Menghindari Kemiskinan Jiwa

Alam Indonesia yang indah seharusnya menjadikan pribadi kita lebih kaya. Kenyataannya, negeri ini memiliki citra kurang nyaman.

 

KITA belum terlatih untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah dari hati ke hati. Masalah yang datang sering dihadapi dengan adu otot dan kekuatan. Ujungnya, bukan solusi yang didapatkan bangsa ini, melainkan semakin terpuruk pada titik nadir kehinaan. Padahal, kita dibekali dengan akal dan nurani, juga iman dan rambu-rambu.

Negeri kita sedang mendapatkan ujian bertubi-tubi dan aneka peringatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Oleh karena itu, kita harus merenung keras mengapa kita yang berada di sebuah negeri yang dibaca umat Islam sebagai terbesar jumlahnya di dunia, namun harus mengalami kehidupan seperti ini. Kalau kita mempelajari indahnya Islam, sepatutnya Indonesia ini menjadi negara yang sangat dihormati dan disegani oleh seluruh dunia karena keindahan pribadi-pribadi yang ada di negeri ini.

Alam Indonesia yang indah ini seharusnya menjadikan pribadi kita lebih kaya. Tapi dalam kenyataannya, justru negeri ini memiliki citra kurang nyaman.

Agama Islam yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mengajarkan kejujuran. Islam juga mengajarkan kebersihan. Misalnya sebelum shalat kita harus berwudhu terlebih dahulu. Tapi, mengapa kemudian di Indonesia sulit sekali menemukan tempat yang bersih? Bahkan masjid yang kita cintai pun seringkali tidak teramat kebersihannya.

Islam juga mengajarkan kerapihan shaf dalam salat berjamaah. Tapi ironisnya, begitu banyak ruas jalan yang macet. Hal ini diakibatkan tidak adanya kedisiplinan. Untuk antre pun sangat susah. Akibatnya menjadi tidak tertib dalam berbagai hal.

Ada juga yang menganggap bahwa di negeri ini terlalu banyak orang yang tidak jujur. Buktinya, banyak sekali terjadi korupsi. Bukankah korupsi itu adalah tanda ketidakjujuran.

Diakui atau tidak, keterpurukan ini terjadi karena sebagai kaum Muslimin yang mayoritas, perilaku kita dalam kehidupan sehari-hari belum Islam. Mengapa demikian?

Selama 350 tahun kita dijajah bangsa asing, dan sesudah itu, umat Islam hampir tidak bertemu dengan pelajaran tentang keindahan Islam. Di sekolah-sekolah umum, pelajaran tentang keislaman hanya diberikan selama beberapa jam dalam sepekan. Kita dan anak-anak sangat sedikit mengenal keindahan dan kemuliaan Islam. Di televisi atau radio, acara siraman ruhani keislaman paling banter hanya setengah jam sehari.

Jadi negeri ini nyaris terburuk karena belum seluruh orang Islam hidup secara Islami. Mereka mayoritas, tapi belum mendapatkan informasi dan suri teladan tentang keindahan Islam. Padahal Islam sangat mementingkan perubahan perilaku atau karakter. Karakter itu terdiri dari empat hal.

Pertama, ada karakter lemah; misalnya penakut, tidak berani mengambil risiko, pemalas, cepat kalah, belum apa-apa sudah menyerah, dan sebagainya.

Kedua, karakter kuat; contohnya tangguh, ulet, mempunyai daya juang tinggi, pantang menyerah, dan lain-lain.

Ketiga, karakter jelek; misalnya licik, egois, serakah, sombong, pamer, dan lain-lain.

Keempat, karakter baik; seperti jujur, terperdaya, rendah hati, dan sebagainya.

Orang-orang yang merusak negeri ini masuk ke dalam salah satu kategori tadi. Hari ini yang kita rindukan adalah, negeri ini akan bangkit kembali. Ini bisa terjadi bila dua karakter, yaitu karakter yang kuat dan baik bersinergi. Misalkan dia tangguh, ulet, tapi tetap rendah hati dan merupakan pekerja keras yang sangat gigih. Dia berprestasi gemilang tapi ikhlas. Inilah yang diharapkan manusia -manusia tangguh, berani, gigih, ulet, jujur, rendah hati, dapat dipercaya, dan sebagainya.

Satu hal yang patut kita sayangkan kemudian adalah, karakter manusia Indonesia, khususnya kaum Muslimin, tidak terlalu sesuai dengan karakter yang diinginkan di atas. Ternyata, banyak manusia di Indonesia yang mempunyai kebiasaan korupsi, dari yang raksasa sampai yang kecil-kecilan. Hal ini disebabkan karena kita mempunyai jiwa miskin.

*/Sudirman STAIL (sumber buku: Menjemput Rezeki dengan Berkah, penulis buku: KH. Abdullah Gymnastiar)

HIDAYATULAH