebagai minuman bernama Al-Qahwa. Konon, minuman itu dibuat oleh kelompok sufi agar mereka dapat tetap beribadah serta berzikir sepanjang malam. Kopi menyebar ke seluruh negeri Muslim melalui para pelancong, jamaah haji dan para pedagang.

Minuman kopi mulai dikenal masyarakat Makkah dan Turki di akhir abad ke-15 M. Sedangkan, masyarakat Mesir baru bisa mencicipi kopi pada abad ke-16 M. Masyarakat Eropa baru mengenal nikmatnya kpoi pada abad ke-17 M. Kopi masuk ke Eropa melalui Italia.

Hubungan perdagangan antara Venisia dengan Afrika Utara, khususnya Mesir menjadi pintu masuknya kopi ke Eropa. Awalnya, hanya kaum berpunya di Eropa yang bisa menyeruput nikmatnya kopi.

Untuk pertama kalinya, kedai kopi dibuka di Venisia pada 1645 M. Sejak itu kopi menjadi minuman yang selalu hadir setiap sarapan masyarakat Venisia. Tak heran, jika pada 1763 telah berdiri 218 kedai kopi di wilayah itu.

Kedai kopi pertama muncul di Inggris pada 1650 M. Menurut Darby, kopi diperkenalkan melalui orang-orang Turki. Kopi dibawa ke Inggris oleh seorang saudagar Turki bernama Pasqua Rosee. Dia pertama kali menjual kopi di Lombard-Street. Pada 1658 M, Rosee juga membuka kedai kopi bernama Sultaness Head di Cornhill. Pada tahun 1700 M, di London sudah berdiri 500 kedai kopi.

Kopi mulai dikenal di Prancis pada 1644 M dibawa orang Marseilles yang kembali dari Istanbul Turki. Mereka tak hanya membawa kopi namun juga teknik meracik dan peralatan untuk membuat minuman kopi. Pertama kali, kedai kopi di buka di Marseilles pada tahun 1671 M. Setelah hadir di Italia, Inggris dan Prancis, kopi lalu menyebar ke seluruh benuah Eropa. Masyarakat Jerman mulai mengenal kopi setelah mengalangkah pasukan Turki.

Sedangkan, Belanda membawa biji kopi dari negara Muslim di Asia Tenggara, yakni Indonesia. Masyarakat Amerika justru terbilang paling belakang mengenal dan merasakan nikmatnya kopi. Kopi di bawa ke Amerika melalui orang Prancis.Sejak 1683 M, cara baru mempersiapkan dan meminum baru mulai ditemukan. Minuman kopi pun mulai bervariasi. Masyarakat dunia pun mengenal Cappuccino. Konon, nama Cappucino diambil dari nama biarawan Capuchin yang melawan Turki dalam pertempuran di Winna pada 1683 M.

IHRAM

Masjid Umayyah, Jejak Peninggalan Peradaban Damaskus

Salah satu bukti peninggalan terbesar era peradaban Islam di abad pertengahan adalah Masjid Ummayah. Tak heran, bila bangunan yang hingga kini masih bertengger kokoh itu menjadi salah satu bangunan masjid terpenting di Damaskus. Bangunan Masjid Umayyah berasal dari sebuah rumah pemujaan bangsa Yunani yang dibangun sekitar tahun 1000 SM.

Sebelum Islam datang, kaum Nasrani menyulapnya menjadi gereja. Ketika Islam menginjakkan kakinya dan disambut penduduk Damaskus, bangunan itu oleh Abu Ubaidah bin Jarrah mulai difungsikan sebagai masjid. Awalnya, bangunan itu sebagaian digunakan sebagai gereja dan sebagian lainnya untuk tempat ibadah umat Islam.

Seiring waktu, jumlah penganut Islam bertambah banyak sedangkan penganut Kristen berkurang. Khalifah Al-Walid kemudian memutuskan untuk menjadikan bangunan itu sebagai masjid. Bentuk dan arsitekturnya pun diubah. Pemerintahan Islam, saat itu, membangunkan sebuah gereja baru bagi kaum Nasrani.

Tak seluruh desain bangunan kuno itu diubah. Dua dari tiga buah balkon masih tetap digunakan. Khalifah Al-Walid I yang dikenal memiliki selera arsitektur yang tinggi membangun kembali bangunan itu menjadi sebuah masjid dengan sentuhan teknologi moderen dan tetap memperhatikan aspek estetikanya. Pada era masa keemasan, Masjid Umayyah menjadi pusat kegiatan umat Islam.

Sayangnya, masjid rancangan Khalifah Al-Walid I itu terbakar pada tahun 461 H. Masjid itu kemudian diganti dengan bangunan baru yang berbeda dari bentuk pertama dan mengikuti model masjid biasa. Bangunan baru itu memiliki tiga buah menara, tiga buah kubah, empat buah mihrab, tiga buah saumaah, dan empat buah gapura. 

IHRAM

Keterlibatan Non-Muslim dalam Pemerintahan Khalifah Muawiyyah

Keterlibatan non-Muslim dalam pemerintahan Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan. Hal ini membuka tabir pada kita, bahwa kendati non muslim, tetap terlibat dalam pelbagai jabatan strategis pemerintahan. 

Sejarah panjang perjalanan kekuasaan Islam yang kemudianpopuler dengan istilah “khalifah”, menyimpan banyak sekali cerita yang menjadi pelajaran. Salah satunya keterlibatan non muslim yang hidup berdampingan di dalamnya bahkan menjadi bagian dari orang yang terlibat dalam pengelolaan pemerintah.

Dalam tulisan ini yakni pada masa khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan, pada Bani Umayyah. Pemerintahan Bani Ummayyah menanti berakhirnya era khalifah Rasulluh yang 4 orang (Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali).

Sekilas Bani Umayyah

Bani Umayyah dikenal sebagai kekhalifahan Islam pertama setelah khulafaur Rasyidin. Periode ini sejak 661- 750 masehi. Dalam sejarah kemunculannya, masa krisis kepemimpinan pada era khulafaur Rasyidin terjadi ketika di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.

Setelah Ali wafat, kepemimpinan berlanjut pada Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya, Hasan mengundurkan diri dan menyebabkan kekosongan pemimpin. Dari sinilah berdirinya Bani Umayyah yang pertama, dengan pimpinannya Muawiyah bin Abi Sufyan. (Baca: Tragedi Duka dalam Sistem Khilafah Islamiyah). 

Muawiyah bin Abi Sufyan adalah khalifah pertama pada masa Bani Umayyah. Dalam melaksanakan pemerintahannya, ia melakukan beberapa kebijakan, di antaranya:

Pertama, memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Damaskus. Alasan politis pemindahan kekuasan, sebab Madinah adalah tempat para khulafaur rasyidin, yang memiliki sedikit banyak konflik politis dengan Muawiyah.

Sehingga langkah memindahkan pusat pemerintah ke Damaskus pada saat itu merupakan langkah yang sangat tepat untuk membangun tatanan negara baru setelah runtuhnya masa khulafaur rasyidin

Alasan lain yakni, Muawiyah, pada saat khalifah Umar bin Khattab, pernah menjadi gubernur di Distrik, yang masih wilayah Damaskus. Sehingga sangat mudah bagi Muawiyah untuk membangun pusat pemerintahan di Damaskus.

Kedua, membangun kekuatan militer. Dalam pembangunan ini, Muawiyah membangun kekuatan militer mulai dari darat, laut dan kepolisian yang bertugas untuk menjaga stabilitas keamanan negara serta memperluas wilayah kekuasaan.

Ketiga, ekspansi wilayah Islam. Patut menjadi catatan, bahwa Bani Umayyah memiliki banyak sekali daerah kekuasan yang berhasil mereka taklukkan. Pada masa Muawiyah bin Sufyan, setidaknya ada beberapa negara yang menjadi daerah kekuasaan Islam pertama tersebut, di antaranya: Afrika Utara, Spanyol, Palestina, Semenanjung Arab, Irak Persia, Afghanistan, Pakistan, Rurkmania, Uzbek, Kirgis.

Keberhasilan penyebaran wilayah kekuasaan Islam ini menciptakan benih-benih kebudayaan arab yang semakin meluas. Sehingga dari keberhasilan inilah, suatu saat berkembang pada zaman Dinasti Abbasiyah yang berhasil menjadi pusat peradaban dunia selama berabad-abad.

Non-Muslim dalam Pemerintahan Khalifah Muawiyyah

Keempat, merekrut orang Mereka merekrut orang-orang non-muslim sebagai pejabat-pejabat dalam pemerintahan, seperti penasehat, administrator, dokter, dan kesatuan-kesatuan tentara.

Proses perekrutan ini berarti, menjadi salah satu keniscayaan yang bisa mengindikasikan dan menjadi pemahaman umat muslim bahwa, keterlibatan non muslim pada saat itu memiliki peran penting yang sangat strategis dalam membantu pemerintah Muawiyah. 

Apalagi ketika melihat kondisi pada masa itu adalah heterogen, sangat mungkin masyarakat non muslim juga ikut andil dalam keberlangsungan kerja-kerja pemerintahan di bawah komando khalifah Muawiyah.

Kelima, melakukan penyempurnaan dalam bidang administrasi negara. Pada konteks ini, Muawiyah membentuk Lembaga pengawal pribadi (Hajib) dalam sistem pemerintahannya.

Lembaga tersebut terbentuk atas dasar pengaruh Syam dan Persia, serta melihat tragedi sebelumnya, yakni terbunuhnya Ali. Sehingga Lembaga tersebut sebagai bagian dari pengamanan yang ia dapatkan untuk melakukan kerja-kerja pemerintahan.

Keenam, mengubah sistem khalifah yang pada mulanya demokratis, menjadi sistem penunjukkan. Hal ini terlihat dari kebijakannya ketika memilih anaknya sebagai penggantinya.

Pada poin ini kemudian kita memahami bagaimana urgensitas nasab yang menjadi  prioritas Muawiyah dalam penerusan tahta pemerintahan supaya tetap dipimpin keturunannya. 

Struktur pemerintahan pusat pada masa Mu’awiyah terdiri dari: Diwan al-Jund (mengurus tentang militer), Diwan al-kharaj (mengurus tentang perpajakan dan keuangan), Diwan al-Rasa’il (mengurus surat menyurat), Diwan al-Khatam (mengurus bagian arsip dan dokumentasi negara), Diwan al-Barid (layanan pos dan registrasi penduduk).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat pemahaman bahwa, keterlibatan non muslim pada Bani Umayyah di bawah kepemimpinan Muawiyah memiliki kontribusi yang cukup baik. Sebab posisi yang ada di dalamnya, tidak hanya tenaga profesional seperti dokter.

Akan tetapi, dalam ranah politik pemerintahan, seperti penasehat, tentara dalam pemerintahan. Sehingga bisa dipahami, peran non muslim dalam pemerintahan Islam tidak memberikan pengaruh buruk terhadap  sistem pemerintah yang ada pada saat itu.

Demikian penjelasan keterlibatan non-muslim dalam pemerintahan Khalifah Muawiyyah bin Abi Sufyan. Semoga bermanfaat.

BINCANG SYARIAH

Mengenal Pasar pada Masa Awal Islam Sebagai Pusat Perekonomian

Terpotret sejarah bahwa agama Islam turun di daerah yang terbilang maju dalam sektor perekenomiannya. Dalam sektor ekonomi, penduduk tanah Arab kebanyakan aktivitasnya adalah perniagaan ataupun bisnis. Pada musim-musim tertentu, orang-orang Arab melakukan ekspor dengan pergi ke luar kota untuk menjual komoditinya, mulai dari daerah Syam hingga kota Yaman. Tidak hanya itu, mereka juga mengimpor barang saat melakukan perjalanan dagang dengan membeli barang-banrang dari luar kota yang kemudian dijual di tanah Arab. Bagaimanakah pasar pada masa awal Islam berperan dalam sektor perekonomian?

Ada beberapa tempat yang dijadikan pusat perdagangan atau pasar untuk melakukan aktivitas bisnis di musim-musim tertentu. Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya [3/53] menyebutkan tiga pasar yang dijadikan pusat perdagangan di era Jahiliyah hingga era Islam. Antaranya, pasar Ukkazd, pasar Dul Majaz dan pasar Majannah. Sedangankan dalam kitab Umdatul Al-Qari Syarhi Shahih Al-Bukhari [103/10] menyebutkan satu pasar lagi yaitu pasar Habasyah. Tiga pasar yang disebutkan oleh Imam Bukhari di atas dilakukan perdagangan saat musim-musim haji.

Pasar Ukkazd terletak di ujung daerah Najd dekat dengan Arafah atau Thaif. Pasar ini juga menjadi perkumpulan orang-orang Arab untuk melakukan aktivitas ekonomi dan juga kegiatan seni berupa syair-syair yang dulu pernah dijadikan komoditi.

Pasar Dul Majaz, pasar yang terletak di daerah yang berdekatan dengan Arafah dan menurut Al-Kalbiy, pasar ini termasuk pasar dari kaum Hudail yang berjarak sekitar satu farsakh dengan Arafah. Pasar ini disenggelarakan pada tanggal 1-7 zdul Hijjah.

Pasar Majannah, pasar yang terletak beberapa mil dari kota Mekkah dan bersebelahan dengan kota Al-Dhahran. Pasar ini kepunyaan Bani Kinanah dan Syamah dan Thufail. Dinamanakan Majannah karena pukulan dari orang-orang gila berada di dasana.

Pasar Hubasyah terletak antara kota Mekkah dan Yaman sejarak sekitar enam Marhalah. Pasar ini digelar tidak pada musim haji melainkan pada bulan Rajab. Oleh karena itu, pasar ini tidak disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Menurut Al-Rayathi, pasar ini termasuk pasar yang terbesar yang dimiliki oleh Bani Tihamah sebagai pusat perdaganagan dan aktivitas ekonomi di era tersebut. Rasulullah juga sempat melakukan transaksi di pasar ini.

Pasar-pasar lainnya, sebagaimana disebutkan dalam buku Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prespektif Maqhasid Al-Syariah [198], disana disebutkan beberapa tempat yang dijadikan pusat aktivitas ekonomi pada masa Rasulullah, diantaranya pasar Fumatul Janal (ujung utara Hijaz dekat dengan perbatasan syiria), Mushaqqar (di pasar ini perdagangan diselenggarakan selama satu bulan penuh).

Pasar suhar (salah satu kota yang dijadikan pusat perdaganagan di daerah Oman), pasar Dabba (biasanya orang-orang yang melakukan bisnis daerah ini antara lain Cina, India dan lain sebagainya), Shihr (waktu untuk melakukan bisnis di daerah ini yaitu wal pecan hingga pertengahan bulan Sya’ban).

pasar Aden ( terletak di daerah Yaman dan diselengarakan pada tanggal satu sampai sepuluh Ramadan), pasar Sana, pasar Rabiyah, pasar mina, Nazat, Hijr dan pasar Busyra (kota di Syiria, di luar semenanjung Arab dan termasuk pasar yang sering dikunjungi Nabi Muhammad).

Itulah pasar-pasar yang dijadikan tempat untuk kegioatan eknomi umat di masa sebelum datangnya Islam hingga Islam datang sebagai Agama untuk menuntun umatnya termasuk dalam tindak-tanduk perekonomian. Dimana banyak ditemukan praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai keislaman dan kemanusiaan semisal penimbunan dan lain sebagainya.

BINCANG SYARIAH

Manfaat Belajar Sejarah Hidup Nabi Muhammad

Allâh ‘Azza wa Jalla telah menentukan nabi terakhir dan menjatuhkan pilihan-Nya pada diri Muhammad bin `Abdillâh shallallahu ‘alaihi wasallam . Beliau mendapatkan berbagai keistimewaan dari Allâh ‘Azza wa Jalla yang tidak dimiliki oleh orang lain, sebagaimana umat Islam juga memiliki keistimewaan yang tidak ada pada agama sebelumnya.

Dalam Shahîh Muslim, Rasûlullâh shallâllahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ وَلَدِ إِسْمَعِيلَ وَاصْطَفَى قُرَيْشًا مِنْ كِنَانَةَ وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ

Sesungguhnya Allâh memilih Kinânah dari keturunan (Nabi) Ismail. Dan memilih suku Quraisy dari (bangsa) Kinânah. Kemudian memilih Bani Hâsyim dari suku Quraisy dan memilih diriku dari Bani Hâsyim” (HR Muslim no. 4221).

Melalui hadits yang mulia ini, dapat diketahui bahwa Rasûlullâh shallâllahu ‘alaihi wasallam merupakan pokok dari seluruh intisari kebaikan melalui tinjauan kemuliaan nasab, sebagaimana pada beliau shallâllahu ‘alaihi wasallam juga terdapat pokok dari intisari-intisari keutamaan dan ketinggian derajat di sisi Allâh ‘Azza wa Jalla ( Min Akhlâqir Rasûl, Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad).

Manfaat dirasah (mempelajari) Siroh Nabawi

Mempelajari Siroh (sejarah hidup) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berguna sebagai nutrisi bagi hati dan sumber keceriaan bagi jiwa serta penyejuk bagi mata. Bahkan hal itu merupakan bagian dari agama Allah Ta’ala dan ibadah untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Sebab, kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sarat merupakan kehidupan dengan mobilitas tinggi, ketekunan, kesabaran, keuletan, penuh harapan, jauh dari pesimisme dalam mewujudkan ubudiyah (penghambaan diri) kepada Allah Ta’ala dan mendakwahkan ajaran agama-Nya.

Faedah dan manfaat mempelajari Sirah Nabawi tersimpulkan pada poin-poin berikut:

  1. Mengenal teladan terbaik bagi seluruh manusia dalam aqidah, ibadah dan akhlak. Allah Ta’ala berfirman:
    Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah“. (QS. Al-Ahzab/33:21).
    Dan usaha meneladani Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa lepas dari mengetahui sejarah hidup dan petunjuk-petunjuk beliau.
  2. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi mizan (timbangan) amal perbuatan manusia. Tentang ini, Imam Sufyan Ibnu ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah timbangan paling inti. Maka, segala sesuatu ditimbang dengan akhlak, siroh dan petunjuk beliau. Yang sesuai, maka itulah yang benar, dan yang berlawanan dengannya, maka itulah kebatilan”. (Diriwayatkan al-Khathib al-Baghdadi dalam muqaddimah kitab al-Jami li Akhlaqir Rawi wa Adabi as-Sami’).
  3. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantu dalam memahami Kitabullah, karena kehidupan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pengamalan nyata terhadap al-Qur`an. Hal ini berdasarkan keterangan Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika ditanya tentang akhlak beliau, “Akhlak beliau adalah al-Qur`an”. Dan yang dimaksud dengan akhlak di sini adalah pengamalan agama beliau, beliau telah mengerjakan petunjuk al-Qur`an dengan sempurna, dalam hal perintah dan larangan serta adab-adab al-Qur`an.
  4. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperkuat cinta seorang Muslim kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Penanaman cinta dan penguatannya pada hati seorang Muslim menuntutnya untuk mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, supaya cintanya kian subur di hatinya terhadap sosok yang mulia ini. Dan selanjutnya, cinta tersebut akan mendorongnya menuju setiap kebaikan dan ittiba’ kepada beliau.
  5. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pintu menuju peningkatan keimanan.
  6. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantu memudahkan memahami Islam dengan baik dalam aspek aqidah, ibadah dan akhlak. Dan sejarah telah mencatat bahwa beliau memulai dakwah dengan tauhid dan perbaikan aqidah dan menekankan pada masalah tersebut.
  7. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menggariskan manhaj (metodologi) dalam berdakwah di atas bashirah (ilmu). Dan seorang dai sejati adalah orang yang menguasai petunjuk, langkah dan sejarah hidup beliau. Allah Ta’ala berfirman: “Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata” (QS. Yusuf/12:108)
  8. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri sudah merupakan bukti kebenaran nubuwwah dan kerasulan beliau.
  9. Mempelajari Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan pintu berkah menuju gerbang kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan seseorang tergantung pada sejauh mana ia mengetahui petunjuk-petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebab tidak ada jalan menuju kebahagiaan bagi seorang hamba di dunia dan di akhirat kecuali melalui petunjuk para rasul.
  10. Siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa perilaku dan sejarah hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan jalan hidup bagi setiap Muslim yang mengharap kebaikan dan kehidupan mulia di dunia dan akhirat. Generasi Islam akan mengalami kemerosotan bila sebagian mereka lebih mengenal sejarah hidup orang-orang yang tidak pantas diteladani.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala menggantungkan kebahagiaan dunia dan akhirat pada ittiba kepada beliau, dan menjadikan celaka di dunia dan akhirat disebabkan menentang beliau”. (Zadul Ma’ad fi Hadyi Khairil ‘Ibad 1/36).

Ibnul Qayyim rahimahullah juga mengklasifikasikan sikap manusia terhadap sejarah hidup Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menjadi tiga golongan: mustaktsir (banyak tahu), muqill (kurang peduli), mahrum (jauh darinya). Tiga jenis manusia yang disebutkan Ibnul Qayyim ini otomatis menjadi realita yang ada di tengah umat.

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ إِيْمَانًا لَا يَرْتَدُّ وَنَعِيْمًا لَا يَنْفَدُ وَمُرَافَقَةَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ أَعْلَى جَنَّةِ الْخُلْدِ.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keimanan yang tidak akan lepas, nikmat yang tidak pernah habis dan menyertai Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam di Surga Khuld yang paling tinggi”. (HR. Ahmad dan lainnya. Al-Albani menilai hadits ini berderajat hasan. Ash-Shahihah no.2301).

[Bahan kajian ini merupakan ringkasan dari makalah Min Fawaaidi ad-Dirasah as-Siratin Nabawiyyah. Syaikh Prof.DR. Abdur Rozzaq al-Badr dalam websitenya al-badr.net, dengan sedikit tambahan]

Penulis: Ustadz Muhammad Ashim Musthafa Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (5): Perang Shiffin

Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib telah menetapkan putusan. Ia akan menyerang penduduk Syam. Ia lazimkan penduduk Syam untuk baiat dan tunduk. Al-Hasan bin Ali berkata, “Ayah, jangan lakukan ini. Karena hal ini mengakibatkan pertumpahan darah di tengah kaum muslimin. Dan membuat jurang perselisihan di antara mereka.” Namun Ali tidak menerima saran putranya. Ia sudah membulatkan tekad untuk menyerang Syam yang tidak tunduk (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Muluk, 5/217).

Ini adalah nasihat kedua yang dilontarkan al-Husan kepada ayahnya. Sebelumnya ia menasihati ayahnya agar tak menggerakkan pasukan menuju Bashrah. Agar tidak terjadi perang saudara. Namun Ali tetap melakukan apa yang ia pikirkan. Terjadilah Perang Jamal.

Sekarang Ali menggerakkan pasukannya menuju an-Nakhilah. Sebuah daerah di dekat Kufah. Di sana pasukan akan berhimpun dengan pasukan Bahsrah yang dipimpin Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma. Dari sana mereka serentak bergerak menyisiri Sungai Eufrat menuju Shiffin. Di pihak lain, Muawiyah juga telah bergerak bersama pasukannya menuju Shiffin. Peristiwa ini terjadi pada awal bulan Dzul Hijjah tahun 36 H.

Yang perlu dicatat, sampai pada kondisi ini kedua pasukan tidak berkeinginan untuk berperang. Para sahabat adalah seorang yang sangat mengetahui betapa mahalnya darah seorang muslim. Sehingga pergerakan pasukan ini tidak ditujukan untuk saling bertumpah darah. Bukan untuk saling berperang dan menaklukkan. Mereka tidak mau apa yang terjadi di Perang Jamal terulang kembali.

Hal ini tak akan dipahami oleh mereka yang tidak mengenal para sahabat nabi. Seperti para orientalis dan orang-orang yang mengikutinya. Mereka tidak memahami bagaimana takwa para sahabat. Bagaiamana persaudaraan di antara mereka. Bagaimana keinginan mereka untuk islah. Bagaimana kecintaan mereka pada kebaikan. Para orientalis tak akan mampu merenungi bagaimana kisah Abdurrahman bin Auf dan Saad bin Rabi’ saat dipersaudarakan oleh Rasulullah. Mereka tak akan mengerti bagaimana itsar (mendahulukan dalam kebaikan) di tengah para sahabat Muhajirin dan Anshar yang dipuji Allah dalam surat Al-Hasyr. Para orientalis dan orang-orang yang sejalan dengan mereka dengan cepat bertanya, “Bagaimana bisa pasukan digerakkan tapi tidak ingin berperang?”

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Lebih dari satu orang dari pasukan Muawiyah mengatakan, ‘Mengapa engkau melawan Ali? Engkau bukan orang yang mengungguli Ali dalam keutamaan dan kekerabatan (dengan Rasulullah)? Ali-lah yang lebih layak menjabat khalifah dibanding dirimu’. Muawiyah pun mengakui hal tersebut. Namun mereka memihak Muawiyah karena mendapat informasi bahwa di pasukan Ali terdapat kezaliman terhadap mereka. Sebagaimana kezaliman terhadap Utsman. Mereka siap berperang untuk membela diri. Dan berperang karena hal ini boleh. Karena itulah mereka tidak memulai menyerang. Sampai mereka yang diserang (Ibnu Taimyah: Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/217).

Artinya, pasukan Muawiyah mendapat informasi bahwa pasukan Ali telah disusupi oleh para pembunuh Utsman. Sebagaimana yang terjadi di Perang Jamal. Inilah yang terjadi. Dari Amir asy-Sya’bi dan Abu Ja’far al-Baqir, “Ali mengutus seseorang menuju Damaskus untuk memperingatkan mereka bahwa ia telah menyeru penduduk Irak tentang loyalitas kalian pada Muawiyah. Saat berita ini sampai pada Muawiyah, ia memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan. Orang-orang pun berkumpul memenuhi masjid. Muawiyah naik mimbar dan berkhutbah, ‘Sesungguhnya Ali telah menyeru penduduk Irak menuju kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang menepuk dada mereka tanpa ada yang mengucapkan sepatah kata pun. Dan tak ada yang mengangkat pandangan mereka.

Seseorang yang disebut dengan Dzul Kila’ berkata, ‘Hai Amirul Mukminin, engkaulah yang memutuskan dan kami akan melakukan’. Kemudian Muawiyah berkata di hadapan khalayak, pergilah kalian menuju kamp. Siapa yang tertinggal, biarkanlah. Kemudian berkumpullah’. Lalu utusan Ali itu berangkat menuju Ali dan mengabarkannya. Ali pun memerintahkan agar orang-orang dikumpulkan di masjid. Lalu ia berkhotbah, ‘Muawiyah telah mengumpulkan pasukan untuk memerangi kalian. Bagaimana pendapat kalian’? Orang-orang bergemuruh. Sehingga Ali tak bisa menangkap apa yang mereka ucapkan. Ali turun dari mimbar dan berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 8/127).

Ali sadar pengikutnya tidak satu suara. Kesetiaan mereka tidak bisa diandalkan. Dan di tengah mereka ada pengkhianatan. Bandingkan dengan kesetiaan pengikut Muawiyah. Benar saja, para pengobar fitnah berusaha menggembosi peperangan. Terjadilah perang yang mayoritas para sahabat tidak turut serta di dalamnya. Diriwayatkan Muhammd bin Sirin rahimahullah berkata, “Saat fitnah bergejolak jumlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sekitar 10.000 orang. Yang turut serta di dalamnya tidak sampai 100 orang. Bahkan tidak sampai 30 orang (Ibnu Taimiyah: Minhaj as-Sunnah, 6/236).

Artinya, para sahabat memegang pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang fitnah. Mereka menjauhinya. Tidak seperti cerita yang disampaikan para pendusta. Seakan hampir semua atau bahkan semua sahabat terlibat dalam fitnah ini. Mereka kesankan para sahabat berpecah dan saling menumpahkan darah. Mengkhianati pesan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ammar bin Yasir dan Para Pemberontak

Di antara kejadian penting dalam rangkaian Perang Shiffin adalah syahidnya sahabat Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhu. Ammar berada di barisan Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَيْحَ عَمَّارٍ! تَقْتُلُهُ الْفِئَةُ الْبَاغِيَةُ

“Duhai Ammar, engkau akan dibunuh oleh kelompok pembangkang.” [HR. al-Bukhari (436, 2657) dan Ahmad (11879)).

Terbunuhnya Ammar ini memperjelas posisi Ali dan Muawiyah. Mana ijtihad keduanya yang benar dan mana yang salah. Ali dan orang yang bersamanya berada di pihak yang benar. Sementara Muawiyah dan orang yang bersamanya keliru dalam ijtihad mereka.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6518-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-5-perang-shiffin.html

Ringkasan Kisah Fitnah dan Perpecahan di Masa Sahabat (4): Perang Jamal

Karena Ali menganggap Muawiyah membangkang, ia pun memutuskan mengambil sikap tegas. Ia berangkat ke Syam untuk memerangi gubernurnya itu. Dalam perselisihan ini, kita harus tetap menjaga adab terhadap para sahabat. Dua orang sahabat Nabi berselisih. Mereka berijtihad dengan argumentasi masing-masing. Ali berpendapat bahwa pembunuh Utsman tidak bisa ditangkap dan dieksekusi sesegera mungkin. Alasanya jumlah mereka banyak. Mereka mengepung Madinah. Mengeksekusi mereka saat itu akan membuat kekacauan dan pertumpahan darah yang lebih besar. Ditambah lagi para pelaku belum bisa diketahui dengan detil. Sehingga hukum sulit ditegakkan.

Sedangkan Muawiyah berpendapat dia adalah kerabat Utsman. Seorang kerabat berhak menuntut darah kerabatnya. Karena itu, ia menuntut Ali segera menegakkan hukum untuk para pembunuh. Muawiyah juga bukan tidak mau berbaiat. Bukan pula membangkang. Ia hanya menunda sampai tuntutannya dipenuhi.

Saat Ali tengah menyiapkan pasukan menuju Syam, ia dapati ada kelompok lainnya. Kelompok yang di dalamnya terdapat Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Mereka keluar menuju Bashrah. Para sahabat ini memandang Ali keliru karena tidak bersegera menegakkan hukum. Dan mereka berpandangan, mereka memiliki kekuatan untuk melakukan apa yang tidak mampu dilakukan Ali. Karena itulah mereka memutuskan berangkat ke Bashrah untuk mengqishash para pembunuh Utsman radhiallahu ‘anhu. Kelompok ini memandang sikap mereka akan mewujudkan islah di tengah kaum muslimin. Sementara sikap kita adalah menahan diri, tidak berkomentar buruk terhadap para sahabat. Mengingat kedudukan mereka di sisi Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jamadil Akhir tahun 36 H.

Ali terkejut dengan pergerakan kelompok Aisyah. Ia pun mengubah rencana. Yang semula berencana menuju Syam, berubah menuju Bashrah. Tujuannya untuk menghentikan pasukan Aisyah, az-Zubair, dan Thalhah. Kemudian meminta mereka kembali ke Madinah. Bukan untuk memerangi mereka. Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma menasihati sang ayah untuk tidak memobilisasi pasukan menuju mereka. Karena hal itu bisa dimaknai perang. Namun Ali tetap pada pendapatnya. Ia berangkat menuju pasukan yang menuju Bashrah ini. Tempat dimana para pembunuh Utsman berkumpul.

Saat gubernur Bashrah mendengar kedatangan Pasukan Jamal, ia keluar menemui Ali. Saat tiba di Dzi Qar, Ali mengutus al-Qa’qa’ menemui para sahabat yang sudah sampai di Bashrah. Ali berkata, “Temuilah Zubair dan Thalhah. Ajak mereka bersatu. Dan jelaskan buruknya perpecahan pada keduanya.” Ali menguji utusannya ini dengan mengatakan, “Apa yang akan kau perbuat saat menemui keduanya, padahal engkau tidak memiliki wasiat dariku”? al-Qa’qa’ menjawab, “Aku temui mereka dengan apa yang kau perintahkan. Apabila mereka menanggapi dengan sesuatu yang di luar rencana kita. Saya akan berijtihad. Saya akan bicara pada mereka. Mendengar pendapat mereka. Dan berpendapat sesuai kondisi yang selayaknya.” Ali berkata, “Bagus.” Al-Qa’qa’ pun berangkat memasuki Bashrah. Ia mulai dengan menemui Aisyah. Ia mengucapkan salam pada ibu dari orang-orang yang beriman itu. Kemudian mengatakan, “Ibu, apa yang mendorongmu datang ke tempat ini”?

Aisyah radhiallahu ‘anha menjawab, “Anakku, aku menginginkan perdamaian terwujud di tengah khalayak.”

Al-Qa’qa’ berkata, “Utuslah orang kepada Thalhah dan Zubair agar Anda bisa mendengar ucapanku dan ucapan keduanya.” Lalu Aisyah mengirim seseorang untuk mengundang Thalhah dan Zubair berkumpul. Keduanya pun datang. Al-Qa’qa’ berkata, “Aku telah bertanya kepada Ummul Mukminin tentang alasan kedatangannya ke sini. Beliau menjawab, ‘Ingin mewujudkan perdamaian di tengah khalayak’. Lalu bagaiman dengan kalian berdua? Apakah kalian berdua sependapat dengan Ummul Mukminin”? Thalhah dan Zubair menjawab, “Kami sependapat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40).

Aisyah berkata, “Lalu bagaimana dengan engkau, Qa’qa’”?

Al-Qa’qa’ berkata, “Solusi dari permasalahan ini adalah ketenangan. Kalau tenang, kekisruhan ini akan hilang. Kalau Anda sekalian membaiat Ali, maka itu tanda kebaikan dan rahmat. Dan tuntutan terhadap darah Utsman dapat dilakukan. Terjadilah kebaikan dan kedamaian di tengah umat. Tapi kalau Anda sekalian menolak dan mengedepankan ego, sangat disayangkan, ini tanda keburukan dan kerugian. Kedepankanlah kebaikan dan berusahalah mewujudkannya. Jadilah kunci-kunci kebaikan sebagaimana dulu. Jangan kalian hadapkan kami pada bala’. Niscaya bala’ itu bersegera menerpa kalian pula. Aku ucapkan perkataanku ini dan aku ajak kalian dengan nama Allah. Aku benar-benar khawatir urusan ini tidak selesai hingga Allah mencabut kebaikan pada umat ini dan menyusahkan mereka. Terjadilah apa yang terjadi. Sungguh pembunuhan Utsman ini permasalahan yang sangat besar. Bukan seperti seseorang membunuh seorang lainnya. Bukan pula seperti satu kabilah membunuh seseorang.”

Mereka menjawab, “Engkau benar. Kembalilah. Kalau Ali sependapat dengan apa yang kau sampaikan, maka masalah ini akan menemui solusinya.”

Al-Qa’qa’ kembali menemui Ali. Ali pun takjub dengan apa yang ia sampaikan. Para sahabat sepakat bersatu. Orang-orang yang menginginkan perdamaian bergembira. Namun mereka yang ingin perpecahan terus terjadi (para pembunuh Utsman), merasa terancam dengan persatuan ini. Sebelum al-Qa’qa’ kembali, pasukan Arab yang berada Bashrah ini pergi menemui Ali di Dzi Qar. Mereka ingin tahu bagaimana pendapat saudara-saudara mereka (kelompok Ali) di Kufah. Apa yang memotivasi mereka ingin menghadang pasukan Bashrah. Dan pasukan Bashrah juga ingin menyampaikan kepada pasukan Kufah, kalau sebenarnya mereka menginginkan terwujudnya perdamaian. Tidak terbetik di pikiran mereka untuk mengusik dan memerangi mereka.” (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/40-41).

Saat itu, Ali pun tiba. Ia mengutus Hakim bin Salamah dan Malik bin Hubaib untuk menyampaikan pada Pasukan Jamal (pasukan Bashrah kelompok Aisyah, Thalhah, dan Zubair), “Kalau kalian masih dalam kondisi saat bertemu dengan al-Qa’qa’, tetaplah dalam kondisi tersebut. Lalu kita lihat apa yang akan terjadi.” Hakim dan Malik kembali menghadap Ali dan membawa kabar bahwa orang-orang Bashrah masih dalam kondisi saat al-Qa’qa’ bersama mereka (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/43).

Ali mengirim utusan kepada tokoh di pihaknya dan tokoh di pihak Thalhah dan Zubair. Ia mengabarkan untuk bertemu dan bersatu. Mereka pun melewati malam dalam kondisi ketenangan dan kedamaian yang tidak mereka rasakan di malam-malam sebelumnya. Kaum muslimin merasakan kegembiraan dengan terwujudnya perdamaian ini. Namun para pemberontak dan pembuat fitnah tidak tinggal diam. Mereka mengkhawatirkan keselamatan mereka kalau sampai perdamaian benar-benar terwujud. Mereka melewati malam yang buruk.

Para ahlul fitnah berkumpul. Hadir dalam pertemuan makar itu Ulba bin al-Haitsam, Adi bin Hatim, Salim bin Tsa’labah, Syuraih bin Aufa, al-Aystar, dan sejumlah orang lainnya yang terlibat dalam pembuhan Utsman. Perkumpulan ini dihadiri juga simpatisan mereka. Kemudian orang-orang dari Mesir. Seperti Abdullah bin Saba’ dan Khalid bin Muljim. Mereka berdiskusi. Mereka berkata, “Apa rencana kita? Lihatlah Ali. Demi Allah, di antara orang yang menuntut darah Utsman, dia adalah seorang yang paling paham tentang Alquran. Dan orang yang paling mengamalkannya. Dan kita telah mendengar apa yang dia putuskan. Tidak akan bergabung bersamanya selain mereka. Dan sedikit sekali dari golongan mereka. Bagaimana jika mereka semua bersatu? Lalu mereka yang jumlahnya menjadi besar itu bersepakat untuk menumpas kita? Demi Allah, kita semua orang yang diincar dan kita semua akan mati!”

Para pemberontak ini sangat khawatir kalau Ali dan pasukannya bersatu dengan Pasukan Jamal. Mereka pasti segera memerangi, menangkap, dan menerapkan hukum qishash pada pemberontak ini. Abdullah bin Saba’ berkata, “Teman-teman, mari kita berpencar, menelusup, dan membaur bersama mereka semua. Kalau mereka berkumpul besok, kita kobarkan peperangan. Buat mereka kaget dan panik. Masing-masing dari kalian yang bersamanya, tahan diri. Allah pun akan membuat Ali, Thalhah, Zubair, dan orang-orang yang sependapat (untuk berastu) menyaksikan apa yang tidak mereka inginkan.” Para ahlul fitnah ini pun sepakat dengan pendapat Abdullah bin Saba’. Mereka berpisah dan mulai menyusup ke berbagai kelompok tanpa disadari (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/42).

Ibnul Atsir berkata, “Mereka mulai bergerak di saat gelap pagi. Orang-orang pun tak menyadari pergerakan mereka. Mereka menyusup dalam jumlah bertahap di waktu yang gelap. Pemberontak dari kalangan Bani Mudhar, masuk ke Bani Mudhar. Yang dari Bani Rabi’ah, masuk ke Bani Rabi’ah. Yang dari Yaman, bergabung dengan penduduk Yaman. Mereka bawakan senjata untuk setiap kelompok. Lalu mereka profokasi orang-orang Bashrah (Pasukan Jamal). Dan memprfokasi semua kelompok yang mereka susupi (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/45).

Melihat kondisi tersebut, Ali radhiallahu ‘anhu menyangka kalau Pasukan Jamal telah mengkhianatinya. Sebagaimana juga Pasukan Jamal menyangka Ali telah berkhianat. Berkecamuklah pertempuran. Ali berusaha segera menghentikan peperangan agar tak banyak jatuh korban. Karena itu, saat melihat Pasukan Jamal, berusaha keras melindungi onta yang ditunggangi Aisyah radhiallahu ‘anha. Ia perintahkan pasukannya untuk melukai onta itu. Agar runtuh moral pasukannya dan peperangan pun segera berakhir.

Peristiwa ini menunjukkan benarnya pendapat Ali. Dan saat kecamuk perang terjadi az-Zubair sadar bahwa tujuan yang ingin ia wujudkan tidak terwujud. Ia pun meninggalkan pertempuran dan kembali ke Madinah. Seorang anggota pasukannya yang bernama Amr bin Jurmuz mendapatinya. Lalu ia bunuh az-Zubair saat sedang melaksanakan shalat. demikian juga Thalhah terbunuh dalam rangkaian peristiwa ini.

Usai perang, Ali tetap memuliakan Ibunda Aisyah radhiallahu ‘anha. Ali mengutus saudaranya, Muhammad bin Abu Bakr untuk menemaninya pulang ke Madinah. Mereka berangkat bersama empat puluh orang wanita dari kelompok Bashrah. Kemudian semuanya berangkat ke Mekah untuk berhaji. Setelah itu baru ke Madinah (ath-Thabari: Tarikh ar-Rusul wa al-Mulk, 5/281).

Dari sini juga kita mengetahui benarnya pendapat al-Hasan bin Ali yang melarang ayahnya untuk berangkat menghadang Pasukan Jamal. Dan sejarah ini kemudian dilebih-lebihkan oleh para orientalis. Demikian juga orang-orang yang di hatinya memiliki kebencinta terhadap salah seorang dari sahabat yang ikut dalam Perang Jamal. Mereka melebih-lebihkan jumlah korbannya. Mengada-ada ucapan. Sehingga terlihat para sahabat itu saling benci dan haus kekuasaan. Padahal mereka semua ingin bersatu menuntut keadilan. Mereka tidak ingin berperang. Mereka hanya ingin menangkap pembunuh Utsman. Namun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan caranya. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pemberontak. Mereka memprofokasi. Mereka masuk di barisan semua pihak. Kemudian memprofokasi. Sehingga masing-masing pihak menyangka pihak yang lain mengangkat senjata untuk membatalkan perdamaian.

Perang ini berlangsung kurang lebih selama empat jam. Dan korban yang jatuh dari semua pihak tidak lebih dari 100 orang. Setelah Perang Jamal ini, Ali radhiallahu ‘anhu menetapkan ibu kota negara berpindah. Dari Madinah menjadi Kufah.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6515-ringkasan-kisah-fitnah-dan-perpecahan-di-masa-sahabat-4-perang-jamal.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (3): Kekacauan Setelah Wafatnya Utsman

Semakin hari, pengepungan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan pun semakin ketat. Sejumlah sahabat dan putra-putra terbaik mereka berdatangan untuk membela pemimpin mereka. Namun Utsman memerintahkan mereka untuk pulang. Abdullah bin Amir bin Rabi’ah berkata, “Aku bersama Utsman di dalam rumahnya. Ia berkata, ‘Tegaskan pada mereka yang masih menaatiku untuk menahan diri dan meletakkan senjata mereka’. Kemudian ia mengatakan, ‘Berdirilah hai Ibnu Umar. Kabarkan pada orang-orang (perintahku)’. Ibnu Umar keluar bersama Hasan bin Ali. Lalu Zaid bin Tsabit datang dan berkata pada Utsman, ‘Sesungguhnya orang-orang Anshar berada di depan rumah. Mereka berkata, ‘Kalau kau mau, kami akan menjadi pembela-pembela Allah (Ansharullah) yang kedua kalianya (setelah membela Rasulullah saat hijrah)’. Utsman menanggapi, ‘Aku tak butuh hal itu. Tahan diri kalian’.”

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Hari ini kami akan bersamamu dan akan berperang membelamu.” Utsman menjawab, “Aku tegaskan agar engkau keluar.”

Al-Hasan bin Ali adalah orang yang paling terakhir keluar dari rumah Utsman. Sebelumnya datang al-Hasan, al-Husein, Abdullah bin Umar, Abdullah bin az-Zubair, dan Marwan. Utsman memerintahkan mereka semua untuk meletakkan senjata. Ia tak ingin darah seorang muslim pun menetes demi membela dirinya. Ia kedepankan keselamatan semuanya dan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri. Seorang pemimpin yang luar biasa.

Abdullah bin Zubair dan Marwan berakta, “Kami pertaruhkan diri kami dan kami tak peduli.” Utsman membuka pintu. Keduanya lalu masuk (al-Qadhi ibnul Arabi: al-Awashim min al-Qawashim fi Tahqiq Mawaqif ash-Shahabah ba’da Wafat an-Nabi, Hal: 138-141). Peristiwa ini terjadi pada hari Jumat 18 Dzul Hijjah 35 H (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 3/7).

Akhirnya, Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu terbunuh. Ini merupakan musibah besar yang menimpa umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sepeninggal Utsman, kepemimpinan umat Islam kosong hingga lima hari lamanya (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208).

Tentu saja orang yang paling pantas memegang amanah khalifah setelah Utsman adalah Ali bin Abu Thalib. Namun Ali dan tokoh-tokoh besar sahabat yang lain menolak jabatan tersebut. Tidak ada di antara mereka yang berhasrat mendudukinya. Mereka memandang betapa berat tanggung jawab itu. Mereka pun menjauhinya. Di sisi lain, para pemberontak terus mencari-cari pemimpin baru. Tapi tak ada yang menanggapi mereka.

Orang-orang Mesir mendatangi Ali. Ali bersembunyi di kebun-kebun Madinah menghindari mereka. Apabila berjumpa dengan mereka, ia menjauh. Ali tidak merespon permintaan mereka. Meskipun telah diucapkan berulang-ulang. Orang-orang Kufah mencari az-Zubair bin al-Awwam radhialahu ‘anhu. Mereka mengirim utusan untuk menemuinya. Namun ia menolak dan menjauhi mereka. Orang-orang Bashrah meminta Thalhah bin Ubaidillah radhiallahu ‘anhu untuk menjabat khalifah. Ia pun melakukan hal yang sama dengan dua orang sahabatnya. Ia menjauh dan tidak melayani permintaan orang-orang itu. Meskipun mereka mengajukannya berkali-kali.

Perhatikanlah! Para pembentontak ini bersepakat menjatuhkan Utsman, namun mereka beda pendapat tentang siapa penggantinya. Sepertinya, ini menjadi tradisi bagi orang-orang yang menggulingkan pemerintah setelah mereka.

Setelah mendapat penolakan dari tiga tokoh utama para sahabat tersebut. Mereka berkata, “Kita tak akan mengangkat ketiga orang itu menjadi pemimpin.” Lalu mereka menemui tokoh sahabat lainnya, yaitu Saad bin Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu. Mereka berkata, “Sesungguhnya Anda termasuk salah seorang ahlu syura (tim musyawarah yang menunjuk khalifah setelah Umar). Kami sepakat mengangkat Anda. Majulah, kami akan membaiatmu.” Saad menjawab, “Aku dan Ibnu Umar tidak mau terlibat dalam hal ini. Saat ini, kami tidak merasa perlu untuk hal itu. Kemudian ia bersyair

لا تخلطنَّ خبيثات بطَيِّبة *** واخلع ثيابك منها وانجُ عريانا

Jangan campurkan keburukan dengan kebaikan
Lepaskan pakaian cari selamat walaupun bertelanjang

Para pemberontak belum menyerah, mereka lalu mendatangi Abdullah bin Umar. Mereka berkata, “Anda Ibnu Umar? Ambillah kepemimpinan ini.” Ibnu Umar menjawab, “Dalam permasalahan ini ada dendam. Demi Allah, aku tak akan menjerumuskan diriku di dalamnya. Carilah orang selainku.” Orang-orang itu pun kebingungan. Tak tau lagi apa yang harus mereka lakukan. Urusan berat ini sekarang menjadi tanggung jawab mereka (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/208). Demikianlah keadaan orang-orang yang bersemangat menjatuhkan pemimpin. Mereka menggulingkan pemimpin dengan alasan pemimpin sudah melakukan kerusakan. Tapi akhirnya mereka bingung. Malah menimbulkan kerusakan baru yang lebih besar.

Para ahlul fitnah ini mulai dihinggapi ketakutan. Mereka khawatir tak seorang sahabat pun mau menerima kekhalifahan. Mereka berkata, “Kalau kita kembali ke negeri kita masing-masing setelah terbunuhnya Utsman ini tanpa adanya seorang khalifah, pasti kita tak akan selamat.” (Ibnul Atsir: al-Kamil 3/99).

Mereka pun mengambil jalan pintas. Mereka kumpulkan penduduk Madinah dan berseru, “Hai penduduk Madinah, kalian adalah ahlu syura. Kalian adalah pemimpin. Kepemimpinan kalian layak diterima di tengah umat. Tunjuklah salah seorang dari kalian untuk menjadi pemimpin. Kami akan mengikuti kalian. Kami akan menghormati hari kalian ini. Demi Allah, sekiranya kalian tidak ada keputusan. Besok kami akan memerangi Ali, Thalhah, Zubair, dan banyak orang lainnya.”

Orang-orang bersegera menuju Ali. Mereka berkata, “Kami akan membaiatmu. Engkau telah melihat apa yang terjadi pada agama ini dan apa yang menimpa kita.” Ali menjawab, “Biarkan aku mencari orang selain diriku. Sesungguhnya kita sedang menghadapi kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan. Keadaan yang membuat hati bimbang. Dan akal kebingungan.” Mereka berkata, “Kami bersaksi atas Allah padamu, tidakkah kau lihat kondisi kita sekarang? Bagaimana ancaman terhadap Islam? Tidakkah kau melihat fitnah? Tidakkah engkau takut kepada Allah?”

Ali berkata, “Kutanggapi permintaan kalian. Namun perlu kalian sadari, kalau kupenuhi permintaan kalian, aku berjalan bersama kalian sebatas pengetahuanku. Kalau kalian tidak menaatiku, maka tak ada beda antara aku (sebagai pemimpin) dengan kalian (sebagai rakyat). Ketauhilah, (sebagai seorang pemimpin) akulah orang yang paling didengarkan dan ditaati.” Mendengar Ali mulai menerima, orang-orang pun bubar. Dan mereka akan bertemu keesokan harinya.

Keesokan harinya, di pagi hari Jumat, orang-orang memenuhi masjid untuk membaiat Ali. Setelah itu, Ali naik mimbar. Ia berpidato. Ali berkata, “Saudara-saudara sekalian, sesungguhnya urusan kalian ini tidak ada seorang pun yang berhak kecuali orang yang memimpin kalian. Kemarin kita berbeda pendapat tentang masalah kepemimpinan ini. Kemarin aku tidak suka mengurusi perkara ini. Namun kalian menolak semua orang kecuali aku. Sadarilah, aku ini hanya sebagai kunci urusan kita bersama. Aku tidak akan mengambil satu dirham pun di belakang kalian. Kalau kalian mau kuserahkan perkara ini pada kalian. Kalau tidak, maka tak ada seorang pun yang mau.” Mereka menjawab, “Kami tetap bersama keputusan kami kemarin (bersamamu).” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/210).

Ketika umat Islam semakin menegaskan keinginan membaiatnya, Ali berkata, “Lakukan baiat di masjid. Karena baiat padaku tidak akan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Dan tidak akan terjadi kecuali atas ridha kaum muslimin.” Kemudian Muhajirin dan Anshar masuk masjid untuk berbaiat. Lalu diikuti oleh masyarakat secara umum (Ibnu Katsir: al-Bidayah wa an-Nihayah, 7/238)

Awalnya, Ali tidak menyepakati ditunjuk seabgai khalifah. Bahkan beliau benci akan hal itu. Namun setelah menimbang maslahat dan melihat kondisi masyarakat, ia berubah pikiran. Ia ingin agar masyarakat bersatu dan kekacauan mereda. Artinya, ia menjabat bukan karena paksaan para pemberontak. Tapi memang benar-benar keinginan masyarakat. Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan, “Terjadilah pembaiatan Ali. Kalau seandainya ia tidak cepat mengambil keputusan baiat. Pastilah orang yang tidak layak akan menduduki posisi. Ditambah lagi ia mendapat dukungan dari Muhajirin dan Anshar. Sehingga ia memandang wajib untuk memenuhinya. Kepemimpinan itu pun diberikan padanya (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/98).

Ali memulai kepemimpinannya di masa-masa kacau ini. Pikirannya pun tak tenang menghadapi tuntutan qishash terhadap pembunuh Utsman. Tidak diragukan lagi, qishash ini wajib ditegakkan. Dan tidak diragukan lagi, Ali pun berkeinginan untuk menegakkannya. Tapi tidak sesederhana itu masalahnya. Para pemberontak ini tengah mendominasi Madinah. Kalau seandainya ia memaksa untuk menegakkan hukuman sekarang juga, pasti para pemberontak akan melawan. Mereka bukan orang-orang yang bertakwa. Pasti mereka tak segan membunuhi penduduk Madinah dan merampas harta-harta mereka. Inilah alasan mengapa Ali menunda penegakan hukum.

Ali menginginkan agar kondisi Madinah tenang terlebih dahulu. Para pemberontak telah terpisah menuju daerah asal mereka masing-masing. Para pembunuh teridentifikasi secara pasti. Kemudian barulah qishahs ditegakkan. Asy-Sya’bi mengatakan, “Setelah terbunuhnya Utsman, Aisyah berangkat menuju Madinah dari Mekah. Ia berjumpa dengan seseorang kerabatnya. Aisyah bertanya, “Apa yang terjadi di Madinah”? Ia menjawab, “Utsman terbunuh. Dan orang-orang sepakat mengangkat Ali. Kondisi di sana kacau.” (Ibnul Atsir: al-Kamil, 3/107).

Meskipun banyak sahabat yang mendukung Ali, tapi saat itu ada dua kelompok sahabat lainnya yang memiliki pandangan berbeda. Ada yang berpendapat qishash terhadap pembunuh Utsman harus segera ditegakkan. Inilah pendapatnya Aisyah, Thalhah bin Ubaidillah, dan az-Zubair bin al-Awwam radhiallahu ‘anhum. Mereka semua sama seperti Ali. Mereka adalah tokoh utama para sahabat. Dan orang-orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelompok lainnya adalah kelompok sahabat sekaligus keluarga Utsman bin Affan. Semisal Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.

Ali mengirim seorang utusan kepada Gubernur Syam, Muawiyah. Ia meminta agar Muawiyah dan penduduk Syam membaiatnya. Tapi, Muawiyah berpandangan -sebagai kerabat Utsman- ia meminta agar penegakan hukum qishash dilakukan terlebih dahulu. Baru ia berbaiat. Atau Ali membiarkan Muawiyah dan penduduk Syam menumpas pembunuh Utsman. Setelah itu, barulah Muawiyah dan penduduk Syam akan berbaiat kepada Ali. Tentu ini melampaui tugas khalifah. Sehingga Ali menolak usulan Muawiyah. Bahkan Ali memandang sikap Muawiyah ini sebagai bentuk pembangkangan. Ali pun mau mencopot Muawiyah dari kepemimpinan wilayah Syam. Ia mengirim Sahl bin Hunaif sebagai gubernur yang baru. Tapi, penduduk Syam sangat mencintai Muawiyah. Ia seorang pemimpin yang adil dan lembut terhadap rakyatnya. Mereka menolak kedatangan Sahl bin Hunaif radhiallahu ‘anhu.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6508-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-3-kekacauan-setelah-wafatnya-utsman.html

Ringkasan Kisah Huru-Hara di Masa Sahabat (2): Terbunuhnya Utsman bin Affan

Awal Fitnah

Apa yang disampaikan Hudzaifah bin al-Yaman kepada Umar menunjukkan bahwa para sahabat tahu dengan syahidnya Umar terbukalah pintu fitnah. Karena itulah, Amirul Mukminin Utsman bin Affan cenderung mengambil sikap toleran kepada orang-orang yang menyelisihinya. Banyak meng-iyakan orang-orang yang mengadukan pemimpin daerah mereka. Bahkan saat pemberontak mulai mengincar dirinya. Ingin memakzulkannya dari pucuk pimpinan negara Islam, Utsman berkata kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya lingkaran fitnah itu sesuatu yang tak berujung. Beruntunglah Utsman jika dia mati dalam keadaan tidak menggerakkannya. Menghalangi manusia, memberikan hak-hak mereka, dan memaafkan mereka. Dan apabila Anda adalah orang yang menjaga hak-hak Allah, janganlah Anda turut mengobarkan fitnah itu.” (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 2/471).

Para provokator membuat makar yang batil terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Mereka mulai memprovokasi masyarakat mencela kepemimpinanya. Namun Utsman tetap bersabar menghadapi mereka. Di tengah provokator tersebut terdapat seorang yang pandai memantik api. Bersabar menghidupkan amarah masa. Orang tersebut adalah Abdullah bin Saba. Atau yang dikenal dengan Ibnu as-Sauda. Ia menampakkan kesalehan. Namun di hatinya menyimpan kekufuran dan permusuhan terhadap Islam dan pemeluknya.

Abdullah bin Saba menyambangi Basrah. Kota besar di Irak yang dipimpin oleh Abdullah bin Amir. Ibnu Sauda datang menemuinya bersama beberapa orang. Abdullah bin Amir bertanya, “Kamu siapa”? Ibnu Sauda menjawab, “Aku seorang dari ahlul kitab yang tertarik pada Islam. dan aku juga ingin tinggal di kotamu.” Ibnu Amir menanggapi, “Tidak sampai kabar padaku. Usir dia.”

Abdullah bin Saba pun menuju Kufah. Di sana pun ia tertolak dan diusir darinya. Lalu ia berangkat ke Mesir dan menetap di sana. Ia berkorespondensi dengan penduduk setempat. Dan sebagian penduduk Mesir tidak sepakat dengan pemikirannya (Ibnul Atsir: al-Kamil fi at-Tarikh, 2/4).

Abdullah bin Saba terus memprovokasi masa dengan mencela Utsman. Dan ia memuji-muji ahlul bait. Ia berkata, “Sesungguhnya Muhammad akan kembali. Sebagaimana kembalinya Isa.” Dari sinilah keyakinan reinkarnasi muncul di tengah orang-orang Syiah. Ia menyebutkan bahwa Ali merupakan orang yang diberi wasiat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. dan wasiat tersebut disembunyikan. Utman itu menyandang kepemimpinan tanpa alasanyang dibenarkan. Lalu ia memprovokasi masyarakat untuk melakukan makar dan terus mencela para pemimpin (Tarikh Ibnu Khaldun, 2/586).

Abdullah bin Saba adalah tokoh nyata. Dialah yang menggerakkan pemberontakan ini. Kalau disebut sebagai tokoh fiktif, maka siapakah penggerak pemberontakan di zaman Utsman?

Para Pemberontak di Kota Madinah

Surat-menyurat antara para penyulut fitnah di Mesir, Basrah, dan Kufah terus saja berlangsung. Mereka saling menyemangati dan memanas-manasi untuk menentang Utsman. Sampai mereka sepakat untuk datang ke Madinah di musim haji. Di sana mereka akan menyuarakan perlawanan dan penentangan terhadap Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu.

Sebenarnya, Utsman bin Affan tahu apa yang direncakan para pembuat makar ini. Namun ia lebih memilih memaafkan dan senantiasa bersabar. Ia bantah semua tuduhan dan fitnah. Dan apa yang ia lakukan selalu didukung oleh Muhajirin dan Anshar. Hingga akhirnya para pembuat makar ini sepakat untuk membunuh Utsnam. Dan Utsman tetap pada pendiriannya. Tidak mau menjadi penyulut fitnah. Ia tetap tidak menumpas mereka dengan kekuatan militer. Pemberontak ini datang di musim haji. Mereka menyamar seolah hendak berangkat ke Baitullah menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Mereka berkoordinasi. Saling menyurati. “Waktu berkumpul kita adalah di bulan Syawwal di pinggiran Kota Madinah (ath-Thabari: Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 4/438). Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 H.

Sesampainya di Madinah, para pemberontak mengepung kota dan mengepung rumah khalifah. Mereka berdemonstrasi menyuarakan tuduhan dusta terhadap Utsman. Mereka menuntut apa yang mereka inginkan. Utsman dan penduduk Kota Madinah tidak menyangka hal ini terjadi. Ditambah sebagian dari mereka ada yang berangkat ke Mekah untuk berhaji.

Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu membantah tuduhan mereka. Namun api fitnah telah berkobar. Orang-orang yang tak mengerti sudah tersulut emosi. Ikut-ikutan menuntut sesuatu yang tidak mereka mengerti. Mereka lancang memberi pilihan. Lengser dari jabatan khalifah atau mati. Utsman menolak tuntutan mereka. Karena itu yang Nabi pesankan kepadanya. Ditambah lagi kalau keinginan pemberontak ini dituruti, ini akan menjadi tradisi. Setiap orang yang merasa tak cocok dengan khalifah akan menuntut mereka lengser dari jabatannya.

Sang Khalifah telah mendapat kabar, bahwa ia akan menyandang syahid di akhir hayatnya. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berada di kebun. Beliau duduk di sisi Sumur Aris. Kemudian datang seseorang mengetuk pintu. Abu Musa berkata, “Siapa?” Orang itu menjawab, “Utsman bin Affan.” Abu Musa berkata, “Tunggu. Lalu kutemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kusampaikan Utsman minta izin masuk. Beliau katakan, ‘Izinkan dia. Dan beri kabar gembira surge untuknya karena musibah yang ia hadapi’.” (HR. al-Bukhari (3471, 3492) dan Muslim (2403)).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya juga pernah berwasiat kepada Utsman.

فعن عائشة رضى الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم دعا عثمان فناجاه فأطال، وإني لم أفهم من قوله يومئذٍ إلا أني سمعته يقول له: “ولا تنزعَنَّ قميص الله الذي قمَّصك”

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Utsman dengan doa yang panjang. kata Aisyah, “Saat itu aku tak memahami apa yang beliau katakan. Tapi aku mendengar beliau bersabda, ‘Jangan sampai kau lepaskan pakaian yang telah Allah kenakan untukmu’.” (Zhilalul Jannah, 2/328).

Karena itulah, meskipun para demonstran menuntutnya untuk mundur disertai dengan ancaman, Utsman bergeming. Tak menuruti mereka. Beliau teguh dengan pesan nabi. Walaupun nyawa harus dipertaruhkan. Sangat pengepungan semakin ketat, Utsman memanggil Ali, Thalhah, dan Zubair. Utsman muliakan mereka. Lalu berkata, “Duduklah kalian semua.” Yang mau memberontak dan penduduk asli Madinah pun duduk. Utsman berkata, “Penduduk Madinah, aku titipkan kalian kepada Allah. Aku memohon kepada-Nya agar memilihkan khalifah yang berbuat baik kepada kalian sepeninggalku.” Utsman menegaskan, “Aku bersumpah atas nama Allah kepada kalian. Ingatkah kalian, kalian berdoa kepada Allah saat Umar wafat, agar Allah memilihkan untuk kalian dan mengumpulkan urusan kalian kepada orang yang terbaik di tengah kalian”?

“Apakah kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa kita’, lalu kalian menghinakan pilihan Allah itu, padahal kalian adalah orang yang patut menjaga haknya?

Atau kalian akan mengatakan, ‘Allah tidak peduli dengan agamanya. Dia tidak peduli siapa yang memimpin. Dan agama tidak memecah pemeluknya hari itu’.

Atau kalian akan mengatakan, ‘Ia tidak peduli dengan musyawarah. Ia seorang yang sombong. Allah pun membiarkan umat ini apabilah mereka bermaksiat. Dan mereka tidak bermusyawarah dalam menunjuk pemimpin’. Atau kalian akan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah tidak tahu akhir dari urusanku’. (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Utsman radhiallahu ‘anhu menjelaskan kepada mereka kemuliaan sesuatu yang ingin mereka bunuh. Utman berkata, “Aku bersumpah atas nama Allah. Tidakkah kalian tahu, usaha kebaikan yang telah kuperbuat? Dan keutamaan yang telah Allah berikan padaku? Itu adalah sesuatu yang wajib bagi orang-orang yang setelahku mengetahui kemuliaanku. Karena itu, tahanlah diri kalian. Jangan sampai kalian membunuhku. Karena tidak halal membunuh kecuali pada tiga orang; seseorang yang telah menikah kemudian berzina, seseorang yang murtad, dan seseorang yang membunuh orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Apabila kalian membunuhku, itu artinya kalian telah menjatuhkan vonis hukuman mati untuk diri kalian sendiri. -Dan pembunuhanku akan mengakibatkan- Allah senantiasa membuat kalian berselisih selama-lamanya.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Setelah itu, Utsman tetap tinggal di rumahnya. Ia juga memerintahkan para penduduk Madinah untuk pulang ke rumah masing-masing. Mereka semua pun pulang. Kecuali al-Hasan bin Ali, Abdullah bin Abbas, Muhammad bin Thalhah, Abdullah bin az-Zubair, dan yang sebaya dengan mereka. Pengepungan terhadap Utsman ini berlangsung selama 40 hari. Beberapa hari kemudian pengepungan kian ketat. Sampai-sampai mereka melarang Utsman untuk keluar rumah. Bahkan untuk mengambil air minum di sumur.

Secara rahasia, Utsman mengirim berita kepada Ali, Thalhah, az-Zubair, dan para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa para pemberontak ini melarangnya untuk ke mengambil air minum. Utsman meminta kepada mereka, kalau seandainya mereka mampu mengiriminya air, lakukanlah. Ali dan Ummu Habibah adalah orang pertama yang merespon permintaan Utsman. Ali datang di kegelapan malam. Ia berkata, “Hai kalian, apa yang kalian lakukan ini bukan seperti perbuatan orang-orang beriman. Bahkan bukan perbuatan orang kafir sekalipun. Janganlah kalian larang dia untuk mengambil air atau memenuhi kebutuhannya. Karena orang-orang Romawi dan Persia pun kalau mereka menawan seseorang, mereka memberi makan dan minum.”

Mereka menjawab, “Tidak demi Allah. Itu bukan usulan yang bagus.”

Kemudian datang Ummu Habibah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menunggangi Bighal. Ia membawa sebuah wadah. Lalu orang-orang itu memukul wajah Bighalnya. Ummu Habibah dan Utsman sama-sama berasal dari Bani Umayyah. Ummu Habibah berkata, “Sesungguhnya wasiat Bani Umayyah ada pada Utsman. Aku ingin memintanya agar harta anak-anak yatim dan para janda tidak sirna.” Mereka berkata, “Engaku dusta.” Lalu mereka potong tali Bighal itu dengan pedang mereka. Bighal itu tersentak lari. Hampir saja Ummu Habibah terjatuh. Lalu orang-orang menjumpai Ummu Habibah dan mengantarkannya ke rumahnya (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Sungguh keterlaluan sekali perlakuan para pemberontak ini. Mereka telah menghina keluarga Rasulullah. Menghina kehormatan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Utsman berusaha menasihati mereka. Mengingatkan mereka bahwa beliau adalah seorang yang pertama-tama memeluk Islam. Yang langsung disebutkan pujiannya di dalam Alquran. Ia juga jelaskan kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia adalah sahabat utama Nabi sekaligus menantunya yang menikahir dua orang putri beliau. Utsman berkata, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa aku adalah orang yang membeli Sumur Rumah dengan hartaku sendiri. Agar orang-orang bisa menikmati airnya.”

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Lalu mengapa kalian menghalangiku untuk minum darinya”?

Utsman kembali mengatakan, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu kalau aku membeli sebidang tanah. Lalu kuinfakkan untuk perluasan masjid”?

Mereka menjawab, “Kami tahu.”

Utsman berkata, “Apakah kalian tahu ada seseorang yang dilarang shalat di dalamnya sebelum diriku ini”?

Utsman berkata lagi, “Aku bersaksi atas nama Allah, apakah kalian tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata tentang diriku demikian dan demikian”? Beliau menyebut pujian Nabi terhadap dirinya.

Para pemberontak ini pun berkata, “Bersikap lembutlah kepada Amirul Mukminin.”

Lalu salah seorang dari mereka yang bernama al-Asytar berkata, “Ia melakukan tipu daya pada kalian.” (al-Kamil fi at-Tarikh, 2/16).

Al-Asytar inilah yang akhirnya membunuh Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu. Ia tetap menggembosi teman-temannya. Bahkan menghina orang-orang yang bertaubat. Tidak mau lagi terlibat dalam pengepungan.

Oleh Nurfitri Hadi (IG: @nfhadi07)

Read more https://kisahmuslim.com/6502-ringkasan-kisah-huru-hara-di-masa-sahabat-2-terbunuhnya-utsman-bin-affan.html