Kita, Uang Kita dan Orang Lain

TAK terasa menetes air mata membaca tulisan seseorang di medsos yang menawarkan dirinya bekerja apapun asal bisa mendapatkan makan untuk hari ini. Dia adalah kepala rumah tangga yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek.

Saat ini, tak mesti ada satupun penumpang dalam setiap harinya. Rerata orang tinggal di rumah saat wabah corona semakin mengganas. Corona bukan hanya masalah usaha kita bagaimana kita agar tidak sakit, namun juga bagaimana caranya tetap hidup layak di saat banyak jalan kehidupan tertutup.

Berhutang saat tak punya uang mungkin adalah jalan paling cepat, namun kemanakah akan berhutang kalau setiap hari adalah bekerja untuk berhutang? Sementara itu, anak-anaknya mulai menangis bukan karena tak punya uang jajan melainkan karena sudah pada tahap tak ada yang bisa dimakan. Lalu, tanggung jawab siapakah ini? Yang berasib seperti ini bukanlah satu atau dua orang, ada banyak sekali yang suaranya masih dipendam sendiri tak diteriakkan. Sungguh kasihan mereka.

Mereka yag tinggal di kampung pedesaan mungkin lumayan bisa terus menjalani hidup sebagaimana biasa. Mereka makan apa adanya dan membuat sayur gratis dari apa yang tertanam di pagar-pagar mereka. Namun mereka yang hidup di kota di mana tak ada tanah kosong kecuali segera dibangun sebuah bangunan di atasnya, tak ada tetumbuhan gratis yang bisa dimakan sebagai pengisi perut, kehidupan mereka serba berbayar. Lalu, bagaimana caranya mereka agar tetap hidup layak.

Mereka yang masih memiliki kerja, serendah apapun orang memandangnya, mereka yang memiliki penghasilan, sesedikit apapun menurut hitungannya, adalah terlarang untuk mengeluh. Bersyukurlah, bersyukurlah dan berbagilah dengan mereka yang tak bernasib mujur dalam kehidupan ini. Teringatlah saya pada tulisan saya pada tahun 2016 tetang bagaimana seharusnya kita memperlakukan uang kita agar kita menjadi manusia terpilih, manusia mulia dan luar biasa.

Kalau kita bisa makan walau tak punya uang bersyukurlah. Kita masih bisa pinjam uang untuk makan untuk kemudian kita bayar ketika punya nanti. Kalau kita bisa makan dan memiliki uang yang cukup untuk makan itu maka lebih bersyukurlah. Kita sungguh berhak menyebut diri sebagai orang berkecukupan.

Kalau kita punya uang dan kita tak bisa makan karena sakit maka bersabarlah. Memang selalu saja ada masa di mana ujian sakit itu harus mengisi kuliah kehidupan kita. Kalau kita punya uang berlebih dan kemudian kita bisa makan bersama orang lain, terlebih mereka yang kekurangan, maka bersyukurlah karena kita berhak merasa sebagai kelompok orang berkelebihan.

Kalau kita memiliki uang berlebihan namun tak pernah tersentuh memberi makan anak yatim dan fakir miskin nestapa maka bertobatlah dan istighfarlah karena itu berarti kita sedang menahan diri memberikan sebagian harta yang menjadi hak mereka yang membutuhkan itu. Kalau kita orang yang tak berkelebihan namun bisa menanggung hidup banyak orang yang menurut akal “lebih” dari kemampuan kita, ini baru luar biasa. Ini berarti kita dipilih Allah untuk menjadi orang tua dari banyak orang. Salam, AIM. [*]