Makrifatullah dan Urgensinya

Makrifatullah dan Urgensinya (Bag. 3)

Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah. Amma ba’du,

Jangan Sampai Kita Melupakan Allah Jika Tidak Ingin Dijadikan Lupa Akan Diri Kita Sendiri

Allah Ta’ala berfirman dalam surah Al-Hasyr ayat 19,

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ

“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.”

Allah Ta’ala melarang kita menjadi orang-orang yang lupa kepada Allah. Dan Allah mengancam orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan mereka lupa akan diri mereka sendiri!

Bagaimana maksud “lupa akan diri sendiri”?

Ibnul Qoyyim rahimahullah menjelaskan saat menafsirkan ayat yang mulia ini. Maksudnya adalah Allah menghukum orang-orang yang lupa kepada Allah dengan menjadikan ia lupa akan perkara yang bermanfaat baginya, lupa akan memperbaiki aibnya, serta lupa akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Inilah hakikat lupa akan diri sendiri”.

Beda halnya dengan orang yang ingat Allah, maka Allah akan ganjar dengan menjadikannya ingat akan perkara yang bermanfaat baginya, dan ingat akan aibnya. Sehingga Allah jadikan ia sibuk memperbaiki aibnya, dan ingat akan kebutuhan jiwanya yang paling bermanfaat, yaitu mengingat Allah, mencintai-Nya, dan mensyukuri-Nya dengan taat kepada-Nya. Allah takdirkan sebab dan akibat kebaikan untuknya. Inilah hakikat “ingat terhadap diri sendiri”.

Itulah beberapa alasan urgensi makrifatullah. Dan sebenarnya masih banyak alasan lainnya dari pentingnya kita mempelajari makrifatullah, seperti: agar kita dicintai Allah, agar Allah memasukkan kita ke dalam surga-Nya, agar doa kita terkabul, serta agar kita mudah meninggalkan larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Makrifatullah adalah asas perbaikan hati dan jasad.

Buah Makrifatullah yang Terpenting

Buah makrifatullah yang terpenting adalah mengesakan Allah (tauhidullah). Karena dari mengenal nama dan sifat Allah dapat disimpulkan bahwa Allah Mahaesa dalam kekhususan ketuhanan-Nya, maka kita wajib mengesakan-Nya.

Maksud mengesakan Allah (Tauhid) adalah mengesakan-Nya dalam kekhususan ketuhanan-Nya, yaitu dalam perbuatan-Nya (Ar-Rububiyyah), hak untuk diibadahi (Al-Uluhiyyah), serta nama dan sifat-Nya (Al-Asma’ wash Shifat). Sehingga di antara bentuk mengesakan Allah adalah mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya, atau yang lebih dikenal dengan Tauhidul Asma’ wash Shifat (Tauhid nama dan sifat).

Baca Juga: Mengenal Allah Hanya di Bulan Ramadhan Saja

Apa Itu Tauhid “Nama dan Sifat” dan Bagaimana Mengesakan Allah dalam Nama dan Sifat-Nya?

Tauhid nama dan sifat adalah, “Mengesakan Allah dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia, yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah. Dan beriman terhadap nama, sifat, dan tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk.

Penjelasan dari definisi tersebut adalah:

Mengesakan Allah, adalah meyakini dalam hati dan melaksanakan tuntutan ucapan maupun perbuatan bahwa Allah Mahaesa dalam nama-nama-Nya yang terindah dan sifat-sifat-Nya yang termulia.

Ciri khas nama Allah adalah “Husna” (Terindah), yaitu tidak ada nama yang sama atau lebih indah dari nama-Nya karena nama-Nya mengandung sifat termulia.

Ciri khas sifat Allah adalah “’Ula (A’la)” (Termulia), yaitu paling sempurna, tidak ada sifat yang lebih sempurna dari sifat-Nya karena seluruh sifat-Nya itu sempurna. Tidak ada aib sedikit pun dari sisi mana pun.

Sumber penetapan nama dan sifat Allah adalah “Tauqifiyyah“, yaitu harus berdasarkan dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, baik dalam itsbat (penetapan kesempurnaan bagi Allah), maupun dalam nafi (peniadaan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah). Oleh karena itu, kita tidak boleh menamai Allah dan mensifati-Nya dengan nama dan sifat yang tidak terdapat dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah.

Beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama Allah dan sifat-Nya. Yang dimaksud tuntutan di sini adalah konsekuensi hukum dan tuntutan peribadatan, serta pengaruhnya pada keimanan.

Tanpa menolak maupun menyamakan-Nya dengan makhluk. Maksudnya adalah tidak menolak penetapan nama dan sifat Allah, namun menetapkan keduanya dengan benar, yaitu tanpa menyamakan Allah dengan selain-Nya dalam nama maupun sifat-Nya.

Contoh penerapan tauhid nama dan sifat:

Di antara nama Allah adalah السميع (Yang Mahamendengar), maka berdasarkan definisi tauhid nama dan sifat, barulah kita dikatakan mentauhidkan Allah dan mengesakan-Nya dalam nama dan sifat-Nya dengan benar, jika meyakini:

Pertama, penetapan nama Allah السميع (Yang Maha Mendengar).

Kedua, penetapan makna, yaitu sifat Allah yang terkandung di dalam nama-Nya, yaitu sifat السمع (Mendengar). Dan setiap nama Allah pasti mengandung sifat-Nya.

Ketiga, beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya. Allah mendengar seluruh suara yang keras maupun pelan, jauh maupun dekat, suara seorang hamba sedang beribadah maupun suaranya saat bermaksiat. Semua itu membuahkan keyakinan tentang adanya janji Allah dan ancaman-Nya.

Dengan beriman terhadap tuntutan yang terkandung dalam nama dan sifat-Nya, maka akan muncul pengaruh berupa: 1) takut kepada Allah Ta’ala yang didasari ilmu tentang-Nya; 2) yakin diawasi oleh Allah Ta’ala; 3) malu kepada Allah Ta’ala; 4) berhati-hati dalam berucap, dengan berusaha mengucapkan ucapan yang diridai oleh Allah dan menjauhi ucapan kemaksiatan bahkan ucapan yang makruh.

Dan dalam setiap nama Allah dan sifat-Nya pasti mengandung tuntutan peribadatan atas hamba-Nya.

Menetapkan Nama dan Sifat Allah Tanpa Menyamakan Allah dengan Makhluk

Allah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya. Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.” (QS. Asy-Syura: 11)

Ayat ini mengandung kaidah tauhidul asma` wash shifat yang agung, mencakup nafi dan itsbat, menunjukkan bahwa keimanan terhadap nama dan sifat Allah terbangun atas nafi dan itsbat.

Nafi (peniadaan)

Meniadakan seluruh yang ditiadakan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah dari Allah, berupa aib dan kekurangsempurnaan, berarti meniadakan aib dan kekurangsempurnaan dari Allah Ta’ala.

Itsbat (penetapan)

Menetapkan seluruh yang ditetapkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah bagi Allah, berupa nama yang husna dan sifat yang ‘ula.

Di dalam ayat yang telah disebutkan di atas terdapat terdapat nafi (peniadaan) kesamaan Allah dengan makhluk-Nya, yaitu dalam firman Allah,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatu apapun yang sama dengan-Nya.”

Oleh karena itu, tidak boleh menyamakan Allah dengan selain-Nya, baik dalam nama maupun sifat-Nya.

Dalam ayat tersebut juga terdapat pula penetapan (itsbat), yaitu dalam firman Allah,

 و هو السميع البصير 

“Dan Dia Mahamendengar lagi Mahamelihat.”

Yaitu penetapan dua nama maupun dua sifat Allah,

Pertama, nama Allah السَّمِيعُ (Yang Mahamendengar) dan nama البَصِيرُ (Yang Mahamelihat).

Kedua, sifat  السَمْع (mendengar) dan sifat البَصَر  (melihat).

Masuk Surga dengan Menghapal Al-Asma’ul Husna, Mempelajarinya, dan Berdoa kepada Allah Dengannya

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 180,

وَلِلّٰهِ الْاَسْمَاۤءُ الْحُسْنٰى فَادْعُوْهُ بِهَاۖ وَذَرُوا الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اَسْمَاۤىِٕهٖۗ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan Allah memiliki al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik), maka berdoalah kepada-Nya dengan al-asma’ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari sikap wajib terhadap nama-nama-Nya, mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”

Hakikatnya dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menyeru hamba-hamba-Nya untuk mengenal-Nya dengan mempelajari nama dan sifat-Nya, serta menyeru mereka untuk memuji-Nya dengannya, dan melaksanakan tuntutan ibadah yang terkandung di dalam nama dan sifat-Nya.

Maksud “berdoa kepada Allah dengan asma’ul husna” adalah:

Pertama, berdoa dengan menyebut nama Allah yang sesuai dengan isi doa.

Kedua, berdoa dengan memuji Allah dengan menyebut nama-Nya.

Ketiga, berdoa dengan beribadah kepada Allah dengan ibadah selain doa dan pujian, yaitu dengan melaksanakan tuntutan peribadatan yang terkandung di dalam asma’ul husna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam Shahihul Bukhari,

إنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وتِسْعِينَ اسْمًا مِئَةً إلَّا واحِدًا، مَن أحْصَاهَا دَخَلَ الجَنَّةَ

“Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barangsiapa yang meng-ihsho’-nya, niscaya ia akan masuk Surga.” (HR. Al-Bukhari)

Penjelasan:

Pertama, 99 nama Allah ini dikenal dengan asma’ul husna. Namun ini bukan batasan jumlah asma’ul husna, karena dalam dalil lain menunjukkan bahwa nama Allah tidak dibatasi dengan bilangan tertentu. Bahkan, banyak nama-nama Allah yang tidak Allah beritahukan kepada kita, dan hanya Allah yang mengetahuinya.

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ما أصاب أحدًا قط همٌّ و لا حزنٌ ، فقال : اللهمَّ إني عبدُك ، و ابنُ عبدِك ، و ابنُ أَمَتِك ، ناصيتي بيدِك ، ماضٍ فيَّ حكمُك ، عدلٌ فيَّ قضاؤُك ، أسألُك بكلِّ اسمٍ هو لك سميتَ به نفسَك ، أو علَّمتَه أحدًا من خلقِك ، أو أنزلتَه في كتابِك ، أو استأثرتَ به في علمِ الغيبِ عندَك ، أن تجعلَ القرآنَ ربيعَ قلبي ، و نورَ صدري ، و جلاءَ حزني ، و ذَهابَ همِّي ، إلا أذهبَ اللهُ همَّهُ و حزنَه ، و أبدلَه مكانَه فرجًا قال : فقيل : يا رسولَ اللهِ ألا نتعلَّمُها ؟ فقال بلى ، ينبغي لمن سمعَها أن يتعلَّمَها

“Tidaklah seseorang tertimpa kegelisahan dan tidak pula kesedihan lalu mengucapkan,

‘Ya Allah, sesungguhnya saya adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu pria maupun wanita, ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu pastilah berlaku atas diriku, keputusan-Mu selalu adil, saya memohon dengan setiap nama-Mu yang Engkau beri nama diri-Mu dengannya, atau Engkau ajarkannya kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkannya dalam Kitab-Mu, atau Engkau khususkan diri-Mu (dalam mengetahuinya) di ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur’an sebagai air kehidupan bagi hatiku, cahaya kelapangan dadaku, penghilang kesedihanku, dan penghilang kegelisahanku.’

Melainkan Allah akan hilangkan kegelisahan dan kesedihannya, serta Allah akan gantikannya dengan kegembiraan.”

Ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita tertuntut untuk mempelajarinya?”, lalu beliau bersabda, “Tentu! Selayaknya orang yang mendengarnya itu mempelajarinya!” (HR. Imam Ahmad dan selainnya, disahihkan oleh Al-Albani rahimahullah)

Kedua, makna “ihsho’” yang dijanjikan surga bagi pelakunya, yaitu: menghapal 99 asma’ul husna tersebut, mempelajari maknanya, dan mengamalkan tuntutannya. Wallahu Ta’ala a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

[Selesai]

***

Penulis: Sa’id Abu ‘Ukkasyah

Sumber: https://muslim.or.id/73257-marifatullah-dan-urgensinya-bag-3.html