Lima Fase Hidup Nabi yang Perlu Kita Teladani [1]

Al-Quran hanya bisa tumbuh dengan subur pada hati yang bersih dan suci. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci

 

IBARAT menanam tumbuhan, lahannya harus dipersiapkan terlebih dahulu. Tumbuhan akan tumbuh dengan baik apabila lahannya baik. Sebaliknya, tumbuhan akan kerdil bila tanahnya kering, bahkan tidak mustahil akan mati.

Al-Quran hanya bisa tumbuh dengan subur pada hati yang bersih dan suci. Tidak dapat menyentuh Al-Quran kecuali orang-orang yang suci. Pada hati yang suci Al-Quran akan hidup dengan kokoh dan membuahkan akhlak yang agung. Karena itu di dalam menerima nilai-nilai wahyu dibutuhkan proses, persiapan-persiapan ruhaniyah (mujahadah dan riyadhah). Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam dapat menerima Al-Quran secara paripurna karena jiwa beliau sudah terantar sedemikian rupa, sehingga klop  (connect) dengan nilai Al-Quran. Beliau telah diberi kemampun mengaktualisasikan secara pribadi maupun sosial.

Ada syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat berquran dengan baik, antara lain ; menjauhi sifat sombong (thagha’), tidak cinta dunia, menahan hawa nafsu dan takut kepadaTuhan. Thagha akan menolak kebenaran yang datang karena merasa paling benar, cinta dunia akan mengalahkan imannya, hawa nafsu akan menghalangi hati dari petunjuk, dan orang yang tidak takut kepada  Allah Subhanahu Wata’ala.

Sifat-sifat mulia yang dimiliki Rosul tidak lepas dari perjalanan hidupnya sebelum menerima wahyu. Ada proses manusiawi di samping proses Ilahiah, sehingga beliau mampu tertempa menjadi manusia yang siap mengemban Al-Quran. Beliau memiliki sifat-sifat yang sangat kondusif terhadap masuknya nilai-nilai Al-Quran. Seperti yang kita ketahui, yaitu shiddiq(jujur), amanah (bertanggung jawab), tabligh (menyampaikan wahyu), dan fathanah (cerdas), serta sifat-sifat terpuji lainnya.

Periode kehidupan yang mengantarkan Muhammad ke jenjang kenabian ini selayaknya dicermati untuk diambil hikmahnya, mengingat tetap berlakunya sunnatulloh berupa hukum sebab-akibat dari proses kehidupan tersebut terhadap hasil berikutnya. Output (hasil), tidak dapat dilepaskan dari rangkaian proses dan input.

Hasil dari proses pendidikan sejak lahir tersebut menjadi salah satu prasyarat kelayakan dan kepatutan Muhammad untuk menerima wahyu dan mengemban amanah   Allah Subhanahu Wata’ala di muka bumi ini. Bila disimpulkan, episode panjang selama 40 tahun itu telah mencakup segala aspek yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Diawali pada penekanan aspek spiritual,  psikologis, ketrampilan berkomunikasi, aspek sosial, ekonomi, hukum dan diakhiri dengan pendalaman aspek falsafi. Kelima bidang ini tepat dengan pembagian secara garis besar fase-fase kehidupan Muhammad yang terbagi dalam lima tahap, yaitu; fase yatim, fase mengembala, fase berdagang, fase berkeluarga dan fase ber-gua Hira.

Berikut diantara hikmah-hikmah dari proses pra-wahyu :

Fase Yatim

Nabi Muhammad saw dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 570 Masehi di Makkah.

Ayah beliau Abdullah dan ibu beliau Aminah. Sebelum beliau lahir, ayah beliau telah meninggal dunia dan dimakamkan di Madinah. Kemudian beliau diasuh oleh kakek beliau,Abdul Muthalib, seorang pembesar Quraisy, yang sangat mencintai Muhammad. Ia pernah berkata: “Putraku Muhammad memiliki masa depan yang cemerlang.”

Menginjak usia enam tahun, ibu beliau meninggal dunia. Pada usia sembilan tahun, kakek beliau pun meninggal dunia. Sebelum wafat,  Abdul Muthalib menitipkan cucunya ini (saw) kepada putranya, Abu Thalib agar menjaga dan merawatnya.

Sejak lahir, Muhammad tidak dikenalkan secara akrab dengan ayah, ibu dan kakeknya. Padahal orang tua merupakan orang terdekat yang membentuk pola pikir dan kepribadian anak. Hal ini menjadikan kepribadian Muhammad tidak terwarnai dan tetap fitrah dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat jahiliah pada saat itu. Fakta ini didukung dengan peristiwa pengasuhan Muhammad kecil di pegunungan Bani Sa’diyah, sebuah dusun yang jauh dari keramaian kota. Hal ini juga pembebasan dari pengaruh idiologi orang-orang kuat di sekitarnya yang akan menjadi jaminan akan kemurnian risalah kelak. Sebab, bagaimanapun, kakek beliau, Abdul Muthalib merupakan orang berpengaruh di tengah kaumnya. Tumbuhnya Muhammad sebagai anak yatim ini juga menjaganya dari tangan-tangan yang memanjakannya, baik harta maupun kemudahan lain. Otomatis hal ini mencetak kepribadiannya untuk tidak tergatung terhadap keduniaan dan kedudukan. Fase ini juga mendidik Muhammad untuk tidak memiliki sifat sombong, merasa benar ( ‘ujub) dan mau menang sendiri (ananiyah).

Al Quran telah mengisyaratkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam adalah seorang anak yatim:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيماً فَآوَى

“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.” (QS: Ad Dhuha : 6).

Fase Menggembala

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam masih remaja beliau mengembala kambing untuk penduduk Makkah dengan mengambil beberapa upah dari kerjanya tersebut.

Diceritakan oleh Imam Malik, bahwasanya di sampaikan kepadanya bahwasanya Rasulullah telah bersabda: “Bahwa tidak seorangpun dari seorang nabi kecuali ia telah mengembala kambing, kemudian beliau (Nabi) ditanya: dan Anda bagaimana wahai Rasulullah? beliau saw. menjawab: saya juga.” (Muwattha’ oleh Imam Malik).

Mengembala kambing, sesuai denga situasi saat itu, memaksa seseorang untuk menjauh dari hiruk-pikuk keduniawian. Menjadi pengembala juga memaksa seseorang untuk peduli secara detail terhadap sesuatu, utamanya terhadap yang di gembalakannya (tanggungjawab dan kepekaan).

Pendekatan semacam ini mutlak penting bagi siapapun yang yang hendak menempatkan diri sebagai pemimpin. Jiwa sosial Muhammad tertempa dengan aktivitas seperti ini. Hal ini juga memberikan penekanan bahwa sebaik-baik harta adalah yang didapat dari hasil usaha sendiri. Untuk hidup mulia, seorang harus sanggup memeras keringat dan membanting tulang secara wajar dan bermartabat. Mengembala juga bukan pekerjaan terhormat, sehingga lagi-lagi Muhammad tertempa menjadi manusia rendah hati. Selain itu, aktivitas ini menyatu dengan alam, cinta alam, alam tidak pernah berdusta, sehingga akan membantu mempertajam sifat shiddiq.* (BERSAMBUNG)

 

Oleh: Shalih Hasyim

Penulis tinggal di Kudus, Jawa Tengah