Menjadi Ayah yang “Mesra” dengan Anak

Menjadi Ayah yang “Mesra” dengan Anak

Sosok ayah teladan tampaknya melekat erat pada Mohamed El-Erian yang rela melepaskan jabatan pimpinan di perusahaan investasi dunia demi sang anak. Tanpa rasa sesal dia menanggalkan jabatan dengan gaji puluhan miliar rupiah demi menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang anak.

Seperti yang dipublikasikan laman Daily Mail pada 25 September 2014, Mantan CEO Pimco Mohamed El-Erian mengungkapkan alasan mengapa dirinya rela melepaskan jabatan tertinggi di perusahaan investasi yang mengelola dana hingga US$ 2 triliun tersebut. Pekerjaan dengan pendapatan sekitar US$ 8,4 juta atau Rp 99,2 miliar/bulan itu ditinggalkan begitu saja karena satu alasan, demi sang anak.

Puteri Mohamed yang baru berusia 10 tahun mengatakan, sang ayah telah melewatkan hari pertamanya di sekolah, parade Haloween, pertandingan sepakbola pertamanya dan banyak acara yang telah dia lewatkan. Semua karena sang ayah terlalu sibuk bekerja.

Dalam konteks kehidupan modern seperti saat ini, keputusan Mohamed El-Erien di atas sungguh unik. Betapa tidak, di saat manusia begitu memuliakan materi hingga rela menempuh cara apa saja demi untuk mendapatkannya, justru dia meninggalkannya begitu saja. Alasannya pun sederhana, demi untuk membangun kedekatan bersama anak.

Tentu, bagi para orangtua yang berpikir materialistis itu adalah keputusan yang bodoh. Namun, bagi orangtua yang berorientasi pada pembentukan karakter serta pemenuhan hak kasih sayang pada anak, maka keputusan itu adalah pilihan yang tak salah.

Keputusan yang diambil oleh sosok ayah di atas patut menjadi renungan bagi kita sebagai orangtua. Kita hendaknya senantiasa berusaha meluangkan waktu untuk membersamai anak-anak kita betapapun kesibukan meliputi kita. Kesibukan dalam bekerja bukanlah alasan bagi kita untuk tidak bermesra-mesraan dengan mereka.

Dalih yang bertanggungjawab utama mendidik anak adalah ibu, tidaklah patut kita jadikan senjata untuk menghindar dari kelelahan ketika harus bermain bersama putra-putri kita. Sebagai seorang ayah, tetaplah berusaha membangun kemesraan dengan mereka. Sebab, mereka memiliki hak atas diri kita. Mereka perlu menumbuhkan kecerdasan emosi dan spritualnya bersama kita. Mereka juga berhak mendapat penjagaan iman dan moralnya atas diri kita.

Dengan waktu yang cukup membersamai anak, seorang ayah dapat menyemai karakter positif pada anak. Kita juga berkesempatan untuk mentransformasi nilai keimanan dan akhlaq yang baik kepada mereka. Betapa sayang bila dalam tumbuh kembangnya anak-anak, kita tak membersamai mereka. Sehingga akhlak mereka di warnai oleh zaman yang terkadang tak selaras dengan nilai-nilai iman.

Betapa memprihatinkan realitas yang kini berada di zaman kita. Begitu banyak seorang ayah dengan alasan sibuk meniti karir pekerjaannya, mereka tak lagi memiliki waktu untuk membersamai anak-anaknya. Mereka tak sempat lagi bermain bersama anak-anaknya. Mereka juga tak peduli terhadap penjagaan moral anaknya.

Lebih parah lagi, bila ibunya juga sibuk bekerja. Sehingga anak-anak tumbuh tanpa kasih sayang dari kedua orangtuanya. Karena tak mendapat didikan orangtua, maka anak-anak pun dididik oleh zaman yang melingkupinya. Sangat berbahaya bila zaman yang melingkupinya adalah zaman yang penuh dengan perilaku jahiliyah.

Mari renungkan apa yang dituturkan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimahnya, “Barangsiapa tidak terdidik oleh orangtuanya, maka akan terdidik oleh zaman. Maksudnya, barang siapa yang tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orangtua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.”

Sungguh, zaman kini dipenuhi dengan kerusakan moral yang begitu dahsyat. Apa yang terjadi bila generasi ini tumbuh dan berkembang tanpa didikan iman dan moral dari orangtuanya. Jawaban atas pertanyaan itu adalah kerusakan moral generasi.

Realitas yang kita dapati di zaman ini pun tidak menafikan akan hal itu. Betapa banyak anak-anak yang tumbuh dalam kondisi nihil nilai iman dan moral. Betapa banyak anak-anak usia sekolah yang terseret arus kemaksiatan. Pelaku kriminal tak hanya dimonopoli oleh orang dewasa, tapi justru tak sedikit yang didalangi oleh anak-anak yang baru berusia belasan tahun.

Di sinilah pentingnya keakraban orangtua bersama anak-anaknya. Sesibuk apapun, marilah kita berusaha meluangkan waktu untuk membersamai anak-anak kita. Agar jiwanya tetap dekat dengan kita. Sehingga, mereka bisa terjaga iman dan moralnya berkat tarbiyah ruhiyah yang kita suntikkan ke jiwa mereka melalui kedekatan kita bersamanya.*

HIDAYATULLAH