Mencampur Pakaian Najis dengan Pakaian Lain Ketika Mencuci

Ketika ada pakaian kita yang terkena najis, bolehkan kita mencucinya bersama dengan pakaian lain yang tidak terkena najis? Apakah pakaian yang lain juga ikut menjadi najis?

Pertama, perlu diketahui tidak semua kotoran itu dianggap najis dalam syari’at. Hukum asal benda-benda itu suci kecuali yang terdapat dalil bahwasanya ia adalah najis. Syekh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan:

يجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع

“Wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat” (Irsyad Ulil Bashair wa Albab li Nailil Fiqhi, hal. 19-21).

Contoh benda-benda najis: babi, air liur anjing, air kencing manusia, kotoran manusia, darah haid, dan madzi.

Kedua, memang terdapat khilaf ulama tentang status air yang terkena najis apakah berubah menjadi najis dan boleh digunakan untuk membersihkan atau tidak. Sebagian ulama juga merinci dengan kaidah air 2 qullah.

Namun pendapat yang difatwakan oleh para ulama kibar dalam masalah ini adalah bahwa air itu selama masih disebut al maa’u (الماء), ia bukanlah najis. Yaitu selama air tersebut tidak didominasi oleh benda lain yang najis. Sebagaimana hadis dari Abu Sa’id Al Khudhri radhiyallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنَجِّسُه شَيءٌ

“Sesungguhnya al maa-u (air) itu suci, tidak ternajisi oleh apapun” (HR. Ahmad no. 11818, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad).

Bahkan dalam riwayat lain hadis ini disabdakan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terkait dengan sumur Budha’ah,

قيلَ: يا رسولَ اللهِ، إنَّا نَتوَضَّأُ من بِئرِ بُضاعةَ وهي يُلقى فيها الحِيَضُ والنَّتْنُ -وقال يوسُفُ: والجِيَفُ- وقالوا: ولُحومُ الكِلابِ، فقال: إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنجِّسُه شيءٌ

“Sebagian sahabat bertanya: wahai Rasulullah, kami biasa berwudhu dengan air dari sumur Budha’ah. Padahal ia adalah sumur yang terkadang jadi tempat pembuangan kain pembalut wanita haid dan kotoran rumah (Yusuf [salah seorang perawi] mengatakan: dan juga bangkai). Orang-orang juga berkata: terkadang bangkai anjing juga dibuang ke sana. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya al maa-u (air) itu suci, tidak ternajisi oleh apapun”” (HR. At Tirmidzi no.66, Ad Daruquthni no.54, disahihkan Syu’aib Al Arnauth dalam Takhrij Sunan Ad Daruquthni).

Sehingga untuk kasus di atas, selama najis yang mengenai pakaian itu jumlahnya kecil dibandingkan jumlah air yang dipakai untuk mencuci, sehingga tidak mendominasi airnya, maka air tersebut tetap suci dan tidak menajisi pakaian lainnya.

Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya: “Jika pakaian yang bersih dicuci bersama pakaian najis, apakah pakaian yang bersih menjadi najis dan apakah airnya juga menjadi najis?”. Beliau rahimahullah menjawab:

إذا غسلت الثياب المختلطة بماء كثير يزيل آثار النجاسة ولا يتغير بالنجاسة فإن الثياب كلها تطهر بذلك؛ لقوله ﷺ: إن الماء طهور لا ينجسه شيء أخرجه الإمام أحمد، وأبو داود، والنسائي، والترمذي بإسناد صحيح

“Jika anda mencuci pakaian yang bercampur keadaannya dengan air yang banyak, sehingga bisa menghilangkan bekas dari najis tersebut dan airnya tidak berubah sifatnya karena najis tersebut, maka semua pakaian yang dicuci tersebut semuanya suci. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam“Air itu suci, tidak ternajisi oleh apapun” (HR. Ahmad, Abu Daud, An Nasa-i, at Tirmidzi dengan sanad yang sahih)”.

والواجب على من يتولى ذلك أن يتحرى ويجتهد في استعمال الماء الكافي لتطهير وتنظيف الجميع.وإذا علمت الثياب النجسة من الثياب الطاهرة فالأحوط أن تغسل الثياب النجسة وحدها بما يكفيها من الماء، ويزيل أثر النجاسة، مع بقاء الماء على طهوريته لم يتغير بالنجاسة.

“Dan wajib bagi orang yang mencuci tersebut untuk berusaha menggunakan air yang mencukupi untuk membersihkan semua pakaian tersebut. Jika engkau mengetahui mana pakaian yang terkena najis dan mana pakaian yang tidak najis, maka yang lebih hati-hati adalah mencuci pakaian yang najis secara tersendiri dengan menggunakan air yang mencukupi dan menghilangkan bekas dari najisnya. Walaupun tetap kita katakan, air tersebut suci selama tidak berubah sifatnya karena najis” (Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz, 10/205).

Penjelasan Syekh Ibnu Baz rahimahullah di atas sudah cukup memberikan kesimpulan yang jelas terhadap masalah ini, walhamdulillah.

Semoga Allah ta’ala memberi taufik.

Penulis: Yulian Purnama, S.Kom

Artikel: Muslim.or.id

Cara Menyucikan Najis Kencing (Ompol) di Kasur

Pertayaan dari Putri Utami Wulandari Agustin (Grup WA Shahib Rumaysho Akhwat 5)

“Bismillah, ana memiliki bayi sekarang berusia 6 bulan. kemudian anak ana buang air kecil ketika tidak ana pakaikan pants, dan tidak sengaja terkena sprei bahkan kasur. jika sprei bisa ana cuci, tapi kasur ana besar berat dan pastinya cukup sulit untuk menjemurnya. jadi ana bilas saja pakai air dengan kain basah kemudian ana keringkan dengan kipas angin.

pertanyaan ana, apakah kasur ana masih dikatakan terkena najis? lalu bagaimana jika kasur yg sudah kering tersebut, ana tiduri. apakah baju yang ana kenakan najis? dan bolehkah dipakai untuk sholat?

jazakumullahu khairan”

Jawaban:

Pertama, kita lihat dulu dari jenis najis dari kencing bayi yang dimaksud.

Kemungkinan pertama, najisnya adalah najis level ringan (mukhaffafah) yaitu air kencing bayi laki-laki kurang dua tahun yang belum mengonsumsi apa pun kecuali ASI. Cara menyucikan najis ini adalah dengan hanya memercikkan air ke tempat yang terkena najis. Tidak disyaratkan air harus mengalir, hanya saja percikan mesti kuat dan volume air harus lebih banyak dari air kencing bayi tersebut.

Kemungkinan kedua, najisnya adalah najis level pertengahan (mutawassithah) yaitu seperti ompol bayi usia lebih dari dua tahun, kotoran binatang, darah, muntahan, air liur dari perut, feses, atau sejenisnya.

Najis mutawassithah ini terbagi menjadi dua yaitu najis ‘ainiyyah dan najis hukmiyyah.

  • Najis ‘ainiyyah adalah najis yang tampak warna atau baunya secara kasatmata. Contoh: kotoran buang hajat, kencing, dan darah.
  • Najis hukmiyyah adalah setiap najis yang sudah kering dan hilang bekasnya, tidak lagi tampak warna atau baunya. Contoh: kencing yang terkena pakaian lalu kering, dan tidak tampak bekas lagi.

Cara menghilangkan najis ‘ainiyyah adalah dengan menghilangkan warna, bau, rasa. Najis hukmiyyah itu tidak berwujud, tetapi masih dihukumi najis. Air kencing yang merupakan najis ‘ainiyyah dianggap berubah menjadi najis hukmiyyah ketika air kencing tersebut mengering hingga tak tampak lagi warna, bau, bahkan rasanya. Cara mengatasi najis hukmiyyah adalah dengan menuangkan air sekali di area najis.

Masalah najis pada karpet tadi dapat diselesaikan dengan cara:

Pertama, membuat najis ‘ainiyah di karpet atau kasur berubah menjadi najis hukmiyah. Secara teknis, seorang harus membuang/membersihkan najis itu hingga tak tampak warna, bau, dan rasanya (cukup dengan perkiraan, bukan menjilatnya). Di tahap ini mungkin ia perlu menggunakan sedikit air, menggosok, mengelap, atau cara lain yang lebih mudah. Selanjutnya, biarkan mengering, dan tandai area bekas najis itu karena secara hukum tetap berstatus najis.

Kedua, tuangkan air suci-menyucikan cukup di area najis yang ditandai itu, maka sucilah kasur atau karpet tersebut, meskipun air dalam kondisi menggenang di atasnya atau meresap ke dalamnya. Cara yang sama juga bisa kita lakukan pada najis yang mengenai lantai ubin, sofa, bantal, permukaan tanah, dan lain-lain.

Ringkasnya, cukup dua langkah saja: menghilangkan sifat-sifat najis itu lalu menuangkan air suci-menyucikan di atas area bekas najis.

Keterangan di atas disimpulkan dari bahasan Safinah An-Naja ii Ushul Ad-Diin wa Al-Fiqh ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii karya Syaikh Salim bin Sumair Al-Hadhrami, hlm. 15 dan 16 (Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah) dan Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafii rahimahullah Ta’ala, 1:40 (Penerbit Darul Qalam).

Semoga jadi ilmu yang bermanfaat.

Muhammad Abduh Tuasikal

RUMAYSHO

Hukum Menjual Najis, Tinja, Lele yang Makan Tinja, dan Pupuk Kandang

Bagaimana hukum menjual najis, tinja, lele atau ikan yang makan najis, hingga hukum pupuk kandang?

Harta haram hasil penjualan najis

Hukum asal najis adalah dimusnahkan dan dijauhkan.

عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّه سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عَامَ الفَتحِ وهُوَ بِمكَّةَ يَقُولُ : (( إنَّ اللهَ ورَسُولَهُ حرَّمَ بَيعَ الخَمْرِ وَالمَيتَةِ والخِنْزِيرِ وَالأَصْنَامِ )) فَقِيْلَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ المَيتَةِ ، فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ ، ويُدْهَنُ بِهَا الجُلُودُ ، وَيَسْتَصَبِحَ بِهَا النَّاسُ ؟ قَالَ : (( لاَ ، هُوَ حَرامٌ )) ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – عِنْدَ ذَلِكَ : (( قَاتَل اللهُ اليَهُوْدَ ، إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُوْمَ ، فَأَجْمَلُوْهُ ، ثُمَّ بَاعُوهُ ، فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ )) خَرَّجَهُ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada tahun Fathul Makkah, dan ia berada di Makkah, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamar (minuman keras, segala sesuatu yang memabukkan), bangkai, babi, dan berhala.” Lalu dikatakan (kepada beliau), “Wahai, Rasulullah. Bagaimana menurutmu tentang lemak bangkai? Karena sesungguhnya lemak bangkai (dapat digunakan) untuk melapisi (mengecat) perahu, menyamak kulit, dan digunakan orang-orang untuk lampu-lampu pelita?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak, (jual beli) itu adalah haram.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika itu, “Semoga Allah membinasakan orang Yahudi. Sesungguhnya Allah, tatkala mengharamkan atas mereka lemak bangkai, mereka mencairkannya, kemudian menjualnya, lalu memakan upahnya (hasil jual belinya).” (HR. Bukhari, no. 2236 dan Muslim, no. 1581)

Penjelasan hadits di atas, baca juga:

Kaidah: Sesuatu yang diharamkan, haram diperjualbelikan.

Kesimpulan: Hasil penjualan benda najis merupakan harta haram dan pelakunya dilaknat oleh Allah sebagaimana Yahudi dilaknat lantaran ini.

Apakah sah akad jual beli benda najis?

  • Syarat sah jual beli, objek yang dijual adalah suci.
  • Najis hanya diberikan pada orang yang membutuhkan secara cuma-cuma.
  • Jika kita jadi pihak yang membutuhkan najis, dengan alasan yang dibenarkan syariat, maka boleh dibeli dan dosa transaksi untuk pihak penjual.

Hukum menjual najis seharga biaya pengolahan

  • Hukum menjual najis tetaplah diharamkan sebagaimana hadits Jabir yang menerangkan hukum jual beli bangkai tidak boleh.
  • Najis diolah menjadi pupuk, najis tetap haram.
  • Biaya upah pengolahan masih boleh. Akadnya adalah akad ijarah (upah atau jasa), bukan akad jual beli. Yang didapat adalah biaya pengolahan, pekerja hanya mendapat imbalan atas kerjanya, bukan mencari keuntungan.
  • Jika ada pedagang membeli pupuk tinja langsung dari pihak pengolah, lalu ia menjualnya kepada pihak ketiga, keuntungan penjualannya haram.
  • Pupuk tinja dicampur jerami, hukumnya tetap haram

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا وَقَعَتِ الْفَأْرَةُ فِى السَّمْنِ فَإِنْ كَانَ جَامِدًا فَأَلْقُوهَا وَمَا حَوْلَهَا وَإِنْ كَانَ مَائِعًا فَلاَ تَقْرَبُوهُ

“Jika seekor tikus jatuh ke minyak samin; jika minyak samin itu beku, buang bangkai tikus dan bagian minyak samin beku yang terkena najisnya. Lalu jika minyak samin itu cair, jangan engkau dekati.” (HR. Abu Daud, no. 3842 dan Ahmad, 2:265. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif).

Kesimpulan hadits, haram menjual pupuk yang bercampur tinja dan jerami. Namun, jika dapat dipisahkan antara jerami dan najis, wajib dipisahkan sehingga boleh menjual jerami dan haram menjual najis.

Jual beli tinja

  • Tinja itu najis, hasil penjualan tinja dihukumi haram.
  • Najis dalam Islam itu tidak ada harganya.
  • Petani menggunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Madzhab Hanafi, Maliki, dan Syafii membolehkan pemberian pupuk najis dan penyiraman tanaman menggunakan air najis, dan buah tanaman tersebut hukumnya halal, serta uang hasil penjualannya halal. Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Saad bin Abi Waqqash memberi pupuk tanamannya dengan kotoran hewan dan manusia. (HR. Baihaqi)

Ikan yang diberi pakan tinja atau yang hidup di air yang tercemar najis

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْلِ الْجَلاَّلَةِ وَأَلْبَانِهَا.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari mengkonsumsi hewan jalalah dan susu yang dihasilkan darinya.” (HR. Abu Daud, no. 3785 dan Tirmidzi, no. 1824. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

  • Ini disebut hewan jallalah.
  • Ulama madzhab Hanafi, Syafii berpendapat hewan jallalah itu halal karena hukum asal setiap benda adalah halal, kecuali jika terdapat larangan.
  • Ikan yang diberi pakan tinja sudah mengalami perubahan wujud, maka dilihat dari wujud barunya.
  • Larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah makruh. Daging serta air susu hewan jallalah boleh dimakan dan diminum. Hanya saja afdalnya hewan tersebut dikarantina dahulu sebelum dikonsumsi atau dijual.
  • Waktu karantina adalah untuk membersihkan bau tidak sedap pada hewan jallalah akibat tercemar najis. Apabila bau telah hilang, hewan tersebut telah siap untuk dikonsumsi.

Hukum Menjual Pupuk Kandang

  • Hukum kotoran hewan ternak najis ataukah tidak?
  • Para ulama sepakat bahwa kotoran hewan yang dagingnya haram dimakan, dihukumi najis seperti kotoran anjing.
  • Madzhab Maliki dan Hambali menganggap kotoran hewan ternak tidaklah najis, seperti kotoran sapi, kambing, ayam.
  • Boleh buat kendang ayam di atas kolam ikan, ikannya tidak termasuk jallalah, sehingga ikan boleh langsung dijual tanpa dikarantina.

Dalil-dalil yang mendukung kotoran hewan ternak tidaklah najis adalah sebagai berikut.

Pertama:

Ada hadits dari Anas, ketika segerombolan orang datang dari ‘Ukel atau dari ‘Uraynah, disebutkan dalam hadits,

فَأَمَرَهُمُ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِلِقَاحٍ ، وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh mereka untuk meminum kencing dan susu dari unta perah.” (HR. Bukhari, no. 233)

Jika susu unta boleh diminum, maka kencingnya pula demikian dan itu disebutkan bersamaan dalam satu konteks. Kita ketahui bahwa unta adalah di antara hewan yang halal dimakan. Hadits ini jadi dalil dari ulama yang menyatakan sucinya kotoran atau kencing hewan yang halal dimakan.

Kedua:

Ada hadits pula dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ditanya mengenai hukum shalat di kandang kambing,

صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ

“Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).” (HR. Abu Daud, no. 184 dan Ahmad, 4:288. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih)

Hadits di atas juga jadi dalil tidak najisnya kotoran kambing. Karena orang yang shalat di kandang kambing masih boleh. Padahal di kandang tersebut tak lepas dari kotoran. Kambing adalah hewan yang halal dimakan. Maka dari sini para ulama men-generalisir bahwa kotoran hewan yang halal dimakan itu suci, tidak najis.

Ketiga:

Kaedah yang mesti dipahami, “Hukum asal segala sesuatu adalah suci.”

Imam Asy-Syaukani menyatakan,

أَنَّ الأَصْلَ فِي كُلِّ شَيْءٍ أَنَّهُ طَاهِرٌ

“Hukum asal segala sesuatu adalah suci.” (Ad-Darar Al-Mudhiyyah, hlm. 57)

Referensi:

Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-23, Tahun 2020. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Berkat Mulia Insani.

Disusun di Darush Sholihin, Selasa, 3 Rabiul Awwal 1442 H (20 Oktober 2020)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Bulughul Maram tentang Najis dan Cara Menghilangkannya (Bahas Tuntas)

Ada delapan hadits membicarakan tentang najis dan cara menghilangkannya yang hadits-hadits ini merupakan kumpulan dari kitab Bulughul Maram karya Ibnu Hajar Al-‘Asqalani.


كِتَابُ اَلطَّهَارَةِ

بَابُ إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ وَبَيَانِهَا

KITAB BERSUCI

BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA

DALIL NAJISNYA KHAMAR

HADITS KE-24

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – سُئِلَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – عَنْ اَلْخَمْرِ تُتَّخَذُ خَلًّا? قَالَ: “لَا”. – أَخْرَجَهُ مُسْلِم ٌ

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah ditanya tentang khamar (minuman memabukkan) yang dijadikan cuka. Beliau bersabda, “Tidak boleh.” (Riwayat Muslim dan Tirmidzi. Menurut Tirmidzi hadits ini hasan dan sahih). [HR. Muslim, no. 1983]

Faedah hadits

  1. Khamar adalah segala sesuatu yang menutupi akal dari segala yang diperas atau direndam, baik berasal dari anggur, kurma, atau selainnya.
  2. Khamar di masa silam bisa dijadikan cuka.
  3. Khamar itu najis berdasarkan hadits ini, juga surah Al-Maidah ayat 90. Inilah yang menjadi pegangan madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali. Sebagian ulama berpendapat bahwa khamar itu suci, walau mengonsumsinya tetap haram.
  4. Jika khamar berubah menjadi cuka dengan campur tangan manusia (bukan berubah sendirinya), khamar tersebut tetaplah najis.

Catatan:

  • Perbedaan dalam hukum khamar itu najis ataukah suci, tidaklah berpengaruh pada hukum jual beli khamar.

Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa memproduksi, memperjualbelikan, dan mengonsumsi khamar, hukumnya haram.” (Harta Haram Muamalat Kontemporer, hlm. 105)

  • Alkhol bukanlah khamar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang definisi khamar, “Khamar adalah segala sesuatu yang memabukkan.”

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Segala sesuatu yang memabukkan itu khamar. Segala sesuatu yang memabukkan itu haram. Siapa saja meminum khamar di dunia lalu ia meninggal dunia dalam keadaan kecanduan dan tidak bertaubat, maka ia tidak akan meminum khamar (yang penuh nikmat) di akhirat.” (HR. Muslim, no. 2003)

NAJISNYA KELEDAI YANG TIDAK LIAR

HADITS KE-25

وَعَنْهُ قَالَ: – لَمَّا كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ, أَمَرَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَبَا طَلْحَةَ, فَنَادَى: “إِنَّ اَللَّهَ وَرَسُولَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنْ لُحُومِ اَلْحُمُرِاَلْأَهْلِيَّةِ, فَإِنَّهَا رِجْسٌ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ketika hari perang Khaibar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Thalhah, kemudian beliau berseru, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian sekalian memakan daging keledai negeri (yang tidak liar) karena ia kotor.” (Muttafaqun ‘alaihi). [HR. Bukhari, no. 5528 dan Muslim, no. 1940]

Faedah hadits

  1. Perang Khaibar itu terjadi pada akhir Muharram tahun ketujuh Hijriyah. Khaibar itu jaraknya 260 km dari Madinah.
  2. Keledai yang tidak liar itu haram. Daging, darah, kencing, dan kotorannya dihukumi najis.
  3. Keringat, bekas minum atau makan, dan air liur keledai yang tidak liar adalah suci. Keledai ini dianggap seperti kucing yang sulit dihindari dan berada di sekitar kita.

SUCINYA AIR LIUR UNTA

HADITS KE-26

وَعَنْ عَمْرِو بْنِ خَارِجَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: – خَطَبَنَا رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِمِنًى, وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ, وَلُعَابُهَا يَسِيلُ عَلَى كَتِفَيَّ. – أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَه ُ

Amru Ibnu Kharijah radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah pada waktu kami di Mina sedang beliau berada di atas hewan kendaraannya, dan air liur binatang tersebut mengalir di atas pundakku. (Dikeluarkan oleh Ahmad dan Tirmidzi, dan dinilainya hadits sahih). [HR. Ahmad, 29:212 dan Tirmidzi, no. 2121. Hadits ini sahih karena memiliki syawahid berbagai penguat. Lihat penjelasan Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:113].

Faedah hadits

  1. Air liur (ludah) unta tidaklah najis.
  2. Shalat di kandang unta terlarang berdasarkan hadits lainnya.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَقَالَ « لاَ تُصَلُّوا فِى مَبَارِكِ الإِبِلِ فَإِنَّهَا مِنَ الشَّيَاطِينِ ». وَسُئِلَ عَنِ الصَّلاَةِ فِى مَرَابِضِ الْغَنَمِ فَقَالَ « صَلُّوا فِيهَا فَإِنَّهَا بَرَكَةٌ»

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat di tempat menderumnya unta, beliau menjawab, ‘Jangan shalat di tempat menderumnya unta karena unta biasa memberikan was-was seperti setan.’ Beliau ditanya tentang shalat di kandang kambing, ‘Silakan shalat di kandang kambing, di sana mendatangkan keberkahan (ketenangan).’” (HR. Abu Daud, no. 184; Tirmidzi, no. 81; Ahmad, 4:288. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Dilarang shalat di kandang unta di mana disebut dalam hadits bahwa unta itu dari setan, maksudnya adalah unta itu beramal seperti amalan setan dan jin yaitu sering memberikan gangguan pada hati orang yang shalat. Lihat ‘Aun Al-Ma’bud, 1:231-232.

CARA MENGHILANGKAN MANI PADA PAKAIAN

HADITS KE-27

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: – كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah mencuci bekas mani, lalu keluar untuk menunaikan shalat dengan pakaian tersebut, dan saya masih melihat bekas cucian itu. (Muttafaqun ‘alaihi) [HR. Bukhari, no. 229 dan Muslim, no. 289]

HADITS KE-28

وَلِمُسْلِمٍ: – لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ –

وَفِي لَفْظٍ لَهُ: – لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ –

Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Aku benar-benar pernah menggosok bekas mani dari pakaian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shalat dengan pakaian tersebut.”

Dalam lafaz lain hadits riwayat Muslim, “Aku benar-benar pernah mengerik mani kering dengan kukuku dari pakaian beliau.”

Faedah hadits

  1. Mani manusia itu suci, bukan najis. Inilah pendapat yang masyhur menurut madzhab Syafii dan Hambali.
  2. Sucinya mani disebabkan mani diperlakukan dengan digosok dalam keadaan kering lalu dipakai untuk shalat tanpa mencuci.
  3. Aisyah benar-benar mengabdi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

CARA MEMBERSIHKAN PAKAIAN DARI KENCING BAYI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

HADITS KE-29

وَعَنْ أَبِي اَلسَّمْحِ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – – يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ اَلْجَارِيَةِ, وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ اَلْغُلَامِ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم ُ

Dari Abu As-Samh radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bekas air kencing bayi perempuan harus dicuci dan bekas air kencing bayi laki-laki cukup diperciki dengan air.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Nasa’i. Al-Hakim mensahihkan hadits ini). [HR. Abu Daud, no. 376; An-Nasai, 224, 304; dan Al-Hakim, 1:166. Hadits ini punya penguat dalam hadits ‘Ali dan hadits Ummul Fadhl Lubabah binti Al-Harits. Al-Bukhari mengatakan bahwa bahwa hadits Abu As-Samh adalah hadits hasan. Lihat Al-Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:122-123].

Faedah hadits

  1. Ada perbedaan perlakuan antara kencing bayi laki-laki dan perempuan. Kencing bayi laki-laki cukup diperciki, tanpa mesti dicuci dan diperas. Sedangkan kencing bayi perempuan dicuci sebagaimana kencing lainnya.
  2. Dalam hadits Ummu Qais ada tambahan bahwa ini berlaku jika bayi laki-laki belum mengonsumsi makanan. Maksudnya, makanan bukan jadi pokok konsumsinya, konsumsi pokoknya masih air susu.
  3. Kencing bayi laki-laki diperlakukan berbeda dengan kencing bayi perempuan karena beberapa sebab: (a) bayi laki-laki lebih sering digendong, maka kencingnya menyulitkan, (b) kencing bayi laki-laki tidak pada satu tempat, (c) kencing bayi perempuan lebih khabits (kotor) dan lebih bau dibanding kencing bayi laki-laki. Demikian keterangan Ibnul Qayyim dalam I’lam Al-Muwaqi’in, 2:59.
  4. Kencing bayi laki-laki tetap najis.
  5. Kotoran (tinja) dari bayi tetap najis antara bayi laki-laki dan perempuan, tidak berbeda.

CARA MENCUCI PAKAIAN DARI DARAH HAIDH

HADITS KE-30

وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا; أَنَّ اَلنَّبِيَّ – صلى الله عليه وسلم – قَالَ -فِي دَمِ اَلْحَيْضِ يُصِيبُ اَلثَّوْبَ-: – “تَحُتُّهُ, ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ, ثُمَّ تَنْضَحُهُ, ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ” – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Dari Asma binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang darah haid yang mengenai pakaian, “Engkau kikis, engkau gosok dengan air, lalu siramlah, baru kemudian engkau boleh shalat dengan pakaian itu.” (Muttafaqun ‘alaihi). [HR. Bukhari, no. 227, 307 dan Muslim, no. 291]

Faedah hadits

  1. Darah haidh itu najis, wajib dicuci, baik darah haidh tersebut banyak atau sedikit.
  2. Darah yang lainnya juga dihukumi najis berdasarkan hadits ini, sebagaimana pendapat dari Imam Syafii.
  3. Wajib membersihkan pakaian dari darah haidh.
  4. Pakaian yang telah dicuci dari darah haidh boleh dipakai untuk shalat.
  5. Jumhur ulama (Syafiiyah, Malikiyah, dan pendapat terkuat dalam madzhab Hambali) berpandangan bahwa untuk membersihkan najis harus dengan menggunakan air, cairan lainnya tidak bisa menggantikan air. Pendapat lainnya menyatakan bahwa segala sesuatu yang digunakan untuk menghilangkan najis dibolehkan, tidak dikhususkan pada air saja. Pendapat kedua ini dipilih oleh ulama Hanafiyah dan pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

DIMAAFKAN SISA WARNA DARI DARAH HAIDH

HADITS KE-31

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَتْ خَوْلَةُ: – يَا رَسُولَ اَللَّهِ, فَإِنْ لَمْ يَذْهَبْ اَلدَّمُ? قَالَ: “يَكْفِيكِ اَلْمَاءُ, وَلَا يَضُرُّكِ أَثَرُهُ” – أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَسَنَدُهُ ضَعِيف ٌ

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Khaulah bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun darah itu tidak hilang?” Beliau menjawab, “Engkau cukup membersihkannya dengan air dan bekasnya tidak mengapa bagimu.” (Dikeluarkan oleh Tirmidzi dengan sanad yang lemah) [HR. Abu Daud, no. 365; Ahmad, 14:371,503,504. Syaikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 298 mengatakan bahwa hadits ini sahih].

Faedah hadits

  1. Darah yang membekas pada pakaian setelah pakaian yang terkena haidh benar-benar dicuci itu dimaafkan. Yang dianggap najis adalah bentuk najisnya.
  2. Darah haidh dihilangkan dengan air dan penggosok yang lancip. Kalau dicuci demikian, maka bekas warna yang tersisa tidaklah masalah.
  3. Ada keringanan dalam masalah najis karena pembahasan di sini menunjukkan pemaafan dari syariat.

Beberapa bentuk najis yang dimaafkan

  1. Percikan kencing yang sedikit (yang sulit dihindari) baik yang terkena badan, pakaian, atau suatu tempat.
  2. Sedikit dari darah dan muntah; kecuali jika itu atas kesengajaan manusia, maka tidaklah dimaafkan. Sebagaimana dimaafkan pula darah luka dan nanahnya walaupun banyak, dengan syarat itu keluar dengan sendirinya bukan disengaja.
  3. Kencing hewan dan kotorannya yang terkena biji-bijian ketika hewan tersebut menginjaknya; begitu pula kotoran ternak dan kencingnya ketika susunya diperah selama tidak banyak yang dapat merubah air susunya; atau najis dari hewan yang diperah yang jatuh pada susu ketika diperah.
  4. Kotoran ikan selama tidak merubah air; kotorang burung di tempat yang sering disinggahinya karena sulit dihindari.
  5. Darah yang terkena pakaian jagal; namun kalau darah tersebut banyak tidaklah dimaafkan. Begitu pula yang dimaafkan adalah darah yang menempel pada daging.
  6. Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya.
  7. Air liur dari orang yang tidur yang keluar dari dalam perut pada orang yang biasa seperti itu.
  8. Lumpur di jalan yang terkena pakaian seseorang walaupun yakin di situ terdapat najis, karena sulit dihindari sehingga dimaafkan.
  9. Bangkai dari hewan yang darahnya tidak mengalir yang jatuh pada cairan seperti lalat, nyamuk, semut dengan syarat jatuh dengan sendirinya, tidak sampai merubah cairan tersebut.

REFERENSI

  1. Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii. Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.
  2. Harta Haram Muamalat Kontemporer. Cetakan ke-22, Juli 2019. Dr. Erwandi Tarmizi, M.A. Penerbit P.T. Berkat Mulia Insani.
  3. Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan keempat, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Diselesaikan di Darush Sholihin, Rabu pagi, 18 Syawal 1441 H, 10 Juni 2020

Oleh: Al-Faqir Ilallah, Muhammad Abduh Tuasikal

Akhi, ukhti, yuk baca tulisan lengkapnya di Rumaysho:
https://rumaysho.com/24754-bulughul-maram-tentang-najis-dan-cara-menghilangkannya-bahas-tuntas.html

Muntah itu Najis

Ini penjelasan tentang najisnya muntah. Dan ini bahkan jadi pendapat kebanyakan ulama.

Di antara dalil yang disampaikan Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (1:191) adalah hadits,

الْعَائِدُ فِي هِبَتِهِ كَالْعَائِدِ فِي قَيْئِه

“Orang yang meminta kembali hadiahnya seperti anjing muntah lalu menelan muntahannya sendiri.” (HR. Bukhari, no. 2589 dan Muslim, no. 1622)

Ibnu Hazm rahimahullah mengatakan,

وَالْقَيْءُ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ أَوْ كَافِرٍ حَرَامٌ يَجِبُ اجْتِنَابُهُ

“Muntah dari seorang muslim maupun kafir, dihukumi haram dan wajib dijauhi.” (Al-Muhalla, 1:191)

Dalam Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah (34:85) disebutkan bahwa al-qai’ (muntah) adalah makanan yang keluar dari dalam perut setelah masuk di dalamnya.

Muntah itu ada dua macam:

Macam pertama: Yang keluar dari perut berubah, tidak lagi seperti makanan (saat dimasukkan), yaitu berubah dari sisi rasa, warna, atau bau.

Muntah jenis ini najis sebagaimana pendapat dari kebanyakan ulama salaf dan khalaf, inilah pendapat dari empat ulama madzhab, juga termasuk pendapat ulama Zhahiriyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

Alasannya adalah qiyas (analogi) dengan kotoran. Karena muntah itu adalah makanan yang sudah berubah dalam perut, hingga baunya tidak enak dan bentuknya sudah rusak.

Az-Zarkasyi berkata bahwa yang keluar dari manusia itu ada tiga macam:

  1. Suci, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: air mata, keringat, air liur, ingus, ludah.
  2. Najis, tanpa ada beda pendapat di dalamnya: kencing, kotoran manusia, wadi, darah dan yang semisal, dan muntah.
  3. Yang masih diperselisihkan suci ataukah najis: mani, madzi. Lihat Syarh Az-Zarkasyi ‘ala Mukhtashar Al-Kharaqi (2:93).

Al-Lajnah Ad-Daimah (Komisi Fatwa Saudi Arabia) menyatakan bahwa muntah itu najis, baik dari anak-anak maupun orang dewasa karena muntah itu adalah makanan yang sudah mengalami perubahan dalam perut, hingga menjadi rusak. Hukumnya disamakan dengan kotoran dan darah. Jika muntah tadi terkena pakaian atau selainnya, maka wajib dicucii dengan air, hingga hilang, dan tempat yang terkena menjadi bersih. Demikian Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah (4:193).

Macam kedua: Muntah yang keluar dan keadaannya sama dengan makanan dan tidak berubah.

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Najisnya muntah itu telah disepakati, baik itu muntah dari manusia maupun hewan. Juga termasuk najis, muntah yang berubah atau tidak berubah dari bentuk makanan. Ada juga yang berpendapat bahwa jika keluar tidak berubah dari bentuk makanan, tetap dianggap suci, inilah pendapat dari madzhab Imam Malik.” Demikian disebutkan dalam Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab (2:551).

Masih dimaafkan untuk muntah yang sedikit

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya tentang muntah apakah mempengaruhi sucinya pakaian ataukah tidak?

Syaikh rahimahullah menjawab, “Muntah yang sedikit dimaafkan, adapun muntah yang banyak sudah selayaknya dicuci. Karena kebanyakan ulama menganggap najisnya muntah dan disamakan dengan kencing. Sehingga jika muntah tadi mengenai pakaian atau badan, sudah sepatutnya dicuci. Adapun muntah yang sedikit, maka dimaafkan sebagaimana darah, nanah, dan najis yang sedikit dimaafkan. Permasalahan muntah ini berlaku pada orang orang dewasa maupun anak-anak, dihukumi sama.” (Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, 5:379)

Prof. Dr. Muhammad Al-Zuhailiy dalam Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i mengatakan, “Mulut bayi yang tercampur dengan muntahnya ketika dia disusukan oleh ibunya termasuk najis yang dimaafkan.”

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/21263-muntah-itu-najis.html

Safinatun Najah: Mengenal Macam-Macam Najis

Apa itu najis? Sudah kenal macam-macam najis? Sekarang kita mulai pelajari dari Safinatun Najah. Namun diawali dengan pembahasan najis dari kitab Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.

[Najis yang Bisa Suci]

الَّذِيْ يَطْهُرُ مِنَ النَّجَاسَاتِ ثَلاَثَةٌ:

1- الْخَمْرُ إِذَا تَخَلَّلَتْ بِنَفْسِهَا.

وَ2- جِلْدُ الْمَيْتَةِ إِذَا دُبِغَ

وَ3- مَا صَارَ حَيَواناً.

Fasal: Yang bisa menjadi suci dari najis ada 3, yaitu [1] khamar (arak) yang berubah dengan sendirinya (menjadi cuka), [2] kulit bangkai jika disamak (dubigha), dan [3] najis yang berubah menjadi hewan.

Catatan Dalil

Pertama: Pengertian Najis

An-najasah (najis) adalah lawan dari thaharah (suci). Najis itu ada dua macam yaitu:

  1. Najis hakikiyyah atau ‘ainiyyah, yaitu segala sesuatu yang kotor yang menghalangi dari shalat seperti darah dan kencing. Najis jenis ini selamanya tidak bisa berubah jadi suci.
  2. Najis hukmiyyah atau ma’nawiyyah yaitu keadaan seseorang yang tidak suci yang menghalangi dari shalat, termasuk pembatal wudhu, dan mewajibkan untuk mandi. Najis hukmiyyah ini suci dengan wudhu atau mandi.

Benda yang najis ada yang bentuknya jamad (benda mati), ada yang bentuknya hewan, dan ada yang cairan. Asalnya semua benda jamad itu suci, di mana jamad itu bukan hewan, bukan yang menjadi hewan, bukan bagian dari hewan, dan bukan dihasilkan dari hewan. Adapun hewan dan cairan sebagiannya najis, dan asalnya suci.

Kedua: Benda-Benda Najis

  1. Kencing dan kotoran manusia, kencing hewan dan kotorannya

Kencing itu najis. Di antara dalilnya adalah hadits Arab Badui yang kencing di masjid lalu diperintahkan kencing tersebut disiram dengan air.

Disebutkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan, “Ada seorang Arab Badui kencing di salah satu bagian masjid, lantas orang-orang ingin memarahinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka yang menghardik tadi. Ketika Arab Badui telah kencing, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil satu wadah berisi air untuk disiram pada kencing tersebut.” (HR. Bukhari, no. 221 dan Muslim, no. 284)

Kotoran manusia juga najis karena lebih jijik dibanding kencing. Dalam madzhab Syafi’i, berlaku pula untuk kencing dan kotoran hewan dihukumi najis, baik untuk hewan yang halal dimakan dan yang haram dimakan.

  1. Darah yang mengalir

Dalilnya di antaranya adalah,

قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ

Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu rijsun (kotor).” (QS. Al-An’am: 145). Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari menyatakan bahwa yang dimaksud rijsun di sini adalah najis dan kotor. (Jami’ Al-Bayan, 8:93)

Dari Asma’ radhiyallahu anha, ia berkata,

جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِحْدَانَا يُصِيبُ ثَوْبَهَا مِنْ دَمِ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ بِهِ قَالَ تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ثُمَّ تَنْضَحُهُ ثُمَّ تُصَلِّي فِيهِ

“Seorang perempuan datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamseraya berkata, ‘Pakaian salah seorang dari kami terkena darah haid, apa yang harus ia lakukan?’ Beliau menjawab, ‘Keriklah darah itu terlebih dahulu, kemudian bilaslah dengan air, kemudian cucilah ia. Setelah itu engkau boleh memakainya untuk shalat.” (HR. Bukhari, no. 330 dan Muslim, no. 291)

Imam Bukhari membawakan hadits di atas dalam Bab “Mencuci Darah”. Imam Nawawi juga membuat judul untuk hadits di atas, Bab “Najisnya darah dan cara mencucinya”. Walaupun penyebutan hadits tersebut membicarakan tentang darah haidh. Namun semua darah itu sama, tidak dibedakan darah yang satu dan darah lainnya, juga tidak dibedakan dari mana darah itu keluar.

Adapun darah yang sedikit yang tidak mengalir, tetap najis namun dimaafkan.

Hati dan limpa termasuk darah yang dikecualikan najisnya. Dalilnya adalah hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Kami dihalalkan dua bangkai dan darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah, no. 3314. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

  1. Bangkai

Yang dimaksud bangkai adalah yang disembelih dengan jalan tidak syar’i, yang disembelih untuk berhala, yang disembelih untuk selain Allah, yang disebut nama selain Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.”(QS. Al-Maidah: 3)

Sebab diharamkannya adalah karena najisnya bangkai. Rambut dan bulu bangkai juga dihukumi najis. Begitu pula untuk susu yang ada di ambing kambing yang bangkai dihukumi najis.

Yang dikecualikan dari bangkai yang najis adalah bangkai manusia dan bagian-bagiannya. Bangkai manusia itu suci. Dalilnya berdasarkan ayat,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آَدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ

Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan.” (QS. Al-Isra’: 70). Yang dimaksudkan dengan dimuliakan di sini adalah hukum akan sucinya tubuh manusia, baik muslim maupun kafir, baik saat hidup maupun saat mati.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ

Sesungguhnya orang mukmin tidaklah najis.” (HR. Bukhari, no. 283 dan Muslim, no. 372).

Yang dikecualikan dari bangkai yang najis adalah bangkai ikan dan semua hewan yang asalnya hidup di air, begitu pula bangkai belalang.

Begitu pula yang tidak termasuk bangkai najis adalah bangkai hewan yang darahnya tidak mengalir, seperti lalat, nyamuk, kutu, dan kumbang. Contoh lainnya adalah ulat yang muncul dari makanan (seperti ulat pada buah-buahan), ulat tersebut tidak menajiskan makanan.

  1. Bagian yang terpisah dari tubuh hewan ketika hidup

Dari Abu Waqid Al-Laitsi, ia berkata bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, orang-orang ketika itu sangat menyukai punuk unta dan bagian pantat kambing. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,

مَا قُطِعَ مِنْ بَهِيمَةٍ وَهِىَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ

Yang terpotong dari hewan dan hewan tersebut dalam keadaan hidup, maka termasuk bangkai.” (HR. Ad-Darimi dalam sunannya, 6:202. Husain Salim Asad menyatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari).

Yang dikecualikan di sini adalah susu hewan yang halal dimakan, susu tersebut suci. Hukum susu sama dengan hukum dagingnya.

Yang dikecualikan di sini pula adalah bulu dan rambut dari hewan yang halal dimakan dihukumi suci. Sebagaimana disebutkan dalam ayat,

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ سَكَنًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ جُلُودِ الْأَنْعَامِ بُيُوتًا تَسْتَخِفُّونَهَا يَوْمَ ظَعْنِكُمْ وَيَوْمَ إِقَامَتِكُمْ ۙ وَمِنْ أَصْوَافِهَا وَأَوْبَارِهَا وَأَشْعَارِهَا أَثَاثًا وَمَتَاعًا إِلَىٰ حِينٍ

Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan waktu kamu bermukim dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu unta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu).” (QS. An-Nahl: 80)

  1. Zat yang memabukkan

Syaikh Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily mengatakan bahwa segala zat yang memabukkan (khamar) itu termasuk najis. Khamar ini bisa jadi berasal dari anggur, kurma, atau dibuat dari zat yang lain yang sifatnya memabukkan. Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah rijsun termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah: 90). Yang dimaksud rijsun adalah najis. Yang lainnya juga dihukumi najis jika sifatnya memabukkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِى الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا لَمْ يَتُبْ لَمْ يَشْرَبْهَا فِى الآخِرَةِ

Segala sesuatu yang memabukkan itu khamar, dan segala sesuatu yang memabukkan itu haram. Siapa yang meminum khamar di dunia, lantas ia meninggal dunia dalam keadaan menjadi pecandu khamar dan tidak bertaubat, maka ia tidak akan meminum khamar (penuh kenikmatan) di akhirat.” (HR. Muslim, no. 2003, dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Najisnya khamar ini supaya seorang muslim menjauhkan diri darinya. Namun jika khamar berubah dengan sendirinya menjadi cuka, maka dihukumi suci.

  1. Anjing dan babi

Anjing dan babi termasuk najis ‘ain, wajib mensucikan diri dari keduanya. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولاَهُنَّ بِالتُّرَابِ»

Sucinya bejana salah seorang di antara kalian ketika anjing menjilat dalam bejana tersebut, hendaklah mencucinya sebanyak tujuh kali dan yang pertama dengan menggunakan tanah.” (HR. Muslim, no. 279). Hadits ini menunjukkan najisnya anjing. Sedangkan babi itu dihukumi najis sama dengan anjing, bahkan lebih parah.

  1. Muntah dan air dari bisul juga termasuk najis, ini disamakan dengan darah yang dibahas sebelumnya.

Referensi:

Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafi’i.Cetakan kelima, Tahun 1436 H. Prof. Dr. Muhammad Az-Zuhaily. Penerbit Darul Qalam.


Dikembangkan lagi 20 Dzulhijjah 1440 H (21 Agustus 2019), Rabu pagi bakda Shubuh

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Ingin tahu selengkapnya. 
Yuk KLIK: https://rumaysho.com/20770-safinatun-najah-mengenal-macam-macam-najis.html?fbclid=IwAR1Yv47Q6QWX1OXThgpGL83n6CKUlTOyjE-gUmr5zrEeVMb8T9nfTUEcgvE

Awas! Salah Pel Malah Sebabkan Penyebaran Najis

DI dalam upaya pensucian najis, memang kita mengenal prinsip dasar, yaitu najis itu hilang bersama dengan hilangnya warna, rasa dan aroma. Sedangkan air memang biasa dipakai sebagai pelarut dari najis agar mudah dibersihkan bila menempel pada benda-benda yang menyerap najis. Namun tidak selamanya air digunakan untuk membersihkan najis.

Untuk menghilangkan najis, ada banyak cara yang bisa dilakukan, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain dengan cara berikut ini: Pencucian; Penyiraman; Penambahan Air; Pengerikan; Pengelapan (gosok); Dikesetkan ke Tanah; Dijemur Matahari Hingga Kering; Taqwir; Diperciki Air; Diseret Di Atas Tanah.

Masing-masing cara di atas tentu disesuaikan dengan karakter najis dan juga karakter benda yang terkena najis. Di antara karakter benda yang terkena najis adalah benda-benda yang keras dan punya permukaan yang licin, karakternya tidak menyerap najis. Jadi najis itu hanya sekedar berada pada permukaan benda itu begitu saja. Dalam keadaaan ini, membersihkan najis menjadi lebih mudah. Pendapat mazhab Al-Hanafiyah bahwa benda-benda yang licin dan keras, bila terkena najis, pensuciannya cukup dengan dilap menggunakan kain saja, tanpa harus dicuci.

Kaca, cermin, permukaan logam, pedang, barang pecah belah, seperti piring, gelas, mangkuk, nampan, dan termasuk juga keramik anda itu, atau benda-benda keras tapi licin lainnya, bila terkena najis, cukup dibersihkan dengan kain lap, hingga hilang warna, rasa dan aromanya. Dasarnya bahwa dahulu para shahabat Nabi dalam peperangan melaksanakan shalat dengan pedang terselip di pinggang mereka. Padahal pedang mereka bekas membunuh orang kafir dalam jihad. Dan pedang itu pastinya berlumuran darah yang hukumnya najis.

Namun pedang mereka tidak dicuci dengan air, hanya dibersihkan dengan menggunakan kain tanpa proses pencucian. Dan mereka menyelipkan pedang yang tidak dicuci hanya dilap itu di pinggang mereka sambil menunaikan ibadah shalat. Inilah yang menjadi dasar bagi mazhab Al-Hanafiyah untuk mengatakan bahwa mengelap najis hingga hilang warna, rasa dan aroma sudah cukup untuk menghilangkan najis dan mensucikan benda yang terkena najis.

Namun pengelapan ini khusus berlaku pada benda yang licin seperti logam atau kaca, karena najisnya tidak terserap hanya sekedar menempel. Sedangkan bila najis itu menempel dan diserap pada benda, seperti kain, karpet, makanan dan lainnya, tentu tidak cukup hanya dilakukan pengelapan saja. Sebab najis pada kain tidak akan hilang kalau hanya dilap saja. Kalau ada najis di atas keramik, lalu kita siram dengan seember air, maka yang terjadi bukan najisnya hilang tetapi malah menyebar kemana-mana. Ini jelas harus dihindari dengan cermat.

Cukuplah najis itu dilap dengan lap basah saja dulu agar najis itu terangkat, lalu kalau terakhir mau dilap lagi untuk memastikan kebersihannya silahkan saja. Tindakan ini demi melokalisir penyebaran najis, agar tidak melebar. Setelah kita pastikan tidak ada lagi warna, rasa, dan aroma, maka yakinlah bahwa lantai itu sudah suci. Wallahu a’lam bishshawab. [Ahmad Sarwat, Lc., MA]

 

INILAH MOZAIK

Hukum Mencampur Baju Bernajis dalam Mesin Cuci

INTI dari mencuci najis adalah menghilangkan zat najis itu dari benda suci yang sedang dicuci. Membersihakan najis di pakaian, berarti menghilangkan zat najis di pakaian. Ketika najis itu dalam bentuk cairan, bisa dihilangkan dengan cara disiram, sampai zat najisnya hilang. Kemudian, di sana ada pertimbangan, ketika pakaian yang najis dicampur dengan air dan pakaian yang suci, bisa dipastikan najis itu akan mencemari yang lainnya.

Oleh karena itu, idealnya, sebelum pakaian yang najis ini dicuci bersama pakaian yang suci, sebaiknya pakaian ini dibilas dulu secara terpisah. Untuk merontokkan najisnya. Setelah itu bisa dimasukkan ke mesin cuci, untuk dicuci bersama pakaian yang suci lainnya. Bagaimana jika langsung dicampur? Benda suci bisa berubah menjadi najis apabila benda itu terkena najis dan menyebabkan perubahan bau, rasa, atau warnanya. Karena itu, ketika pakaian najis dicuci bersama pakaian suci, di sana ada 2 kemungkinan:

(1) Airnya sedikit, sehingga menyebabkan kontaminasi najis
(2) Airnya banyak, sehingga semua najis bisa hilang dan tidak menempel di pakaian yang suci.

Imam Ibnu Baz mengatakan, “Apabila pakaian dicuci dengan cara dicampur (yang najis), dengan menggunakan air yang banyak, sehingga bisa menghilangkan semua bekas najis, dan tidak mengalami kontaminasi najis, maka semua pakaian dianggap suci. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Sesungguhnya air itu suci, dan tidak bisa berubah menjadi najis karena benda lain.” (Hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasai, dan Turmudzi dengan sanad sahih)

Selanjutnya beliau mengingatkan, “Dan wajib bagi yang mencuci, hendaknya berusaha menggunakan air yang cukup, untuk mencuci dan membersihkan semuanya. Jika anda bisa memilah antara pakaian suci dan pakaian najis, maka yang lebih hati-hati, anda cuci pakaian najis disendirikan, dengan air yang cukup, sampai zat najisnya hilang, sehingga air untuk mencuci tetap suci, tidak berubah dengan najis.”

Allahu waliyyut taufiq. Allahu a’lam. [Sumber: Majmu Fatawa, Ibnu Baz, 10/205/Ustaz Ammi Nur Baits]

 

– See more at: http://mozaik.inilah.com/read/detail/2362556/hukum-mencampur-baju-bernajis-dalam-mesin-cuci#sthash.sYk3QunV.dpuf

———————————————————————————————-
Umrah resmi, Hemat, Bergaransi
(no MLM, no Money Game, no Waiting 1-2 years)
Kunjungi www.umrohumat.com
atau hubungi handphone/WA 08119303297
———————————————————————————————-