nazis

Mencampur Pakaian Najis dengan Pakaian Lain Ketika Mencuci

Ketika ada pakaian kita yang terkena najis, bolehkan kita mencucinya bersama dengan pakaian lain yang tidak terkena najis? Apakah pakaian yang lain juga ikut menjadi najis?

Pertama, perlu diketahui tidak semua kotoran itu dianggap najis dalam syari’at. Hukum asal benda-benda itu suci kecuali yang terdapat dalil bahwasanya ia adalah najis. Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan:

يجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع

“Wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat” (Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi, hal. 19-21).

Contoh benda-benda najis: babi, air liur anjing, air kencing manusia, kotoran manusia, darah haid, dan madzi.

Kedua, memang terdapat khilaf ulama tentang status air yang terkena najis apakah berubah menjadi najis dan boleh digunakan untuk membersihkan atau tidak. Sebagian ulama juga merinci dengan kaidah air 2 qullah.

Namun pendapat yang difatwakan oleh para ulama kibar dalam masalah ini adalah bahwa air itu selama masih disebut al maa’u (الماء), ia bukanlah najis. Yaitu selama air tersebut tidak didominasi oleh benda lain yang najis. Sebagaimana hadis dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنَجِّسُه شَيءٌ

“Sesungguhnya al maa-u (air) itu suci, tidak ternajisi oleh apapun” (HR. Ahmad no. 11818, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Bahkan dalam riwayat lain hadis ini disabdakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terkait dengan sumur Budha’ah,

قيلَ: يا رسولَ اللهِ، إنَّا نَتوَضَّأُ من بِئرِ بُضاعةَ وهي يُلقى فيها الحِيَضُ والنَّتْنُ -وقال يوسُفُ: والجِيَفُ- وقالوا: ولُحومُ الكِلابِ، فقال: إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنجِّسُه شيءٌ

“Sebagian sahabat bertanya: wahai Rasulullah, kami biasa berwudhu dengan air dari sumur Budha’ah. Padahal ia adalah sumur yang terkadang jadi tempat pembuangan kain pembalut wanita haid dan kotoran rumah (Yusuf [salah seorang perawi] mengatakan: dan juga bangkai). Orang-orang juga berkata: terkadang bangkai anjing juga dibuang ke sana. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya al maa-u (air) itu suci, tidak ternajisi oleh apapun”” (HR. At Tirmidzi no.66, Ad Daruquthni no.54, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Sunan Ad Daruquthni).

Sehingga untuk kasus di atas, selama najis yang mengenai pakaian itu jumlahnya kecil dibandingkan jumlah air yang dipakai untuk mencuci, sehingga tidak mendominasi airnya, maka air tersebut tetap suci dan tidak menajisi pakaian lainnya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya: “Jika pakaian yang bersih dicuci bersama pakaian najis, apakah pakaian yang bersih menjadi najis dan apakah airnya juga menjadi najis?”. Beliau rahimahullah menjawab:

إذا غسلت الثياب المختلطة بماء كثير يزيل آثار النجاسة ولا يتغير بالنجاسة فإن الثياب كلها تطهر بذلك؛ لقوله ﷺ: إن الماء طهور لا ينجسه شيء أخرجه الإمام أحمد، وأبو داود، والنسائي، والترمذي بإسناد صحيح

“Jika anda mencuci pakaian yang bercampur keadaannya dengan air yang banyak, sehingga bisa menghilangkan bekas dari najis tersebut dan airnya tidak berubah sifatnya karena najis tersebut, maka semua pakaian yang dicuci tersebut semuanya suci. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“Air itu suci, tidak ternajisi oleh apapun” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa-i, at Tirmidzi dengan sanad yang sahih)”.

والواجب على من يتولى ذلك أن يتحرى ويجتهد في استعمال الماء الكافي لتطهير وتنظيف الجميع.وإذا علمت الثياب النجسة من الثياب الطاهرة فالأحوط أن تغسل الثياب النجسة وحدها بما يكفيها من الماء، ويزيل أثر النجاسة، مع بقاء الماء على طهوريته لم يتغير بالنجاسة.

“Dan wajib bagi orang yang mencuci tersebut untuk berusaha menggunakan air yang mencukupi untuk membersihkan semua pakaian tersebut. Jika engkau mengetahui mana pakaian yang terkena najis dan mana pakaian yang tidak najis, maka yang lebih hati-hati adalah mencuci pakaian yang najis secara tersendiri dengan menggunakan air yang mencukupi dan menghilangkan bekas dari najisnya. Walaupun tetap kita katakan, air tersebut suci selama tidak berubah sifatnya karena najis” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 10/205).

Penjelasan Syekh Ibnu Baz rahimahullah di atas sudah cukup memberikan kesimpulan yang jelas terhadap masalah ini, walhamdulillah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id