Menegur Orang Haruskah dengan Sakiti Perasaannya?

Rasulullah SAW menegur dengan lemah lembut dan tak menyakiti

Ketika melihat seseorang melakukan kesalahan, atau hal yang tak wajar dalam pandangan kita, spontan kita ingin menegurnya. Apalagi kalau kesalahan itu menyangkut masalah agama.  

Tentu ini sesuatu yang positif. Karena memang substansi dari ajaran Islam adalah amar makruf dan nahi mungkar, mengajak pada yang baik, dan mencegah dari yang tidak baik. 

Namun yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara kita menegur? Apakah dengan mempermalukan orang yang ditegur di depan orang ramai? Apakah dengan menyakiti perasaannya?

Apakah dengan bahasa yang bisa memancing emosinya? Apakah dengan cara yang tidak membuatnya menyadari kesalahan lalu berusaha memperbaikinya, malah ingin membela diri dan membalas orang yang menegur dengan cara yang lebih kasar?  

Dalam masyarakat Minangkabau, ada satu peribahasa yang tak jarang disalahpahami oleh sebagian orang yaitu “Syara’ batilanjang, Adaik basisampiang.” Peribahasa ini berarti bahwa syara’ atau agama mesti disampaikan secara terbuka, transparan dan apa adanya. 

Sementara adat disampaikan dengan bahasa-bahasa kiasan, tau jo nan ampek, tau ereang jo gendeang. Sesuatu yang aib dalam budaya Minang kalau seseorang tidak tahu kato mandaki, kato manurun, kata melereang, dan kato mandata. 

Hanya saja ada yang menjadikan peribahasa ini sebagai salah satu dalih untuk menegur orang lain dengan bahasa yang kasar dan kalimat yang tajam. Kalau ada yang mengingatkannya untuk menggunakan bahasa yang lebih lunak, ia akan berkata: “Syara’ batilanjang…”.

Akhirnya muncul kesan bahwa dakwah agama itu memang harus keras, tidak menenggang rasa, buka kulit tampak isi. Sehingga tak salah kalau ada yang kemudian menilai bahwa adat lebih sopan dari pada agama. Adat menenggang rasa, sementara agama tidak. Adat tahu jo nan ampek, sementara agama tidak. Tapi benarkah demikian adanya? 

Dalam banyak hadits disebutkan, ketika Rasulullah SAWmenegur kesalahan orang lain, beliau lebih sering menggunakan kalimat:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ …“Mengapa ada yang melakukan ini dan ini…”.

Misalnya ketika beliau tahu ada sahabat yang melihat ke atas ketika sholat, beliau menegur hal itu dengan keras dan bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُونَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلاَتِهِمْ “Mengapa ada yang mengangkat pandangan mereka ke langit di dalam sholat?”  

Saking kerasnya teguran Nabi Muhammad SAW, beliau melanjutkan dengan kalimat yang lebih tajam:

لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ “Mereka mesti berhenti dari hal itu, atau penglihatan mereka akan dicabut.” 

Ancaman kerasnya disampaikan tapi siapa pelakunya dirahasiakan. Pesan utamanya masuk tapi harga diri mereka yang ditegur tetap terjaga. 

Suatu ketika, Rasulullah SAW melihat ada bekas (maaf) dahak di masjid. Beliau tidak mencari tahu siapa pelakunya. Beliau langsung saja membersihkan bekas itu dengan tangannya yang mulia, lalu bersabda: 

مَا بَالُ أَحَدِكُمْ يَقُومُ مُسْتَقْبِلَ رَبِّهِ فَيَتَنَخَّعُ أَمَامَهُ، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يُسْتَقْبَلَ فَيُتَنَخَّعَ فِي وَجْهِهِ؟ فَإِذَا تَنَخَّعَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَنَخَّعْ عَنْ يَسَارِهِ، تَحْتَ قَدَمِهِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَقُلْ هَكَذَا ، وَوَصَفَ الْقَاسِمُ فَتَفَلَ فِي ثَوْبِهِ، ثُمَّ مَسَحَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْض 

“Mengapa ada di antaramu yang menghadap Rabb-nya lalu ia meludah ke arah depan? Apakah dia mau kalau ada orang yang meludah di depannya? Kalau di antaramu ada yang ingin meludah ketika shalat maka meludahlah ke arah kiri bawah. Kalau tidak bisa maka lakukan seperti ini.” 

Al Qasim, sang perawi hadits, menjelaskan dengan cara meludah di tepi baju lalu dilapkan kedua sisinya. 

Di saat yang lain ada seorang wanita datang pada Rasulullah SAW bertanya tentang haid. Rasulullah sudah menjelaskan dengan bahasa-bahasa kiasan. Tapi tampaknya wanita itu belum juga paham. 

Rasul pun malu untuk menjelaskannya dengan bahasa yang lebih vulgar. Akhirnya datanglah Aisyah. Dia lalu menarik tangan wanita itu ke belakang dan menjelaskan padanya secara lebih detail. Saking pemalunya Baginda, Abu Sa’id Al Khudri mengatakan: 

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ العَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا، فَإِذَا رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ

“Nabi SAW itu lebih pemalu dari gadis di sudut kamarnya. Apabila beliau melihat sesuatu yang tidak disukainya kami dapat menangkap itu dari mimik wajahnya.” Ketidaksukaan Nabi tampak pada wajahnya, bukan pada kata-katanya.   

Ada seorang laki-laki yang dijuluki dengan Himar (keledai). Nama aslinya Abdullah. Dia sudah sekian kali dicambuk oleh Nabi karena minum khamar. Tapi dia adalah seorang yang humoris. Tak jarang dia membuat Nabi tertawa. 

Suatu ketika dia kembali dibawa ke hadapan Nabi karena telah meminum khamar. Di antara yang hadir menyaksikan itu ada seseorang yang tidak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Abdullah alias Himar. Orang ini berkata:

اللَّهُمَّ العَنْهُ، مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ “Ya Allah, kutuklah dia. Begitu sering dia dibawa kesini untuk dicambuk.” Mendengar itu Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ “Jangan kutuk dia. Demi Allah, yang aku tahu dia mencintai Allah dan Rasul-Nya.” 

اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا وحبيبنا ومولانا وشفيعنا وقرة أعيننا محمد وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

Oleh : Ustadz Yendri Junaidi Lc MA, dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang, alumni Al-Azhar Mesir

KHAZANAH REPUBLIKA