Menjauhi Dosa Gibah

Menjauhi Dosa Gibah

Hubungan sosial dalam masyarakat tergambar dari komunikasi yang dibangun dalam pergaulan sehari-hari, khususnya di kalangan anak muda. Hal ini juga tidak terlepas di kalangan kaum tua. Namun sayang, disadari atau tidak, kita kadangkala terjerumus pada perbuatan dosa. Dosa itu dikenal dengan nama “gibah”.

Percakapan dan diskusi dalam hubungan sosial tersebut seakan terasa hambar jika tidak membicarakan tentang seseorang, baik dari segi positif maupun negatifnya. Orang yang dibicarakan tersebut umumnya tidak berada di tengah-tengah percakapan atau diskusi tersebut.

Kita pun menyadari bahwa sebagian besar topik pembicaraan itu terkadang berkaitan dengan aib seseorang yang semestinya kita jaga dan tidak dibicarakan. Meskipun kita tahu kebenaran tentang aib tersebut. Namun, rasa-rasanya godaan setan dan dorongan nafsu untuk tetap membicarakan aib orang lain seakan tak terbendung sehingga tanpa sadar kita telah melakukan perbuatan menggibahi saudara kita sendiri. Wal’iyadzu billah.

Gibah dalam definisi syariat

Perhatikan hadis berikut:

قيل يا رسولَ اللهِ ما الغيبةُ ؟ قال : ذِكرُك أخاك بما يكرهُ . قال : أرأيتَ إن كان فيه ما أقولُ ؟ قال : إن كان فيه ما تقولُ فقد اغتبتَه ، وإن لم يكنْ فيه ما تقولُ فقد بهَتَّه

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya, “Ya Rasulullah, apakah gibah itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “(Gibah) adalah engkau menyebutkan perkara yang tidak disukai saudaramu.” Beliau ditanya, “Bagaimana pendapat engkau, jika yang aku ceritakan tentang saudaraku benar ada padanya?” Beliau menjawab, “Jika yang engkau katakan benar ada padanya, maka sungguh engkau telah menggibahinya. Namun, jika tidak, maka engkau telah menebarkan kedustaan atasnya.” (HR. Muslim (2589), Abu Daud (4874),  At-Tirmidzi (1934), An-Nasa’i (11518), dan Ahmad (8985), disahihkan oleh Al-Albani, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Gibah bersumber dari prasangka. Padahal setiap pikiran memiliki keterbatasan. Hanya saja banyak manusia yang tidak menyadarinya sehingga cukup mudah berprasangka, menghakimi, bahkan menyimpulkan hal-hal yang berkaitan dengan sisi buruk orang lain. Wal’iyadzu billah.

Allah Ta’ala berfirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱجْتَنِبُوا۟ كَثِيرًا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ ٱلظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا۟ وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujarat: 11)

Saudaraku, renungkanlah! Meski aib orang yang kita bicarakan itu adalah nyata, selama hal itu merupakan perkara yang tidak disukai oleh orang yang kita bicarakan, maka tetap menjadi hal yang terlarang dalam agama. Karena itulah yang disebut dengan gibah. Sedangkan jika hal itu tidak benar adanya, maka kita telah berbuat kedustaan.

Prasangka adalah awal mula daripada perbuatan gibah karena prasangka membawa seseorang untuk mencari keburukan orang lain. Bayangkan, dalam Al-Qur’an ditegaskan bahwa perumpamaan orang yang menggunjing (menggibah) adalah bagaikan memakan daging saudaranya yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa sungguh gibah adalah perbuatan yang menjijikkan yang seharusnya kita jauhi.

Agar terhindar dari perbuatan gibah

Pertama: Menjauh dari lingkungan yang buruk

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

الرَّجلُ على دِينِ خليلِه ، فلْينظُرْ أحدُكم مَن يُخالِلْ

“Seseorang di atas agama sahabatnya. Hendaknya salah seorang dari kalian melihat siapa yang hendak ia jadikan sahabatnya.”  (HR. Abu Dawud, lihat Kitab Shahih Abu Dawud hal. 4833, dihasankan oleh Al-Albani)

Sebenarnya, kita telah mengetahui karakteristik setiap majelis yang sering kita hadiri, topik apa yang sering dibicarakan, dan bagaimana sifat teman-teman kita yang notabene menyampaikan pikiran dan pendapatnya dalam majelis tersebut. Kemudian, kita pun menyadari bahwa kadangkala percakapan dan diskusi dalam majelis tersebut tidak bisa lepas dari perbuatan gibah.

Oleh karenanya, apabila kita telah mengetahui hal tersebut, itu adalah pertanda bahwa majelis tersebut tidak baik untuk kita sehingga kita bisa mengantisipasi diri untuk tidak terlibat dalam perbuatan gibah. Namun, alangkah lebih baik apabila kita mampu mewarnai majelis tersebut dengan mengalihkan setiap pembicaraan kepada hal-hal yang lebih bermanfaat seperti mendiskusikan tentang rencana mengikuti kajian Islam, ide-ide baru tentang bisnis, serta motivasi untuk saling berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran sehingga majelis tersebut menjadi majelis yang memberikan manfaat bagi diri kita dan para sahabat kita.

Kedua: Menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إنَّ من حُسْنِ إسلامِ المرءِ تَركَهُ ما لا يَعْنِيهِ

“Sesungguhnya tanda kebaikan seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi dan selainnya, lihat kitab Tarikh Baghdad karya Al-Khatib Al-Baghdadi nomor 12/64, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat adalah hal yang sangat mulia. Di era digital ini, kita mudah hanyut dalam hal-hal yang bahkan tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kita, baik terkait urusan dunia maupun akhirat. Utamanya berkaitan dengan pergaulan dalam suatu majelis baik dengan satu, dua, atau banyak manusia. Lagi-lagi, kita lebih mengetahui apakah dengan melibatkan diri dalam majelis tersebut akan mendatangkan manfaat bagi diri kita atau tidak?

Saudaraku, seorang muslim yang bertekad untuk menjalani hari-hari dengan penuh manfaat hendaknya membuat rencana detail apa yang akan ia lakukan. Pada hari itu, pekan itu, tahun itu, dan bahkan apa yang akan ia ikhtiarkan untuk kebaikan dunia dan akhiratnya.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Seorang muslim adalah visioner. Ia mengetahui apa yang harus ia lakukan dengan berbagai manfaat bagi dirinya dan bagi umat. Dengan rencana detail yang telah kita persiapkan, kita menjadi lebih sibuk dengan muhasabah diri. Dan dengannya kita terhindar dari hal-hal yang tidak bermanfaat bagi diri kita khususnya dari perbuatan gibah yang justru mendatangkan dosa.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,

فطُوبى لمن شغله عيبُه عن عيوب النَّاس

Maka, berbahagialah bagi orang yang menyibukkan dirinya (dengan mengintrospeksi diri) dari aibnya sendiri daripada ia sibuk mencari aib orang lain.” (Lihat Kitab Miftah Darussaadah wa Mansyur Wilayatil Alam wal Iradh karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 344)

Menjaga aib orang lain = Menutupi aib diri sendiri

Saudaraku, sadarilah bahwa kita sebagai hamba (yang penuh dengan kekurangan, kesalahan, kekhilafan, dan dosa) adalah manusia yang selamanya bergantung pada kasih sayang Allah Ta’ala. Di antara ketergantungan kita tersebut adalah keinginan agar aib-aib dan dosa-dosa kita ditutupi oleh Allah Ta’ala agar kita dipandang mulia di hadapan manusia.

Ingat! Sekali Allah Ta’ala membuka aib kita, maka sungguh bisa jadi kita akan jauh lebih hina di mata manusia daripada orang-orang yang selama ini kita sebut-sebut aibnya. Oleh karenanya, janganlah kita menjadi penyebab terbukanya aib diri sendiri dengan menyebut-nyebut aib saudara kita sendiri. Allah Ta’ala Mahatahu siapa hamba-hamba-Nya yang lebih hina atau lebih bertakwa di hadapan-Nya.

Muhammad ibnu Wasi’ rahimahullah berkata,

وْ كَانَ لِلذُّنُوبِ رِيحٌ مَا قَدَرَ أَحَدٌ أَنْ يَجْلِسَ إِلَيَّ

“Kalau seandainya dosa ini memiliki bau, niscaya tidak ada seorang pun yang mau duduk denganku.” (Lihat Kitab Muhasabatu An-Nafsi li Ibni Abi Dunya karya Ibnu Abi Dunya, hal. 82)

Wallahu Ta’ala a’lam.

***

Penulis: Fauzan Hidayat

© 2023 muslim.or.id
Sumber: https://muslim.or.id/84901-menjauhi-dosa-gibah.html